Pidato Pancasila 1 Juni 1945

From Ensiklopedia

Perumusan Pancasila sebagai dasar negara menjadi babak penting dalam proses pembentukan negara bangsa, meletakkan dasar bagi status Indonesia sebagai negara merdeka. Prosesnya terlihat jelas seiring pengumuman pemerintah Jepang pada 7 September 1944—disampaikan oleh Perdana Menteri Kuniaki Koiso (pengganti Perdana Menteri Tojo) pada sidang istimewa ke 85 Telkoku Ginkai (Parlemen Jepang) di Tokyo—yang memperkenankan daerah Hindia timur (Indonesia) untuk merdeka (Pandji Poestaka, 15 September 1944:561). Pengumuman dikeluarkan karena situasi politik yang tidak menguntungkan Jepang akibat semakin terjepitnya Angkatan Perang Jepang seiring jatuhnya Kepulauan Saipan ke tangan Amerika pada bulan Juli 1944, menipisnya persediaan senjata dan amunisi, termasuk logistik perang pada bulan Agustus 1944, hingga posisi tentara sekutu yang sudah mulai menguasai wilayah Papua Nugini, Kepulauan Salamon dan Marshall, bahkan telah melakukan serangan udara atas kota Ambon, Makassar, Manado, dan Surabaya (Poesponegoro & Notosusanto 2019:121).

Dengan kondisi tersebut Letnan Jenderal Kumakici Harada, pada tanggal 1 Maret 1945, mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) (Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai atau dilafalkan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai). Terealisasi pada 29 April 1945, pembentukan BPUPKI merupakan langkah kongkrit pihak Jepang bagi pelaksanaan janji kemerdekaan Indonesia. Sebagai sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang, BPUPKI dihadirkan sebagai upaya mendapatkan dukungan bangsa Indonesia. BPUPKI terdiri badan perundingan dan kantor tata usaha. Sementara Badan Tata Usaha dipimpin oleh R.P. Soeroso, dengan wakil Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda (orang Jepang), Badan Perundingan terdiri dari seorang ketua (kaityo), dua orang ketua muda (fuku kaityo), 60 orang anggota (iin), termasuk 4 orang golongan Cina dan Arab serta seorang golongan peranakan Belanda. Ada pula 7 orang Jepang sebagai anggota dan duduk dalam pengurus istimewa yang akan menghadiri setiap sidang, namun demikian mereka tidak mempunyai hak suara (Poesponegoro & Notosusanto 2019:122).

Sidang pleno BPUPKI pertama terselenggara sejak 28 Mei hingga 1 Juni 1945. Sidang dibuka dan diberi pengantar oleh Saiko Syikikan, Gunseikan, dan Rikugun Taisyoo Itagaki Seisiro. Dalam pengantar sidang tersebut diurai harapan agar BPUPKI segera mengadakan riset mendalam perihal dasar-dasar yang akan digunakan sebagai landasan negara Indonesia merdeka (Yamin 1959: 803-807). Segera setelah pengantar disampaikan, sidang membahas beberapa hal seputar dasar negara Indonesia, disampaikan oleh para anggota BPUPKI melalui pidato-pidatonya. Tak jarang disertai perdebatan yang muncul seiring penyampaikan pidato para anggota BPUPKI, baik dalam bahasan perihal kemerdekaan, dasar negara, maupun bentuk pemerintahan negara (M. Yamin 1959: 61; Suwarno 1993:44).

Pada 29 Mei 1945, Muhammad Yamin menyampaikan pidato bertajuk Azas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia. Dalam pidatonya Yamin mengemukakan lima dasar sebagai berikut:

(1) Peri Kebangsaan, yang artinya negara kebangsaan Indonesia yang sesuai dengan peradaban bangsa Indonesia dan menurut susunan kekeluargaan yang didasarkan pada kebangsaan dan Ketuhanan (Yamin, 1959: 89-90).
(2) Peri Kemanusiaan, yang diartikan kadaulatan rakyat Indonesia dan Indonesia merdeka berdasarkan peri kemanusiaan yang universal. Dengan demikian kemanusiaan ini mengandung arti humanisme dan internasionalisme semua bangsa. Menurut Yamin, dasar perikemanusiaan adalah dasar universalisme dalam hukum internasional dan peraturan kesusilaan segala bangsa dan negara merdeka (Yamin, 1959: 93-94).
(3) Peri Ketuhanan, dengan penjelasan bahwa bangsa Indonesia yang akan bernegara merdeka itu ialah bangsa yang berperadaban luhur, dan peradabannya itu mempunyai Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian Yamin menegaskan bangsa Indonesia insyaf, bahwa negara kesejahteraan Indonesia merdeka ber-Ketuhanan, dan Tuhan akan melindungi Negara Indonesia Merdeka (Yamin, 1959: 94).
(4) Peri Kerakyatan, yang di dalamnya terkandung: (a) permusyawaratan yang sesuai dengan peradaban asli Indonesia dan surat Asyura ayat 38 dari kitab Qur’an; (b) perwakilan yang menjadi dasar desa, negari, dusun, marga, dan lain lain di seluruh Indonesia; dan (c) kebijaksanaan yang dimaksud hikmat kebijaksanaan yang menjadi pimpinan kerakyatan Indonesia ialah rasionalisme yang sehat, karena telah melepaskan diri dari anarki, liberalisme, dan semangat penjajahan, dan
(5) Kesejahteraan Rakyat atau keadilan sosial  (Yamin, 1959: 103)

Selain Muhammad Yamin, Supomo adalah nama lain yang juga turut menyampaikan pidato dalam sidang BPUPKI. Supomo memulai pidatonya pada 31 Mei 1945 itu dengan mengurai tiga persoalan utama, yaitu; (1) masalah hubungan negara dan agama; (2) masalah bentuk pemerintahan; dan (3) masalah hubungan negara dan ekonomi. Menurut Supomo, untuk menjawab persoalan pengertian negara (Staatsidee) yang dianut perlu terlebih dahulu dirumuskan dan disepakati sejumlah hal pokok. Menurutnya, dasar negara dan susunan pemerintahan negara harus sesuai dengan riwayat hukum dan lembaga sosialnya. Meskipun terdapat banyak teori negara dari para tokoh di Eropa maupun Amerika, perlu dirumuskan konsep yang merujuk kepada riwayat hukum dan lembaga sosial bangsa Indonesia. Jika akhirnya akan mengadopsi salah satunya, perlu adanya kecermatan dalam memilih, khususnya yang betul-betul cocok dan membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia (Yamin 1959: 111-113; Suwarno 1993:45).

Dalam pidatonya, Supomo mendeskripsikan lembaga sosial masyarakat Indonesia sebagai berikut:

“Maka semangat kebatinan, struktur kerohanian dari bangsa Indonesia bersifat dan cita-cita persatuan hidup, yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara macrokosmos dan mikrocosmos, antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya. Segala manusia sebagai golongan manusia itu tiap-tiap masyarakat dalam pergaulan hidup di dunia dianggap mempunyai tempat dan kewajiban hidup (dharma) sendiri-sendiri menurut kodrat alam dan segala-segalanya ditujukan kepada keimbangan lahir dan batin. Manusia sebagai seseorang tidak terpisah dari seseorang yang lain atau dari dunia luar, dari golongan-golongan manusia, malah segala golongan mahkluk, segala sesuatu bercampur baur dan bersangkut paut, segala sesuatu berpengaruh-pengaruhi dan kehidupan mereka bersangkut-paut. Inilah ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia, yang berwujud juga dalam susunan tatanegaranya yang asli.” Dalam suasana persatuan antara rakyat dan pemimpinnya, antara golongan-golongan rakyat dan pemimpinnya, antara golongan-golongan rakyat satu sama lain, segala golongan diliputi oleh semangat gotong royong, semangat kekeluargaan (Yamin 1959: 113).

Berdasarkan lembaga sosial yang dideskripsikan tersebut, Supomo mengusulkan negara Indonesia merdeka yang hendak didirikan itu berdasar atas aliran pikiran negara (Staasidee) yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apa pun. Dengan pengertian negara nasional yang bersatu itu, dia menjelaskan hubungan negara dan agama sebagai berikut:

Negara nasional yang bersatu itu tidak akan mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar, tetapi akan mengatasi semua golongan dan akan mengindahkan serta menghormati keistimewaan semua golongan baik besar maupun kecil. Dengan sendirinya urusan agama akan terpisah dengan urusan negara, karena urusan agama  akan diserahkan kepada golongan-golongan agama yang bersangkutan.”

Bagi Supomo, negera yang menerapkan prinsip tersebut bukan negara yang areligious, tetapi akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita-cita rakyat yang luhur. Dengan demikian, tegas Supomo, negara nasional yang bersatu itu berdasarkan moral yang luhur yang dianjurkan oleh agama (Yamin 1959: 117; Suwarno 1993:46).

Perihal bentuk pemerintahan, Supomo mengetengahkan prinsip negara integralistik, yang tidak menyangkut monarki atau demokrasi seperti yang diperdebatkan oleh para anggota BPUPKI, namun yang penting ialah kepala negara, dan bahkan semua badan pemerintahan mempunyai sifat pemimpin negara dan rakyat seluruhnya. Kepala negara harus memimpin rakyat seluruhnya, mengatasi semua golongan, dan bersifat mempersatukan negara dan bangsa. Untuk menjamin hal itu, dalam susunan pemerintahan negara Indonesia Supomo menganjurkan pembentukan sebuah sistem badan permusyawaratan demi tercapainya keadilan dan segenap cita-cita rakyat (Yamin 1959: 119-120; Suwarno 1993:47).

Supomo juga menegaskan bahwa negara harus berperan sebagai “badan penyelenggara”, pencipta hukum yang timbul dari sanubari rakyat. Menurutnya,

Saya mupakat dengan pendirian yang hendak mendirikan negara nasional yang bersatu dalam arti totaliter, seperti yang saya uraikan tadi, yaitu negara yang tidak akan mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar, akan tetapi yang mengatasi segala golongan dan akan mengindahkan dan menghormati keistimewaan dari segala golongan yang besar maupun golongan yang kecil.  Jadi dalam negara totaliter atau integralistik, negara akan ingat kepada segala keadaan, hukum, negara akan memperhatikan segala keistimewaan dari golongan-golongan yang bermacam-macam adanya di tanah air kita.”

Supomo mengakhiri pidatonya dengan membacakan semacam kesimpulan, sebagai berikut:

Sekian saja Paduka Tuan, tentang dasar-dasar yang hendaknya dipakai untuk mendirikan Negara Indonesia Merdeka. Atas dasar pengertian negara sebagai persatuan bangsa Indonesia yang tersusun atas sistem hukum yang bersifat Integralistik tadi, di mana negara akan berwujud dan bertindak sebagai penyelenggara negara keinsyafan keadilan rakyat seluruhnya, maka kita dapat melaksanakan Negara Indonesia yang bersatu dan adil, seperti sudah termuat dalam Panca Dharma, pasal 2, yang berbunyi: "Kita mendirikan negara hanya bisa termuat dalam Panca Dharma pasal 2, yang berbunyi: "Kita mendirikan negara hanya bisa adil, jikalau negara itu menyelenggarakan rasa keadilan rakyat dan menuntun rakyat kepada cita-cita luhur, menurut aliran zaman. Negara Indonesia yang berdasar atas semangat kebudayaan Indonesia yang asli, dengan sendirinya akan bersifat negara Asia Timur Raya. Dan negara Indonesia yang terbentuk atas aliran pikiran persatuan yang saya uraikan tadi, pun akan dapat menjalankan dharmanya [kewajibanya] dengan semestinya sebagai anggota dari pada kekeluargaan Asia Timur Raya” (Yamin, 1971: 109-121)


Uraian pemetaan pemasalahan serta tawaran gagasan yang disampaikan baik oleh Yamin maupun Supomo pada gilirannya turut memperkuat substansi pidato Sukarno. Saat itu Sukarno menyampaikan pidato seputar lima dasar negara yang disebutnya sebagai Pancasila. Pidatonya dimulai dengan mengurai tiga persoalan mendasar, yaitu: (1) masalah waktu kemerdekaan; (2) masalah dasar negara yang disebutnya philosophische grondslag; serta (3) masalah bentuk pemerintahan (Yamin 1959: 61-77). Khususnya seputar philosophische grondslag, Sukarno mengemukakan dasar-dasar berikut:

(1) Kebangsaan, merujuk konsep E. Renan, Otto Buer, dan konsep geopolitik untuk memadukan unsur-unsur kehendak untuk bersatu, kesamaan nasib, dan persatuan bangsa dengan tanah air  (Yamin 1959: 69-71).
(2) Internasionalisme, merujuk konsep nasionalisme yang diusung Gandhi. Bagi Sukarno, dasar kebangsaan harus dicegah agar tidak menjurus ke nasionalisme ekstrem atau chauvinisme. Menurutnya, nasionalisme tidak akan subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme (Yamin 1959: 73).
(3) Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Terkait hal ini Sukarno menjelaskan, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua, semua buat satu”. Saya Jakin, bahwa sjarat jang mutlak untuk kuatnja Negara Indonesia ialah permusjawaratan perwakilan (Yamin 1959: 74).
(4) Prinsip kesejahteraan, yang oleh Sukarno diarahkan sebagai upaya meminimalkan kemiskinan di Indonesia merdeka. Prinsip kesejahtaran tersebut menurut Sukarno harus mampu memberi jaminan bagi rakyat. ”Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economiche democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!,” ujar Sukarno dalam pidatonya.
(5) Prinsip Ketuhanan. Sukarno menyebutnya sebagai Prinsip Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap orang ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Inilah prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa (Yamin 1959: 77-78).


Berdasarkan uraian atas prinsip-prinsip yang menjadi dasar-dasar negara tersebut Sukarno memperkenalkan nama Pancasila. “…. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Pantja Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli Bahasa—namanya ialah Pandja Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi,” ucap Sukarno (Suwarno 1993:49).

Dalam pidatonya Sukarno juga menekankan pentingnya dukungan semua pihak untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Menurutnya,

“Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikusumo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia! Semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!”

Dalam hal ini Sukarno menekankan gotong royong sebagai prinsip yang perlu terus dijaga, termasuk dalam menentukan dasar-dasar negara Indonesia. Menurutnya,

“Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari keleluargaan, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong! Prinsip Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.”

Sukarno menutup pidatonya dengan sebuah rekomendasi terkait perlunya disusun segera peraturan sementara (noodmaatregel) untuk Indonesia merdeka berdasarkan rumusan Pancasila. Sukarno membagi kisah perjuangannya sejak 1918 hingga 1945, di mana selama rentang waktu itu ia berjuang untuk Weltanschauung kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan: untuk permufakatan: untuk social rechtvaardigheid: untuk Ketuhanan; dan Weltanschauung ini hanya menjadi kenyataan jika diperjuangkan. Pidato Sukarno menjawab tiga permasalahan tersebut, bahwasanya bangsa Indonesia harus merdeka saat itu juga, sebab kemerdekaan merupakan jembatan emas, bukan tujuan akhir. Adapun bagi dua persoalan lain yang dikemukakan, Pancasila, menurut Sukarno, menjadi jawaban (Yamin 1959: 80-81; Suwarno 1993:50).

Sukarno dalam pidatonya secara eksplisit menyebutkan istilah Pancasila, sesuatu yang tidak tampak dalam pidato Yamin. Meskipun mengurai sila-sila tersebut secara rinci, Yamin tidak secara tegas menyebut istilah Pancasila. Meski demikian, Sukarno berujar bahwa dia tidak menciptakan Pancasila tetapi menggalinya, dan peran Yamin dan Supomo cukup siginifikan dalam proses tersebut. Dengan demikian, pidato ketiganya turut menentukan rumusan Pancasila dengan kekuatannya masing-masing: Yamin yang mengurai pendekatan historis yuridis, Supomo dengan pendekatan filosofis kenegaraan, serta Sukarno yang mengetengahkan pendekatan sosio-politis. Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila dihasilkan dari sebuah pendekatan multidimensional yang berupaya mengangkat nilai-nilai bangsa Indonesia menjadi suatu dasar negara yang ideal.

Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Nugroho, Marwati Djoened Poeponegoro (2019), Sejarah Nasional Indonesia VI. Cet.7, Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka)

Sekretariat Negara (1995), Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia)

Suwarno, P. J.(1993), Pancasila Budaya Bangsa Indonesia: Penelitian Pancasila Dengan Pendekatan, Historis, Filosofis & Sosio-Yuridis Kenegaraan (Yogyakarta: Kanisius)

Yamin, Muhamad (1959), Naskah Persiapan UUD 1945 (Jakarta: Yayasan Prapanca)