Planet Senen
Planet Senen adalah salah satu tempat prostitusi terbesar di Jakarta yang dikenal sejak tahun 1960-an di wilayah Senen, Jakarta Pusat. Pada periode pasca-Revolusi, kota Jakarta sedang mengalami transformasi penataan kota yang pesat. Ketika itu, terjadi pembangunan berbagai proyek pembangunan yang pesat, serta arus urbanisasi menyebabkan munculnya pemukiman kumuh dan hunian liar, terutama di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Setiap malam hari, kawasan Senen menjadi tempat bagi para pekerja seks menawarkan jasa untuk konsumen yang berasal dari kalangan bawah. Kala itu, orang-orang di sekitar menyebut kawasan prostitusi tersebut sebagai ‘planet’, sehingga kemudian dikenal sebagai Planet Senen, hingga wilayah tersebut ditutup pada tahun 1973.
Sejak awal abad ke-19, wilayah Senen telah memiliki posisi penting di kota Jakarta (dulu Batavia). Senen bagian dari Weltevreden, merupakan wilayah yang dihuni oleh beragam penduduk, tempat basis militer, serta sempat menjadi rumah bagi Gubernur Jenderal pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia (Tadié 2003: 2). Di bagian Barat kawasan Senen adalah wilayah Kwini dan Jalan Prapatan, lalu di bagian Timur adalah bangunan-bangunan pemerintahan di area Lapangan Banteng dan Jalan Merdeka. Kemudian di bagian Barat dan Selatan dari wilayah Senen adalah kampung Kramat, Bungur, dan Kwitang. Kawasan Senen adalah titik temu bagi bangunan-bangunan formal pemerintahan yang resmi dan juga lingkungan kumuh dari kota Jakarta (Tadié 2003: 2).
Pada masa kolonial, kawasan Senen dikenal sebagai wilayah komersil untuk melakukan aktivitas jual beli masyarakat. Tuan tanah ketika itu, Justinus Vinck, membeli sejumlah lahan yang kemudian dijadikan pasar, yaitu Pasar Tanah Abang, dan Pasar Senen (Tadié 2003: 2). Penamaan Pasar Senen dikarenakan pasar tersebut beroperasi pada hari Senin, selain terdapat juga berbagai pasar yang penamaannya ditentukan sesuai dengan hari pasar tersebut melakukan aktivitas, seperti Pasar Minggu, Pasar Rebo, dan Pasar Jumat (Iskandar, 2018: 304). Komoditas utama yang diperjualbelikan antara lain adalah buah-buahan, sayur-sayuran, dan makanan-makanan lainnya untuk berbagai kalangan masyarakat.
Hingga pada masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia, kawasan Senen terus mengalami perkembangan. Pada akhir tahun 1960-an, sebutan Planet Senen mulai populer sebagai tempat lokalisasi yang populer di kawasan tersebut. Planet Senen berdiri di lahan seluas 1.3-kilometer persegi dan berada di antara pemukiman yang menampung sejumlah lebih dari 6,000 warga pada tahun 1970 (Tadié 2003: 3). Selain memiliki reputasi sebagai kawasan yang dipenuhi oleh perjudian, penjualan minuman keras, dan prostitusi, kawasan ini juga memiliki ikatan erat dengan perkembangan musik dangdut di kota Jakarta.
Pada awal tahun 1970-an, musik dangdut marak di wilayah perkotaan, terutama di daerah yang termarjinalkan secara sosial dan ekonomi, salah satunya adalah di kawasan Planet Senen (Weintraub 2018: 370–371). Perkembangan musik ini tidak terlepas dari dibukanya akses dunia hiburan terhadap masyarakat di masa Orde Baru (Karsono 2020: 345–346). Kawasan Planet Senen merupakan salah satu tempat hiburan musik dangdut yang populer bagi kalangan menengah ke bawah. Di dalam perjalanannya, kawasan Planet Senen mengalami peremajaan pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, yang menutup kawasan tersebut serta merelokasi tempat prostitusi ke wilayah Kramat Tunggak pada tahun 1973 (Tadié dan Permanadeli 2015: 477; Gunapriatna dan Dewi 2021: 31).
Penulis: Teuku Reza Fadeli
Instansi: University Of York
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si
Referensi
Gunapriatna, Arturo, dan Citra Smara Dewi. (2021). Representasi Budaya Urban dalam Pendidikan Seni di LPKJ Era 1970-an. Jurnal Seni Nasional Cikini, 7(1), 31–40.
Iskandar, Mohammad. (2018). “Dinamika Sosial Ekonomi”. Dalam Susanto Zuhdi, et. al. Penelusuran Sejarah Peradaban Jakarta. Jakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah DKI Jakarta.
Karsono, Sony. (2021). Flâneur, Popular Culture and Urban Modernity: An Intellectual History of New Order Jakarta. Asian Studies Review, 45(2), 345-363.
Tadié, Jérôme. (2003). “The Hidden Territories of Jakarta”. Dalam Peter J. Nas. The Indonesian Town Revisited. Singapura: ISEAS.
Tadié, Jérôme, dan Risa Permanadeli. (2015). Night and the city: Clubs, brothels and politics in Jakarta. Urban Studies, 52(3), 471–485.
Weintraub, Andrew N. (2018). “Nation, Islam, and Gender in Dangdut, Indonesia’s Most Popular Music”. Dalam Robert Hefner (Ed.). Routledge Handbook of Contemporary Indonesia. London: Routledge.