Ali Sadikin

From Ensiklopedia


Ali Sadikin.1957.Sumber: http://hdl.handle.net/10648/ac70cc90-d0b4-102d-bcf8-003048976d84


Ali Sadikin adalah perwira tinggi angkatan laut yang kemudian menjabat sebagai gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Ia lahir di Sumedang, Jawa Barat, pada 7 Juli 1927. Didorong oleh cita-citanya sejak kecil untuk menjadi pelaut, ia masuk ke Sekolah Tinggi Pelayaran di Semarang pada masa pendudukan Jepang. Pada masa kemerdekaan ia bergabung dengan BKR-Laut. Ia dikirim ke Tegal untuk membentuk pangkalan Angkatan Laut dan Korps Marinir. Ia juga turut dalam perjuangan menumpas pemberontakan Permesta. Selama berkarir di dunia militer, ia pernah menjabat Wakil Komandan Resimen Samudera Pasukan CA IV (1949), Perwira CA IV/Pasukan SWK SV, Wakil Panglima KKO AL (1950–1953), Komandan Pusat Pendidikan dan Latihan KKO AL (1954–1959), dan Deputi II Panglima Angkatan Laut (1959–1963). Ia juga mendapat kepercayaan dari Presiden Sukarno untuk menjabat Menteri Perhubungan Laut (1963–1964), dan kemudian Menteri Koordinator Urusan-urusan Maritim/Menteri Perhubungan Laut (1964–1966) (Aning S. 2007: 37-38).  

Setelah menyelesaikan tugas sebagai menteri, Ali Sadikin mendapat kepercayaan dari Presiden Sukarno untuk menjabat Gubernur DKI Jakarta. Ia memangku jabatan itu selama dua periode yaitu pada 1966-1977. Masa jabatan periode pertama pada 20 April 1966–20 April 1971, setelah itu ada masa peralihan di mana ia menjadi Pejabat Gubernur pada 21 April 1971–4 Februari 1972. Selanjutnya ia diangkat menjadi gubernur untuk periode kedua mulai 4 Februari 1972. Masa jabatan periode kedua berakhir pada Februari 1977, namun ia masih harus menjalankan tugas sebagai Pejabat Gubernur lagi hingga Juli 1977 (Wirosardjono dkk., 1977: 1-2).

Pilihan Sukarno pada Ali Sadikin atas rekomendasi dari Dr. Johannes Leimena (6 Maret 1905–29 Maret 1977), setelah tiga nama tokoh jenderal yang diajukannya ditolak. Ali Sadikin tidak menganggap pengangkatannya sebagai gubernur merupakan degradasi mengingat ia pernah menjadi menteri. Apalagi setelah ia mengetahui alasan Sukarno, yang baru disampaikan saat pidato pada hari pelantikannya pada 28 April 1966. Ali Sadikin dipandang tepat untuk memimpin Jakarta karena berlatar KKO AL. Ia memahami masalah laut dan pelabuhan, dan ini sesuai dengan keadaan dan kebutuhan Jakarta sebagai kota pelabuhan. Ia, dengan dukungan istrinya, juga dipandang mampu melayani para diplomat yang berkumpul di ibukota negara. Satu lagi alasan yang dikatakan Sukarno adalah Ali Sadikin merupakan een koppige vent, pria yang keras kepala. Jakarta memerlukan gubernur yang sedikit keras kepala. Tugas Ali Sadikin adalah membangun Jakarta agar mempunyai physical face yang waardig, kota yang mempunyai ‘wajah yang berharga’. Tugas ini amat berat, tetapi Sukarno meyakinkannya dengan mengatakan bahwa jika tugas ini berhasil dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, akan menjadi national pride. Kelak orang-orang yang melihat Jakarta akan mengingat, “dit heeft Ali Sadikin gedaan”, ‘inilah yang telah dilakukan Ali Sadikin’ (Ramadhan, 1992: 19-21).

Ali Sadikin mengawali tugasnya sebagai gubernur dalam situasi yang tidak menguntungkan. Ia mengakui tidak mempunyai pengalaman kepamongprajaan. Namun kesulitan ini dapat diatasi dengan mengandalkan Djumadjitin Sasmitadipradja. Ia bahkan menyebut sekretaris daerahnya itu sebagai “kamus berjalan” dan penasihat utama karena keluasan pengetahuan dan pengalamannya dalam pemerintahan DKI Jakarta (Ramadhan, 1992: 23). Tantangan yang lebih besar dan harus segera diselesaikan adalah membereskan Jakarta yang pada 1966 tampak seperti kota terlantar. Tingkat kesejahteraan penduduknya rendah sementara sarana dan prasarana yang diperlukan untuk meningkatkannya tidak memadai. Ia juga melihat bahwa tanggung jawab warga Jakarta terhadap kota mereka sendiri masih rendah. Di sisi lain, aparatur pemerintah DKI Jakarta kurang meyakinkan. Mereka berada dalam dualisme kekuasaan karena sebagian merupakan perangkat pemerintah pusat yang lazim disebut pamong praja dan sebagian lainnya merupakan aparat pemerintah daerah atau perangkat otonom. Anggaran belanja DKI Jakarta juga amat kecil yaitu hanya Rp 66 juta, yang sebagian besar digunakan untuk belanja rutin. Pemerintah DKI Jakarta belum memiliki landasan konsepsional yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk menyusun program pembangunan. Kondisi itu diperparah dengan situasi politik Jakarta yang tidak stabil dan masyarakatnya didera rasa saling curiga akibat G30S yang terjadi beberapa bulan setelah ia memulai tugasnya sebagai gubernur (Wirosardjono dkk., 1977: 1-2; Ramadhan, 1992: 24-25). Dalam situasi semacam itu, ia merasa seperti orang yang diterjunkan dengan payung di suatu medan yang masih asing tanpa memiliki petunjuk ke titik mana harus menuju (Ramadhan, 1992: 509). Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan itu, Ali Sadikin menempuh tiga langkah strategis yaitu menata hubungan kerja antara unsur eksekutif dan legislatif, melakukan reorganisasi pemerintah daerah, dan menyusun pedoman konsepsional pembangunan Jakarta.

Untuk memperkuat pemerintahannya, Ali Sadikin melakukan rehabilitasi dan reorganisasi. Ia menghilangkan dualisme kekuasaan dengan mengintegrasikan perangkat pemerintah pusat dan aparat pemerintah daerah. Ia juga menerapkan kebijakan dekonsentrasi atau pendelegasian wewenang dan tugas-tugas pemerintah daerah kepada para kepala wilayah administratif, kecamatan, dan kelurahan. Dekonsentrasi didasarkan atas pertimbangan geografis, kegiatan-kegiatan dalam masyarakat, kondisi keamanan, kepadatan penduduk, dan kekhasan budaya setempat (Wirosardjono dkk., 1977: 49 dan 57).

Mengambil inspirasi dari tradisi angkatan laut, Ali Sadikin mengembangkan dan mengelola pemerintahan DKI Jakarta berdasar suatu merit system. Upaya itu dilakukan melalui peningkatan tertib administrasi, pembagian dan perincian kerja, dan penyusunan berbagai prosedur sebagai pedoman untuk kegiatan pelayanan. Hal penting lainnya dalam kebijakan pengelolaan pemerintah daerah adalah jaminan kepastian hukum bagi para pegawai, jenjang karier dan kepangkatan, sistem prestasi, dan norma-norma kepegawaian. Kriteria untuk peningkatan jenjang karier dan kepangkatan pegawai ditetapkan berdasar senioritas, prestasi, kedisiplinan, kejujuran, dan loyalitas. Dengan cara itu aparatur pemerintah merasakan pengabdian mereka sebagai bakti kepada negara, bukan kepada seseorang. (Ramadhan, 1992: 448 dan 509-510).

Pada masa pemerintahan Ali Sadikin pembangunan Jakarta ditekankan pada normalisasi dan peningkatan infrastruktur kota yang menunjang pengembangan ekonomi melalui Pola Rehabilitasi Tiga Tahun (1967–1969). Program ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sekaligus dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan mereka kepada pemerintah yang saat itu sedang merosot. Pola Rehabilitasi mencakup penataan dan pengembangan kota, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan serta kebudayaan (Ramadhan, 1992: 510).

Pembangunan Jakarta juga diarahkan pada kawasan desa melalui Program Perbaikan Kampung (PPK) yang disebut proyek Mohammad Husni Thamrin (MHT). Proyek MHT memiliki makna strategis karena lansekap Jakarta didominasi kampung-kampung yang dihuni oleh sekitar 60% penduduk Jakarta dengan fasilitas ekonomi, kesehatan, dan pendidikan minim. Ali Sadikin menyebut proyek MHT sebagai upaya “mengotakan desa dan mendesakan kota” karena proyek ini juga dimaksudkan untuk membangkitkan kembali kolektivisme dengan memperkuat norma-norma gotong royong dan saling menolong serta mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari (Wirosardjono dkk., 1977: 168).

Bidang-bidang lain yang mendapat perhatian Ali Sadikin dalam membangun Jakarta adalah pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan. Salah satu masalah utama di bidang pendidikan adalah banyaknya anak usia sekolah yang berkeliaran di jalanan sejak pagi hingga malam. Ali Sadikin melihat mereka sebagai “korban kekurangan sekolah”, di samping karena kemiskinan dan urbanisasi yang pesat (Ramadhan, 1992: 94-95).  Untuk mengatasi masalah itu Ali Sadikin telah merehabilitasi dan membangun banyak gedung sekolah dari SD hingga SMA. (Wirosardjono dkk., 1977: 176-179).

Pembangunan di bidang kesehatan dilakukan dengan meningkatkan status Balai Pengobatan menjadi Puskesmas. Selain itu juga dikembangkan rumah sakit pemerintah dan swasta serta pemberian subsidi untuk pasien dari kalangan tidak mampu. Pelayanan kesehatan lainnya adalah penyuluhan kesehatan dan pemberantasan penyakit menular terutama kolera, TBC, malaria, demam berdarah, penyakit mata, penyakit kelamin, cacar, dan frambusia (Ramadhan, 1992: 415-417).

Dalam bidang seni budaya, Ali Sadikin memiliki gagasan untuk menjadikan kesenian Betawi sebagai tuan rumah di Jakarta. Berdasar hasil seminar dan musyawarah dengan tokoh-tokoh budaya Betawi, pada 1977 dibentuk Lembaga Kesenian Betawi yang dikelola oleh masyarakat. Di samping itu, pemerintah DKI Jakarta juga memfasilitasi pembentukan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1968. Untuk mendukung kegiatan DKJ, pada tahun yang sama didirikan pusat kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jalan Cikini Raya No. 73, Menteng, Jakarta Pusat. Atas saran dari DKJ, Pemerintah DKI Jakarta pada 1970 mendirikan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) untuk mendidik para seniman muda. LPKJ mempunyai 5 akademi yaitu Tari, Teater, Musik, Seni Rupa, dan Sinematografi. Untuk mendukung DKJ dalam pengembangan kesenian, pada 1973 dibentuk Akademi Jakarta yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada gubernur dalam membuat  kebijakan tentang pengembangan kesenian dan kebudayaan (Wirosardjono dkk., 1977: 205-208). Ali Sadikin juga memberikan perhatian pada bidang sastra melalui pendirian Pusat Dokumentasi H.B. Jassin (Ramadhan, 1992: 461). Selanjutnya pada 20 Oktober 1975 Ali Sadikin meresmikan Pusat Perfilman Usmar Ismail di Kuningan, Jakarta Selatan. Ini merupakan bagian dari upaya untuk menjadikan film Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri (Ramadhan, 1992: 432-433).

Keberhasilan Ali Sadikin dalam membangun Jakarta tidak terlepas dari sikapnya yang anti feodalisme, tegas, dan memiliki tekad yang kuat. Ia juga memiliki pandangan yang luas terhadap program pembangunan. Ia tidak membedakan antara program pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah pusat. Ia berpendapat bahwa semua program pembangunan itu bertujuan untuk mencapai kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas dan sejahtera. Oleh karena itu, ketika ada program pemerintah pusat yang tidak berjalan baik, misalnya karena keterbatasan anggaran, ia menjadikannya sebagai tanggung jawab pemerintah DKI untuk mewujudkannya (Ramadhan,1992: 441).

Ali Sadikin merupakan pemimpin yang berani mengambil risiko. Ia tidak hanya melakukan langkah agresif untuk meningkatkan berbagai jenis pajak tetapi ia juga berani menempuh langkah kontroversial dengan melegalkan perjudian. Ia menyatakan bahwa legalisasi perjudian merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi darurat, dan karena itu harus dilihat dalam konteks keseimbangan antara manfaat dan mudarat (Wirosardjono dkk., 1977: 169).

Urbanisasi yang pesat membuat Jakarta dibanjiri oleh tenaga kerja dari berbagai daerah pedesaan dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah. Sebagian dari mereka hanya terserap dalam pekerjaan-pekerjaan marjinal seperti menjadi penarik becak dan buruh bangunan, bahkan yang bernasib kurang baik akan menjadi Wanita Tuna Susila (WTS), pengemis, dan gelandangan. Keberadaan mereka menimbulkan berbagai masalah seperti tumbuhnya permukiman padat dan kumuh, gubuk-gubuk liar, pedagang kaki lima, pasar liar, pungutan liar, dan kriminalitas (Wirosardjono dkk., 1977: 159-160). Ali Sadikin melakukan berbagai langkah untuk menertibkan mereka dengan berbagai cara. WTS ditempatkan dalam lokalisasi Kramat Tunggak agar tidak berkeliaran di jalanan. Ali Sadikin juga mengusulkan sebutan wadam yang dipandang lebih manusiawi untuk menggantikan sebutan banci. Ia mengajak bicara dan menganjurkan mereka untuk meningkatkan keterampilan dan bekerja sesuai dengan keterampilannya itu. (Ramadhan, 1992: 179). Melalui Ali Sadikin, kaum wadam terhubung dengan negara dan menjadi bagian penting dalam wacana pembangunan pada masa Orde Baru (Hegarty, 2019).

Keberhasilan Ali Sadikin dalam membangun Jakarta dan keberaniannya untuk melakukan terobosan banyak mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Ia mendapat kehormatan dengan panggilan khas Betawi yaitu Bang Ali, sedangkan istrinya Mpok Nani. Ia juga dipuji sebagai gubernur yang tahan kritik, jujur, dan tidak plintat-plintut. Ucapan, tindakan, dan bahkan keputusannya dalam kapasitasnya sebagai gubernur tidak jarang dilakukan secara spontan, dan ia selalu siap menanggung risiko yang muncul karena meyakini bahwa semua yang dilakukannya dilandasi niat baik untuk melayani dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sikap spontan juga terlihat dari cara Ali Sadikin menulis disposisi pada surat-surat masuk, baik yang berasal dari lembaga pemerintah maupun masyarakat. Ia biasa menulis disposisi dengan kalimat singkat dan wajar, misalnya, “Laksanakan segera!”. Namun, ketika membaca surat yang membuatnya emosi, ia menulis disposisi dalam cara yang tidak biasa, misalnya “Emangnya warisan nenek moyangmu!” (Ramadhan, 1992: 27).

Sikapnya yang spontan dan temperamental itu pula yang kadang membuatnya bertingkah konyol. Ini terjadi misalnya pada April 1975, saat ia ke TMII untuk memeriksa Pavilion (anjungan) DKI Jakarta yang akan diresmikan pada sore harinya. Saat berada di ruang utama ia melihat sebuah lukisan cat minyak yang membuatnya tersinggung dan beringasan. Lukisan itu menggambarkan air mancur dengan latar belakang gedung-gedung tinggi di belakangnya. Ia langsung meminta spidol pada bawahannya dan melampiaskan kejengkelannya dengan menulis “sontoloyo” di sudut kiri atas dan “Apa ini reklame barang-barang Jepang?” di kanan atas. Belum puas juga, ia menambahi dengan tulisan “Banzai”, “Dai Nippon!!!”, “Bakero”, dan tidak lupa membubuhkan tanda tangannya. Lukisan itu berjudul “Air Mancar”, karya Srihadi, yang sudah dibeli oleh Pemerintah DKI Jakarta. Tindakan Ali Sadikin ini terdengar sampai ke telinga pelukisnya dan membuatnya marah. Ali Sadikin merasa bersalah dan meminta tolong Ajip Rosidi dan Ilen untuk membawa Srihadi ke Jakarta. Menurut Srihadi “Air Mancar” adalah lukisan yang mengandung kritik sosial, dengan tujuan agar kesemrawutan Jakarta bisa ditertibkan. Srihadi menganggap kritiknya berhasil karena dapat memancing kemarahan Ali Sadikin. Ali Sadikin pun mengakui kesalahannya karena telah berbuat destruktif pada lukisan itu. Seraya menjabat tangan, ia meminta maaf kepada Srihadi. Melalui tulisannya di media massa, Srihadi menyatakan bahwa kesalahpahaman telah selesai, dan ia sangat menghargai sikap Ali Sadikin yang sportif. Atas kejadian itu, para seniman di LPKJ berkomentar dengan nada guyon bahwa baru kali itu terjadi di dunia satu lukisan dengan dua tanda tangan (Ramadhan, 1992: 424).

Di balik sikapnya yang gampang meledak itu, Ali Sadikin adalah pemimpin yang rendah hati. Ia mengatakan bahwa apa yang telah dilakukan sekadar melaksanakan gagasan-gagasan besar Sukarno yang memimpikan Jakarta sebagai kota metropolitan. Ia menunjukkan penghargaan yang tinggi kepada para pendahulunya dan menempatkan mereka pada tempat yang sepatutnya. Hal itu dilakukan dengan membukukan kisah lima kepala daerah Jakarta dari periode 1945-1966 yang diberi judul Karya Jaya (Ramadhan, 1992: 452). Kesadaran sejarah yang baik juga mendorongnya untuk memperhatikan ide-ide dari masa lalu untuk masa depan, menempatkan sejarah sebagai bagian penting dalam pembangunan Jakarta. Kesadaran semacam itu telah diwujudkan secara nyata dengan membangun Kota Tua, melakukan pemugaran gedung-gedung bersejarah, dan membangun museum-museum seperti Museum Sejarah Jakarta, Museum Seni Rupa, Museum Sastra Dokumentasi Sastra H.B. Jassin”, Museum Wayang, Museum Tekstil, dan merintis Museum Bahari (Ramadhan, 1992: 163 dan 426; Wirosardjono dkk., 1977: 211).

Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai gubernur, Ali Sadikin tetap memberi kontribusi pada pembangunan Jakarta maupun Indonesia. Sikap kritisnya tetap terlihat melalui kegiatannya bersama Petisi 50 yang membuatnya berseberangan dengan pemerintah Orde Baru. Pada 20 Mei 2008, ia meninggal setelah menjalani perawatan selama beberapa lama di Gleneagles Hospital, Singapura. Setiap orang yang mengetahui sejarah Jakarta pasti akan memberikan tempat khusus pada kontribusi Ali Sadikin di antara pencapaian Jakarta hingga kini. Kiranya mereka akan mengatakan apa yang pernah dikatakan Sukarno, “Dit heeft Ali Sadikin gedaan”.

Penulis: Mahendra Pudji Utama


Referensi

Aning S., Floriberta (2007). 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Narasi. 

Hegarty, Benjamin (2019), “The Perfect Woman: Transgender Femininity and National Modernity in New Order Indonesia, 1968–1978, Journal of the History of Sexuality, Volume 28, Number 1, January 2019, hlm. 44-65.

Ramadhan K.H. (1992). Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.

Wirosardjono, Soetjipto, dkk. (1977). Gita Jaya: Catatan H. Ali Sadikin, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta 1966-1977. Jakarta: Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.