Pocut Meurah Intan
Dalam sejarah peperangan masyarakat Aceh dengan tentara Kolonial Belanda banyak tokoh perempuan terlibat dalam pertempuran. Kisah heroisme kaum Wanita sangat mewarnai sejarah Aceh di masa lalu. Salah satu tokoh wanita yang tampil dalam upaya mempertahankan bumi Aceh dari penjajahan Belanda adalah Pocut Meurah Intan, seorang wanita keturunan bangsawan Aceh yang lahir pada tahun 1833 di Gampong Lampadang, Pidie. Pocut Meurah Intan juga sering disebut dengan nama Pocut Meurah Biehue. Panggilan tersebut merupakan panggilan yang disematkan karena Pocut Meurah Intan lahir di Biehue (Hasbullah, 2015: 21). Bihue merupakan wilayah Uleebalang di wilayah Sagoe 22 Mukim yang langsung dibawah kekuasaan Kesultanan Aceh (Hasbullah, 2015: 21).
Pocut Meurah Intan adalah Istri dari bangsawan keturunan Sultan Aceh yang bernama Tuanku Abdul Majid bin Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar syah yang sempat memerintah Aceh selama 28 tahun. Pocut Meurah Intan memiliki tiga orang anak dari pernikahannya dengan Tuanku Abdul Majid. Ketiga nama anaknya adalah Tuanku Budiman, Tuanku Muhammad dan Tuanku Nurdin. (Hasjmy, 1993: 34-35).
Ketika Pusat Kerajaan Aceh di Kutaraja berhasil diduduki pasukan Belanda, Pemerintah Hindia Belanda terus menempatkan pasukannya ke kawasan pedalaman Aceh untuk memburu para pejuang Aceh. Dengan demikian alur peperangan Aceh yang semula perang frontal menjadi perang gerilya, tidak hanya di wilayah pegunungan tetapi juga di wilayah pesisir. Akibat situasi ini banyak para pimpinan perang Aceh pergi atau berpindah ke wilayah Pidie, Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Timur dan sebagainya (Zamzani, 1985: V).
Salah satu lokasi peperangan yang cukup besar berada di wilayah Laweung dan Batee yang masuk dalam wilayah Pidie. Dengan situasi seperti itu tidak ada pilihan lain selain untuk melawan kepada Belanda. Pocut Meurah Intan dan semua anaknya ikut turun dalam peperangan dengan Belanda. Dalam aksi-aksinya melawan Belanda, Pocut Meurah Intan terkenal sebagai seorang pejuang wanita yang tangguh dan hal ini mendapat pengakuan langsung dari seorang Mayor Jenderal Belanda bernama T.J. Veltman yang berkata :
- ”Veltman atau dikenal sebagai ‘Tuan Pedoman’, adalah seorang perwira yang baik hati. Ia pernah mengenal seorang perempuan Aceh keturunan bangsawan, bernama Pocut Meurah Intan. Perempuan itu disangka menyembunyikan sebilah keulewang di dalam lipatan kainnya. Ketika akan digeledah, tiba-tiba ia mencabut rincong sambil berteriak: ”kalau begitu biarlah aku syahid”. Ia pun menyerbu brigade, anggota-anggota pasukan nampaknya kurang bernapsu untuk bertempur dengan seorang perempuan yang berlaku sebagai ”singa betina” yang menikam ke kiri dan ke kanan, dan sesaat kemudian perempuan itu pun terbaring di tanah" (Zentgraaff 1938: 73-74).
Pocut Merah Intan di berhasil tertangkap oleh Veltman pada 11 November 1902. Setelah penangkapan Pocut Meurah Intan dan anak-anaknya, mereka dibawa ke Jawa, tepatnya ke Blora, Jawa Tengah dan anaknya yang bernama Tuanku Muhammad dibuang ke Manado. Pocut Meurah Intan meninggal dunia di masa pengasingannya di Blora pada 19 September 1937 (Zamzani 1985: VI).
Penulis: Suprayitno
Instansi: Universitas Sumatera Utara
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Hasbullah (2015) Perempuan Gagah Berani Dari Bihue : Mengenang Pocut Meurah Intan (1873-1937) dalam Buletin HABA Kapita Selekta Sejarah dan Budaya. Banda Aceh: Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh.
Hasjmy, A (1997) Wanita Aceh dalam Pemerintahan dan Peperangan. Bandah Aceh: Yayasan Pendidikan A. Hasjmy.
Zamzami, Amran (1985) Pocut Meurah Intan, Srikandi Tanah Rencong yang terbaring di Tegalsari. Jakarta: Persatuan Ex-TP Resimen II Aceh Divisi Sumatera.
Zentgraaff, H.C. (1936) Atjeh. Batavia: Koninklijke Drukkerij De Unie.