Politik Asosiasi
Politik Asosiasi adalah filosofi politik kolonial Belanda yang muncul di penghujung abad ke-19 yang secara prinsip berpandangan untuk mewujudkan penyatuan dan kerjasama antara bangsa penjajah dan terjajah (Kartodirdjo 1999: 50-52; Poesponegoro, Notosusanto, Soejono dan Leirissa 2010 : 42-49). Pandangan akan adanya hidup berdampingan antara kedua bangsa di tanah jajahan ini diharapkan dapat menjadi landasan untuk melenyapkan perbedaan rasial yang berpotensi menjadi perintang dalam mewujudkan kemajuan Hindia Belanda. Tujuan dari politik ini adalah penyebaran budaya Belanda secara umum, terutama dalam perluasan pengajaran bahasa Belanda. Dengan demikian, Politik Asosiasi berjalan seiring dengan Politik Etis yang juga bercita-cita untuk mengangkat derajat rakyat terjajah. Kewajiban untuk memberikan pengajaran bahasa dan budaya Belanda memang menjadi tugas pemerintah, namun peran serta swasta juga dibuka. Untuk merealisasikan cita-cita politik ini didirikan partai asosiasi Belanda dengan nama Politiek Economische Bond (PEB). Tujuan dari partai ini ialah untuk mewujudkan suatu bangsa Hindia dengan jalan kerjasama dengan masyarakat terjajah di bawah pimpinan Belanda. Partai ini menempatkan Belanda sebagai pelindung, bukan pembebas dari penjajahan, sehingga ia menentang gerakan "non-kooperasi" dan pembebasan diri dari Belanda. Kaum konservatif di Belanda beranggapan bahwa cita-cita Politik Asosiasi ini mustahil diwujudkan secara menyeluruh. Asosiasi hanya mungkin diterapkan secara selektif, hanya sebagian kecil saja dari rakyat terjajah yang dapat meningkat pada taraf kultural peradaban Barat. Kalangan konservatif ini mendirikan Vaderlandsche Club (VB) yang tidak hanya mempertahankan kepemimpinan Belanda atas Hindia, namun juga memperkuat ikatan-ikatan antara Hindia dan Belanda untuk menjamin kepentingan-kepentingan ekonomi, sosial, dan finansial beberapa golongan di Belanda. Kalangan ini menggagas pembentukan Nederland Raya dengan Hindia-Belanda sebagai negara bagian yang memiliki status otonom dari Kerajaan Belanda. Kekuasaan atas Hindia tidak akan pernah diserahkan manakala masyarakat terjajah belum cakap untuk mengurus negara. Pihak penjajahlah yang dapat menentukan kapan tanah jajahannya layak melepaskan diri. Para birokrat Belanda alumni Universitas Leiden yang tergabung dalam De Stuw memiliki pandangan yang agak berbeda terhadap Politik Asosiasi (Kartodirdjo 1999: 55-56). Mereka setuju terhadap adanya ikatan permanen antara Hindia-Belanda dan Kerajaan Belanda, namun bagi mereka itu bukan berarti bahwa Belanda selalu mengulurkan tangannya kepada Hindia karena sebelumnya Belanda telah mengekang Hindia terlalu erat. Golongan lain yang berpandangan mirip dengan De Stuw terhadap Politik Asosiasi adalah Leidsche Groep. Kelompok ini menyokong politik yang bertujuan memberikan status otonomi kepada Hindia Belanda. Selain itu, kelompok ini juga mengakui adanya ikatan-ikatan politik baru yang terdapat pada masyarakat Hindia. Namun demikian, dalam praktek Politik Asosiasi ini tidak dapat terwujud secara ideal. Bagaimanapun hubungan yang terjalin antara bangsa terjajah dengan penjajahnya sulit diwujudkan dalam suatu hubungan yang egaliter. Bangsa terjajah sebagai pihak yang lemah tetap dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa penjajah yang menjadi penguasa. Politik Asosiasi ini masih tetap menjadi pengekal keterikatan hubungan antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah di mana bangsa penjajah tetap berada di posisi atas.
Penulis: Johny Alfian Khusyairi
Instansi: Universitas Airlangga
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar sejarah Indonesia baru: sejarah pergerakan nasional,dari kolonialisme sampai nasionalisme, jilid 2, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Poesponegoro, Marwati Djoened and Nugroho Notosusanto (editor umum); R.P. Soejono dan R. Z. Leirissa (editor umum pemutakhiran). 2010. Sejarah Nasional Indonesia V, zaman kebangkitan nasioanl dan masa Hindia Belanda (+1900 - 1942), edisi pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka.