Poros Jakarta-Pyongyang-Peking
Poros Jakarta-Pyongyang-Peking adalah salah satu bentuk pelaksanaan politik luar negeri Sukarno masa Demokrasi Terpimpin. Diresmikan pada Januari 1965, poros tersebut merupakan rumusan politik luar negeri Indonesia ala Sukarno yang cenderung anti-Barat dan condong kepada negara-negara komunis, meskipun mengusung politik luar negeri bebas aktifis.
Hal tersebut dapat dilihat dari konfrontasi Indonesia atas Malaysia. Bagi Sukarno, pembentukan negara federasi Malaysia adalah bentuk imperialisme Barat di Asia. Oleh karena itu, saat Malaysia diberi kedudukan sebagai anggota tidak tetap dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia menyatakan keluar dari PBB.
Hal itu tentu semakin meningkatkan pengucilan diplomatik Indonesia dari negara Asia-Afrika lainnya. Oleh karena itu, melalui Soebandrio, Indonesia mencoba untuk mengukuhkan hubungan Jakarta-Peking. Saat itu, Perdana Menteri Zhou Enlai menawarkan bantuan persenjataan milisi rakyat yang disebut sebagai Angkatan Kelima (Ricklefs 2010: 576-578). Dalam hal ini, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin oleh Aidit mendesak pembentukan Angkatan Kelima, yang anggotanya direkrut dari kaum pekerja dan buruh perkotaan, buruh tani, serta petani miskin desa yang dipersenjatai (Mortimer 2011: 139). Poros Jakarta-Peking ala Sukarno, yang didukung oleh PKI, juga menandai perubahan pendekatan nonkapitalis dan koeksistensi damai Moskow ke arah anti-imperialisme dan kemandirian sesuai gagasan Peking (Törnquist 2011: 67).
Konflik Indonesia dan Malaysia telah menarik reaksi dari Inggris dan Australia yang mendukung Malaysia. Setelah pada 9 Agustus 1965, Lee Kuan Yew menyatakan Singapura berpisah dengan Malaysia, Sukarno semakin meneguhkan keyakinan kuatnya akan konfrontasi. Untuk memperkuat posisi Indonesia bersama dengan negara-negara anti-imperialisme lainnya, pada pidato dalam rangka peringatan 17 Agustus 1965, ia mengumumkan pembentukan poros Jakarta-Pyongyang-Peking (Ricklefs 2010: 580). Poros ini dimaksudkan untuk mematahkan Old Etablished Forces (OLDEFOS) dan menggalang New Emerging Forces (NEFOS) (Wibowo dan Hadi 2009: 30).
Inti dari gagasan Sukarno adalah bahwasanya dunia terbatas atas dua kekuatan. Kekuatan yang pertama adalah kekuatan imperialisme dan kolonialisme yang disebut dengan OLDEFOS, sedangkan kekuatan yang kedua adalah kekuatan anti-imperialisme dan kolonialisme yang disebut dengan NEFOS. Jika OLDEFOS direpresentasikan oleh negara-negara kapitalis barat, maka NEFOS digambarkan dengan negara-negara sosialis di Asia, Afrika, dan Amerika Latin (Budiman 2014: 154-155). Oleh karena itu, politik bebas aktif Indonesia bukan sebuah gagasan politik netralisme dalam hubungannya dengan non-alignment. Bagi Indonesia, politik non-alignment bukan politik netralisme. Pada hakikatnya, non-alignment adalah perwujudan dari aktif itu sendiri, sehingga diplomasi Indonesia pada saat itu diarahkan untuk menempatkan Indonesia bukan sebagai obyek, tetapi sebagai subyek dalam politik internasional (Poesponegoro dan Notosusanto 1993: 345).
Setelah kelahiran Orde Baru pada 1966, kebijakan politik luar negeri Indonesia mengalami perubahan. Akibat peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada 1965, hubungan Indonesia dan Cina mengalami ketegangan. Bahkan, kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Peking, ditutup untuk waktu yang tidak ditentukan. Sementara itu, konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura dianggap sudah tidak sesuai lagi. Saat itu, arah politik yang semula konfrontatif berubah, dan poros Jakarta-Pyongyang-Peking pun berakhir (Poesponegoro dan Notosusanto 1993: 476).
Penulis: Rabith Jihan Amaruli
Instansi: Universitas Diponegoro
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
Budiman, Agus, 2014. “Implementasi Politik Luar Negeri Bebas Aktif pada Masa Demokrasi Terpimpin”. Jurnal Ilmiah Cakrawala: Hasil Penelitian dan Pemikiran, Vol. 5, No. 2, September, hlm. 149-158).
Mortimer, Rex, 2011. Indonesia Comunism Under Sukarno: Ideologi dan Politik 1959-1965, terjemahan Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poesponegoro, Marwati Njoened dan Nugroho Notosusanto, 1993. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C., 2008. Sejarah Modern Indonesia 1200-2008, terjemahan Tim Penerjemah Serambi. Jakarta: Serambi.
Trönquist, Olle, 2011. Penghancuran PKI, terjemahan Harsutejo. Jakarta: Komunitas Bambu.
Wibowo dan Syamsul Hadi, 2009. Merangkul Cina: Hubungan Indonesia-Cina Pasca-Soeharto. Jakarta: Kepustakaan Gramedia Utama.