Rencana Urgensi Program
Rencana Urgensi Program (RUP) yang disebut juga dengan Rencana Urgensi Ekonomi atau Soemitro Plan adalah salah satu Program Kabinet Natsir yang dapat dikatakan sebagai rencana pembangunan nasional pertama di Indonesia. Program itu muncul karena kondisi ekonomi Indonesia pada masa awal kemerdekaan yang masih terbelakang. Rencana itu merupakan upaya nasional untuk mengembangkan sektor industri, karena ekonomi Indonesia saat itu masih bergantung kepada sektor ekonomi pertanian. Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa kondisi itu merupakan akibat kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang tidak memiliki keinginan untuk mengembangkan industri manufaktur (Thee Kian Wie 2003: 15). Dengan latar belakang itu, pemerintah berencana memberi prioritas kepada pengembangan industrialisasi dalam ekonomi Indonesia pada tahun-tahun awal kemerdekaan. Menteri Perdagangan dan Industri, Soemitro Djojohadikusumo kemudian meluncurkan gagasannya, yaitu “Rencana Urgensi Program” sehingga kemudian dikenal juga sebagai Soemitro Plan. Dalam program itu, sektor manufaktur memainkan peranan penting sebagai mesin pertumbuhan ekonomi (Zanden & Marks 2012: 297). Hal itulah yang kemudian menyebabkan Rencana Urgensi Program diubah Namanya menjadi Rencana Urgensi Industri. Program itu direncakan berjalan dari 1951-1953 dan kemudian diperpanjang menjadi lima tahun, yaitu 1951-1956 (Mustopadidjaja 2012: 59).
Rencana Urgensi Program diawali dengan pembentukan Panitia Industralisasi yang kemudian menyusun dan menentukan kebijakan industrialisasi. Kebijakan itu dituangkan dalam Rencana Urgensi Program atau Rencana Urgensi Industri. Ada beberapa hal yang dikemukakan dalam program itu. Pertama, mengusahakan agar kegiatan ekonomi Indonesia sedapat mungkin dilakukan pemerintah tanpa harus mematikan usaha swasta. Kedua, sasaran jangka panjang industrialisasi adalah meningkatkan pendapatan nasional dan sekaligus menciptakan struktur ekonomi yang lebih seimbang. Ketiga, pembangunan industri skala kecil dan menengah dibatasi, sedangkan pembangunan skala besar dilakukan secara selektif pada beberapa “industri kunci” seperti industri pertahanan, kimia, semen, pembangkit tenaga listrik, dan transportasi. Semua “industri kunci” harus ada di tangan pemerintah (Mustopadijaja 2012: 52). Pelaksanaan rencana tersebut mewajibkan setiap departemen yang terlibat guna menyiapkan rencana anggaran dan menyampaikan kepada Departemen Keuangan yang selanjutnya menggunakannya dalam menyiapkan RUU Anggaran Belanja Negara (Mustapadidjaja 2012: 474).
Rencana Urgensi Industri itu mengandung beberapa unsur kebijakan dan strategi. Pertama, pembangunan sector industri secara menyeluruh, baik dalam jangka pendek seperti industri percetakan, semen, ban, karung goni, pemintalan dan perajutan maupun jangka panjang seperti industri pupuk, alumunium, kertas, dan peleburan besi tua. Kedua, pembentukan induk-induk perusahaan dengan bantuan langsung pemerintah di pusat-pusat industri. Induk perusahaan membimbing perusahaan-perusahaan kecil perorangan dalam aspek produksi, pembelian bahan mentah, dan pemasaran akhir. Induk perusahaan khususnya berfungsi memperbaiki kualitas industri kecil dan memperkenalkan bentuk organisasi yang lebih efisien. Ketiga, pengembangan Balai Penelitian dan Pendidikan untuk mempercepat perkembangan industri (Mustapadidjaja 2012: 59).
Dalam pelaksanaannya program itu tidak berjalan lancar, karena Kabinet Natsir hanya berumur 6 bulan. Meskipun demikian, Rencana Urgensi Program tetap dilanjutkan oleh tiga kabinet selanjutnya. Program itu kemudian diperbaiki dengan lebih rinci lagi oleh Kabinet Wilopo. Pada masa Kabinet Wilopo, hasil kerja panitia indutrialisasi dirinci sebagai berikut. Pertama, sasaran pembangunan industrialisasi harus dapat melepaskan ketergantungan kepada luar negeri dan sekaligus berupaya mencukupi kebutuhan dalam negeri yang sejauh mungkin diarahkan untuk menggantikan barang impor atau biasa disebut kebijakan “Industri Substitusi Impor”. Kedua, Prioritas pembangunan industri dicurahkan kepada usaha pengolahan bahan mentah dalam negeri menjadi barang jadi. Ketiga, perusahaan swasta diperkenankan menanam modal dalam “industri kunci” dengan ketentuan tidak melebihi 49% dan saham istimewa harus dimiliki pemerintah. Keempat, perusahaan asing diperkenankan menanam modal dalam semua usaha di luar “industri kunci” dengan syarat bersedia bekerja sama dengan perusahaan swasta nasional (Mustapadidjaja 2012: 53).
Penulis: Haryono Rinardi
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A
Referensi
Mustapadidjaja, A.R (ed), 2012. Bappenas Dalam Sejarah Perencanaan Pembangunan Indonesia 1945-2025. Jakarta: LP3ES.
Van Zanden, Jaan Luiten & Daan Maarks, 2012. Ekonomi Indonesia 1800-2020, antara drama dan keajaiban pertumbuhan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Thee Kian Wie, 2003. Reflections: The Indonesian Economy, 1950s-1990. Singapore: ISEAS.