Kabinet Natsir

From Ensiklopedia

Muhammad Natsir dilantik oleh Sukarno sebagai Perdana Menteri pada 7 September 1950 di Istana Yogyakarta (Dzulfikriddin 2010: 10), yang saat itu masih menjabat sebagai Dewan Eksekutif Masyumi yakni Partai yang memiliki jumlah wakil terbesar di Parlemen (DPR) (Taher 1996:  33). Penunjukan ini didasari oleh ide Natsir mengenai persatuan dan kesatuan yang disebut Mosi Integral Natsir (Kahin 2012: 65). Ide ini disampaikan oleh Natsir ketika ia menjabat sebagai anggota parlemen pada sidang yang dilaksanakan pada 3 April 1950. Melalui Mosi Integral Natsir ini Sukarno berpikiran bahwa Natsir memiliki pandangan yang jauh dan strategis mengenai Indonesia (Dzulfikriddin 2010: 8-11).

Namun, usaha Natsir menentukan anggota dalam kabinetnya tidak berjalan mulus. Negosiasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) berjalan alot sehingga Natsir memberikan ancaman untuk bergerak mendirikan Kabinet tanpa bantuan partai. Keputusan Natsir untuk bergerak sendiri ditentang oleh Masyumi. Akibatnya, Natsir tidak memiliki dukungan dari PNI dan partainya sendiri. Natsir juga sempat meminta Sukarno untuk mengembalikan mandatnya akan tetapi ditolak (Kahin 2012: 67-68).

Natsir lebih banyak berkomunikasi dalam penentuan anggota kabinetnya dengan Subadio dan anggota kelompok Partai Sosialis Sjahrir (Kahin 2012: 69). Hal ini pasti membuat gejolak di partainya sendiri, sehingga partai Masyumi menjadi terpecah. Natsir sebelumnya telah meminta bantuan Sukarno untuk menentukan anggota kabinet akan tetapi ditolak. Sukarno meminta Natsir untuk memilih anggota yang tidak terlalu terikat partai. Setelah 15 hari bernegosiasi, muncul nama-nama anggota kabinet yang memang tidak terikat partai  (Jongeling 1950:3). Natsir menyebut kabinetnya sebagai “kabinet transisi” dan maksimal dapat bertahan selama satu tahun serta mengatakan bahwa dia tidak dapat menjanjikan apa-apa bagi rakyat Indonesia (Lammerts 1950: 1). Total Kabinet Natsir ada 18 orang Menteri dan dikenal dengan zakkenkabinet yang berarti Kabinet yang diisi oleh para ahli di bidangnya, dan hanya sedikit yang mewakili partai (Tim Buku Tempo 2011: 25).

Selama memerintah Natsir menjalankan beberapa program:

  1. Mempersiapkan dan mengatur pemilihan umum untuk Majelis Konstituante nasional dalam waktu sesingkat mungkin;
  2. Mengkonsolidasikan dan menyempurnakan pemerintahan agar sesuai dengan UUD Sementara;
  3. Berjuang keras untuk perdamaian dan keamanan di seluruh bangsa;
  4. Memperkuat perdagangan sebagai dasar dari ekonomi nasional yang sehat, dan mewujudkan hubungan yang harmonis antara pengusaha dan pekerja;
  5. Mempercepat pembangunan perumahan rakyat, meningkatkan kesehatan, dan mempromosikan pengembangan standar hidup;
  6. Menyempurnakan organisasi angkatan bersenjata dan mentransfer pasukan yang didemobilisasi dari kedua tentara regular dan unit gerilya untuk kehidupan sipil;
  7. Berusaha untuk mencari solusi dari masalah New Guinea pada akhir 1950;
  8. Untuk mengejar kursus mandiri di dunia urusan. Tujuan keseluruhan dari program ini adalah transformasi ekonomi kolonial lama menjadi ekonomi baru (Kahin 1950: 212).


Penting dicatat, kondisi papua New Guinea yang belum masuk bagian negara kesatuan republik Indonesia menjadi perhatian para parlemen dan presiden. Hal ini yang menjadi pertimbangan  lama bagi penentuan anggota kabinet yang berwenang dalam menangani kasus Papua Nueigini. Akhirnya setelah diputuskan yang berwenang adalah Mr. Mohammad Yamin (Van Der Loeff 1950:2).

Program lain yang perlu dicatat adalah pemerataan pemerintahan lokal di luar Jawa dan Sumatera, yang dapat dianggap sebagai cikal bakal daerah otonom (Finkelstein,1951: 294), dan reorganisasi dan rasionalisasi militer dan birokrasi (Taher 1996: 35)

Kabinet Natsir terbilang sangat singkat. Pemerintahannya tidak sampai genap satu tahun. Terdapat beberapa penyebab mundurnya Kabinet ini. Partai oposisi yang terus menyerang terutama yang berasal dari PNI. Muncul mosi tidak percaya pada kabinet Natsir. PNI menjadi partai yang paling gigih mendukung mosi ini. akhirnya Natsir tidak punya pilihan selain mengembalikan mandat pada Sukarno (Abdullah 2009: 245).

Pada tanggal 20 Maret 1951 Sukarno telah menerima pengunduran diri dari Kabinet Natsir dengan alasan banyak dewan-dewan daerah yang tidak lagi mendukung kabinet ini (Hoefsmit 1951:1) Indonesia mengalami empat kali pergantian pemerintahan dalam lima tahun, sebelum Kabinet Burhanuddin Harahap akhirnya mampu menyusun undang-undang pemilu dan menyelenggarakan serta menyelenggarakan pemilihan umum nasional pada tahun 1955 (Kahin 2012: 85).

Penulis: Tati Rohayati
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Jongeling, P. "Natsir Stelt Zijn Kabinet Voor". Gereformeerd gezinsblad. 6 Jaargang, 9 September 1950, No. 284, h.3

Hoefsmit, A."Kabinet-Natsir Aufgetreten". Limburgsch Daghblad. 21 Maart 1951, 34 Jaargang No. 68, h.1

Lammerts, A. "Natsir Vormt Kabinet in Indonesie". Nijmeegsch Daghblad. 06 September 1950. Zesde Jaargang, No.208, h.1

M.J Van Der Loef. "Natsir Kabinersformateur". Twentsch Dagblad Tubantia en Enschedesche Courant en Vrije Twentsche Courant. 79 Jaargang No. 197. 22 Agustus 1950. h.2

Taher, Tarmizi, dkk. (1996). Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir. Pustaka Firdaus: Jakarta

Kahin, George McT. (1950). The New Indonesian Government. Far Eastern Survey, 19(20), 209–213.

Kahin, A. R. (2012). Islam, Nationalism and Democracy: a Political Biography of Mohammad Natsir. NUS Press.

Finkelstein, L. S. (1951). The Indonesian Federal Problem. Pacific Affairs, 24(3), 284–295.

Federspiel, Howard M. (2001).Islam and Ideology In The Emerging Indonesia State, The Persatuan Islam (Persis), 1923-1957. Koninklijke Brill NV: Leiden.

Kahin, George McT. (1993). In Memoriam: Mohammad Natsir (1907-1993). Indonesia, 56, 159–165.

Abdullah, Taufik. (2009). Indonesia: Towards Democracy. ISEAS.