Sarekat Dagang Islam (SDI)
Sarekat Dagang Islam (SDI) berdiri pada 16 Oktober 1905. H. Samanhudi mengambil prakarsa pendirian SDI atas dasar kepedulian ekonomi masyarakat Bumiputera yang kalah bersaing dengan pedagang Tionghoa. Dalam waktu singkat, SDI menyebar ke berbagai wilayah di mana pedagang muslim banyak ditemukan, seperti di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi (Shiraishi, 1997). Pertumbuhan keanggotaan SDI yang cepat ini kemudian membuat persaingan bisnis antara Pribumi Muslim dengan Tionghoa semakin ketat.
Terlepas dari kemunculannya yang berlatar belakang ekonomi, SDI sendiri menjadi simbol dari gerakan reformasi dari sistem tata kelola organisasi masyarakat Bumiputera di Hindia Belanda. Ia tidak hanya sekedar menjadi ormas atau asosiasi kelompok dagang beragama Islam, tapi lebih dari itu menjadi salah satu organisasi nasional pertama yang keanggotaannya cukup kompleks. Hal ini tidak bisa juga dilepaskan dari bagaimana Islam dijadikan sebagai ideologi oleh SDI, sehingga membuat penerimaan masyarakat terhadap organisasi ini begitu cepat, terutama di wilayah perkotaan.
H. Samanhudi juga mendapat tawaran dari Tirto Adi Soerjo untuk membuka SDI di Solo. Alasan Tirto mendorong H. Samanhudi yaitu agar aktivitas perdagangan kaum Muslim Bumiputera di Solo bisa lebih maju. Selain itu, ada semangat solidaritas antar masyarakat muslim di Solo yang ingin bersarikat, sehingga aktivitas dagang antar mereka bisa tumbuh sebagai unit-unit komunal (Sidel, 2021).
Langkah awal H. Samanhudi sebagai ketua SDI Solo adalah melakukan “operasi bawah-tanah” di bantu oleh Tirto Adi Soerjo. Operasi ini bertujuan untuk mengembangkan dan memperluas jaringan SDI ke pelbagai cabang perusahaan batik keluarga dan teman sejawatnya yang peduli dengan pedagang pribumi. Langkah ini kemudian membuat SDI berkembang sampai ke Purwokerto, Madiun, dan Surabaya.
Dalam perkembangan selanjutnya, yang menjadi anggota SDI bukan hanya berasal dari pedagang, tetapi banyak juga yang berasal dari petani, buruh, kalangan bangsawan dan pegawai pemerintah. Pada titik ini, SDI menjadi satu-satunya organisasi dengan penataan modern dan mempunyai massa dalam jumlah yang relatif banyak. SDI bahkan mampu memperluas jaringan hingga ke Surabaya. Hal ini menjadi awal perjumpaan Samanhudi dengan HOS Tjokroaminoto (Shiraisi, 1997).
Di saat yang sama, Tirto Adi Soerjo menjadi aktor intelektual SDI yang fokus melakukan propaganda, pendidikan politik, hingga diseminasi gagasan pembebasan lewat jalur bulletin SDI yang dibagikan ke setiap anggota SDI. Tirto yang terinspirasi oleh revolusi Tiongkok pun mengajarkan anggota SDI untuk melakukan boikot atas perusahaan-perusahaan milik Belanda. Tentu saja, apa yang dilakukan Tirto membuat pemerintah Hindia Belanda geram. Ini yang kemudian membuat Tirto dibuang ke Ternate. Selain itu, Belanda juga berharap agar perkembangan dan gairah aktivitas SDI meredam setelah Tirto dibuang jauh ke Maluku. Namun demikian, hal tersebut tidak membuat minat massa rakyat Indonesia untuk bergabung ke SDI surut, malahan semakin hari semakin meningkat hingga 300 ribu-350 ribu anggota SDI (Toer, 2009: 200).
Saat Tirto dibuang, Samanhudi terus melakukan konsolidasi dan perekrutan anggota SDI. Ia juga masih melakukan apa yang dilakukan oleh Tirto. Ini pula yang kemudian membuat keberadaan SDI mengancam pemerintah Hindia Belanda saat itu. Belanda kemudian membuat upaya agar konflik antara SDI dengan para pedagang Tionghoa semakin meruncing. Kerusuhan pun terjadi dan membuat keberadaan anggota-anggota SDI tersudut. Belanda berdalih bahwa SDI telah melanggar kebijakan rust et orde (ketertiban umum). Akibatnya, banyak anggota SDI yang ditangkap.
Pemberitaan pers baik dalam maupun luar negeri semakin menyudutkan anggota SDI. Mereka dicap sebagai perusuh. Pemerintah mengeluarkan larangan kepada massa rakyat, khususnya kepada pegawai pribumi untuk tidak bergabung dengan organisasi perusuh, kebijakan ini mulai berlaku Agustus 1912 (Departemen Agama RI, t.t.: 1029-1032). Beberapa pimpinan inti SDI melakukan konsolidasi internal dengan merapikan struktur organisasi, tak terkecuali membuat Anggaran Dasar serta merubah nama SDI menjadi Sarekat Islam dengan pembuatan akta notaris pada bulan 10 September 1912, serta diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 14 September 1912.
Pada tahun 1913, Samanhudi merasa tidak mampu lagi menangani organisasi yang jumlah anggotanya banyak. Ia pun menyerahkan posisi ketua SDI ke tangan Tjokroaminoto dan menjadi Ketua Centraal Comite. Namun, dengan diserahkannya tampuk kekuasaan ke pundak Tjokroaminoto, seiring itu pula kantor pusatnya berpindah ke Surabaya meninggalkan basis terbesarnya di kota Solo. Sejak saat itu, Samanhudi pun lebih banyak berkutat dengan usaha batiknya.
Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Departemen Agama RI. T.th. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta: Depag RI.
Toer, Pramoedya Ananta. 2009, Rumah Kaca (Cet. VII). Jakarta: Lentera Dipantara
Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Grafiti.
Sidel, John T. 2021. Republicanism, Communism, Islam: Cosmopolitan Origins of Revolution in Southeast Asia. Cornell: Cornell University Press.