Samanhudi

From Ensiklopedia

Samanhudi adalah tokoh pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI), dan kemudian menjadi Sarekat Islam (SI), yang berperan penting dalam sejarah perjuangan anti kolonial. Ia lahir pada tanggal 8 Oktober 1868, dari seorang pedagang batik Laweyan bernama Mohammad Zein bin Kartowikoro.  Nama Haji Samanhudi disandangnya setelah menunaikan ibadah haji ke Mekah (1904). Samanhudi lahir di desa Sondokoro (Karang Anyar, Solo). Keluarganya pindah ke Laweyan, Solo, saat Wirjowikoro berumur 2 tahun. Samanhudi hanya mengecap pendidikan formal di sekolah rendah kelas dua. Namun ia memperoleh pembelajaran mengaji Al-Qur’an di Laweyan dan pengetahuan keagamaan dari Kiyai Djodjerno di Surabaya. Sejak usia muda, Samanhudi menyalurkan bakat dagangnya dengan membantu sang ayah berdagang batik. Ia membuka perusahaan sendiri tahun 1888 dan mengembangkan usaha dengan mendirikan cabang perusahaan di Surabaya, Banyuwangi, Tulungagung, Bandung, dan Parakan (Noer 1980: 119-120; Muljono dan Kutoyo 1979/1980: 30-31).

Samanhudi menaruh perhatian pada organisasi yang bergerak di bidang sosial, terlebih setelah bergelar haji. Salah satu organisasi bercorak sosial yang didirikannya adalah Mardhi Budhi, sebuah organisasi yang membantu masalah kematian dan pemakaman (Ensiklopedi Islam, 1997: 244). Samanhudi menyadari pentingnya perkumpulan pedagang, yang melindungi mereka dari perlakuan diskriminatif pemerintah Belanda dan monopoli dagang asing, khususnya oknum pedagang Tionghoa yang mempermainkan harga bahan dan alat-alat pembuatan batik. Oleh sebab itu, ia berusaha memperbaiki keadaan dengan menggalang persatuan pedagang batik dalam sebuah organisasi yang dinamakan Sarekat Dagang Islam (SDI) (Muljono dan Kutoyo 1979/1980: 33).

Untuk keperluan pendirian organisasi dagang itu, Samanhudi bekerjasama dengan R.M. Tirtoadisurjo (pendiri SDI di Batavia dan Bogor, 1909 dan 1911) dan partner pedagangnya, seperti Mas Asmodimedjo, Mas Kertotaruno, Mas Soemowerdojo, Mas Haji Abdulradjak. Pada tahun 1911 berdirilah organisasi pedagang batik dengan nama Serikat Dagang Islam (SDI) di Solo (ada pendapat berdiri 1905). SDI bertujuan membantu pedagang batik menghadapi persaingan dengan pedagang-pedagang Tionghoa di bawah panji-panji Islam (Poespoprodjo 1984: 48), sekaligus diharapkan oleh Samanhudi sebagai wadah mewujudkan diri menjadi bangsa mulia, terbebas dari “jiwa budak” yang membelenggu bangsanya dalam kemiskinan (Muljono dan Kutoyo 1979/1980: 40).

Kerjasama Samanhudi dengan Tirtoadisurjo tidak berlangsung lama, akibat perbedaan pandangan di antara mereka. Samanhudi memandang SDI Solo sebagai gagasan dan kerjanya, sementara Tirtoadisurjo menghendaki SDI Solo bergabung saja dengan SDI yang ada. Kemudian, Samanhudi mengalihkan pandangannya pada Oemar Said Tjokroaminoto (Poespoprodjo 1984: 50).  Pada tanggal 13 Mei 1912 Samanhudi mengundang Oemar Said Tjokroaminoto, yang telah menjadi anggota SDI untuk membantu membuat anggaran dasar organisasi dan diserahi tugas untuk mendapatkan pengakuan badan hukum (rechstpersoon) (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah,  1978: 49).

Organisasi Sarekat Dagang Islam segera mendapat tempat di hati para pedagang. SDI bahkan berhasil memboikot pedagang-pedagang batik Tionghoa di Solo. Keberhasilan boikot itu memberi kesadaran di daerah-daerah pedesaan, bahwa mereka mempunyai kekuatan besar melawan monopoli tengkulak-tengkulak Tionghoa. Sikap permusuhan dengan pedagang Tionghoa sering terjadi, bahkan menyebar ke Tuban, Semarang, Blora, Lasem, dan Surabaya. Hal ini menimbulkan kekuatiran bagi penguasa, bahwa berbagai perselisihan tersebut menjadi gerakan perlawanan terhadap pemerintah. Akibatnya SDI terkena schorsing selama 14 hari (12 Agustus 1912-26 Agustus 1912) oleh Residen Surakarta, yaitu berupa pelarangan menerima anggota baru dan mengadakan rapat (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah,  1977: 50)

Dalam perkembangannya, SDI bertransformasi menjadi Syarikat Islam (SI) pada tanggal 10 September 1912 dengan akta Notaris B. Ter Kuile. Anggaran Dasar organisasi diperluas, tidak saja lagi untuk pedagang, tetapi SI diperuntukkan bagi seluruh masyarakat beragama Islam. Perubahan ini atas anjuran H.O.S. Tjokroaminoto. Dalam Anggaran Dasar SI disebutkan, bahwa tujuan Syarikat Islam adalah mewujudkan kemajuan anggota-anggota yang nyata melalui ikatan persaudaraan, persatuan, tolong menolong, dan hidup menurut perintah agama, serta berikhtiar meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat negeri (Noer, 1980; 117).  Anggaran dasar SI membuka peluang bagi setiap daerah mendirikan cabang-cabang baru dengan status di bawah Pengurus Besar. Pada tahun 1913, dalam kongres pertama SI di Solo, Samanhudi dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Syarikat Islam pertama, dan H.O.S Tjokroaminoto menjadi Wakil Ketua (Komisaris).

Kerjasama Samanhudi dan Oemar Said Tjokroaminoto menjadikan Syarikat Islam maju pesat dan berkembang menuju gerakan yang lebih nyata menolak ketidakadilan akibat penjajahan. Samanhudi memimpin SI sampai tahun 1914, kemudian ia menyerahkan kepemimpinan organisasi itu kepada H.O.S. Tjokroaminoto, dalam kongres SI di Yogyakarta tanggal 18-20 Februari 1914 (Fautanu, 2020: 9). Pada waktu itu, sudah ada 56 Syarikat Islam Daerah tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Semua Syarikat Islam di daerah tersebut, pada tahun 1915, dikoordinasikan oleh Central Syarikat Islam (CSI) dengan pusatnya  Surabaya. Haji Samanhudi diangkat sebagai Ketua Kehormatan, sedangkan Ketua Central Syarikat Islam adalah H.O.S. Tjokroaminoto (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah,  1977: 56).

Sejak Syarikat Islam di bawah ketua Oemar Said Tjokroaminoto, gerakan politik organisasi semakin menonjol. Sementara itu, Samanhudi sebagai peletak dasar organisasi yang memperjuangkan pendidikan masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan, kembali memfokuskan dirinya pada usaha batiknya yang mulai mengalami kemunduran. Meskipun Samanhudi tetap di Syarikat Islam, namun tidak lagi penentu kebijakan organisasi. Samanhudi lebih memilih menyepi dari pergerakan politik dengan alasan kesehatan.

Pada masa revolusi kemerdekaan, peran Samanhudi dalam membela kemerdekaan terlihat ketika ia berperan mendirikan Barisan Pemberontak Indonesia Cabang Solo dan Gerakan Persatuan Pancasila. Pada masa Agresi Militer Belanda II, Ia membentuk laskar Gerakan Kesatuan Alap-Alap yang menyediakan perlengkapan dan konsumsi para prajurit pejuang republik (Soedarmanta, 2007: 19)

Di masa tuanya, Samanhudi menjalani hidup yang cukup sulit, usahanya mundur dan perusahaannya pun terpaksa ditutup karena tidak produktif lagi. Pada tahun 1953, pemerintah memberikan pensiun kehormatan dan sebuah rumah yang ditempati hingga meninggal. Samanhudi berpulang ke rahmatullah pada tanggal 28 Desember 1956 di Klaten dalam usia 88 tahun (Dewan Redaksi Ensiklopedi, 1997: 244), dan dikebumikan di Desa Banaran, Grogol, Kabupaten Sukohardjo, Jawa Tengah. Presiden memberikan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepada K.H. Samanhudi melalui Keputusan Presiden R.I. No. 590 Tahun 1961, tanggal 9 November 1961.

Penulis: Nopriyasman
Instansi: Universitas Andalas
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan

Referensi

Depsos R.I. 2008. Wajah dan Perjuangan Pahlawan Nasional. Jakarta: Depsos R.I.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 1997. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van  Hoeve.

Fautanu, Idzam. 2020. Partai Politik di Indonesia. Bandung: Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati.

Muljono dan Kutoyo, Sutrisno. 1979/1980. Haji Samanhudi.  Jakarta; Depdikbud Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya PI & DSN.

Noer, Deliar, 1980.Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3S.

Poespoprodjo, W., 1984. Jejak-Jejak Sejarah 1908-1926 Terbentuknya Suatu Pola. Bandung: Remaja Karya CV.

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1977. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Soedarmanta, J.B., 2007. Jejak-Jejak Pahlawan Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. Jakarta: Grasindo.