Sekolah Liar

From Ensiklopedia

Sekolah Liar merupakan sebutan Pemerintah Hindia Belanda terhadap sekolah-sekolah swasta (partikelir) yang tidak mendapatkan izin operasional pada awal abad ke-20. Sekolah Liar ini dikelola oleh masyarakat Pribumi sebagai respon terhadap sistem pendidikan Hindia Belanda yang diskriminatif. Pemerintah Hindia Belanda saat itu hanya memberikan kesempatan belajar kepada anak-anak pejabat dan kalangan yang berkepentingan dalam penyebaran agama Kristen (Dwi Purwoko, 1994).

Di samping itu, Sekolah Liar juga muncul atas krisis keuangan pengelolaan biaya operasional sekolah pemerintah yang menyebabkan sejumlah sekolah ditutup. Kondisi ini membuat anak-anak Pribumi menjadi terlantar dan tidak lagi mengenyam pendidikan dengan baik. Pada tahun 1880, Pemerintah pun secara resmi memberikan izin untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak Pribumi (Aqib Suminto, 1984).

Izin ini kemudian direspons dengan cepat dan dimanfaatkan dengan baik, salah satunya oleh masyarakat Sumatera Barat untuk membangun lembaga pendidikan. Di Jawa, Suwardi Suryaningrat mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswo atau lazim dikenal Taman Siswa. Sekolah alternatif ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 3 Juli 1922 dengan asas kebangsaan dan bersifat  non-kooperatif (Dwi Purwoko, 1994).

Sekolah Liar kebanyakan didirikan oleh kelompok terpelajar yang tidak mau bekerja dengan Pemerintah sehingga memicu lahirnya Ordonansi Pengawasan tahun 1923. Kebijakan ini diterbitkan agar pemerintah bisa memantau dan mengatur perkembangan sekolah liar. Pada 17 Oktober 1929, Pemerintah meminta Direktur Pendidikan Belanda, B.J.O. Schrieke, untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut. Schrieke berpendapat bahwa Ordonansi Pengawasan masih belum perlu dan masih mengikuti kebijakan sebelumnya dari Halderman, yang hanya memberlakukan wajib lapor bagi penyelenggara pendidikan (Aqib Suminto, 1984).

Tahun 1932, Pemerintah kemudian  mengeluarkan kebijakan wilde scholen ordonantie. Aturan anyar ini untuk menghambat pergerakan Taman Siswa. Suwardi dan kolega pun menentang kebijakan ordonansi tersebut dan bertekad akan mengadakan perlawanan secara pasif. Tekad ini dinyatakan oleh Suwardi dalam kawatnya kepada Gubernur Jendral dan juga di dalam pembicaraan lisannya dengan Kiewiet de Jonge, pejabat yang bertindak sebagai kuasa pemerintah pada saat dia mengunjunginya (H. Aqib Suminto, 1985).

Melalui Ordonansi Sekolah Liar, Pemerintah semakin gencar memecah belah kaum Pribumi dengan menyebar isu-isu negatif. Suwardi dan tokoh-tokoh nasionalis pun tidak tinggal diam atas fitnah-fitnah yang beredar. Mereka melakukan perlawanan melalui media massa sehingga menjadi ramai dan akhirnya dibahas dalam sidang Dewan Rakyat atau Volksraad (Dwi Purwoko, 1994). Salah satu isu yang membuat heboh saat itu adalah mengenai kebohongan pengumpulan dana yang dilakukan oleh komite perempuan di Surabaya yang disebut sebagai "Panitia Sementara Penjokong Korban Fonds Ordonansi Sekolah Liar", dengan cara mengadakan “pasar malam derma”.

Perjuangan Suwardi mendapat dukungan dari kaum pergerakan nasional, terutama yang mengelola sekolah swasta (partikelir) baik dari kalangan Islam maupun nasionalis. Di Sumatera Barat misalnya, dukungan datang melalui Dewan Persatuan Pendidikan Muslim Indonesia (Permi). Di Madura, protes penolakan digaungkan Haji A. Salim. Dalam orasinya, dengan tegas dia menolak Ordonansi Sekolah Liar (De Sumatra post, 1932).

Sementara, organisasi Muhammadiyah sempat ragu dalam menentukan sikap karena pada saat itu Muhammadiyah merupakan organisasi yang dapat subsidi dari pemerintah. Melalui konferensi luar biasa yang dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 18-19 November 1932, akhirnya Muhammadiyah menyatakan sikap untuk memberi dukungan terhadap perjuangan tokoh pendidikan itu. Adapun dukungan kaum nasionalis muncul dari sejumlah organisasi meliputi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia), Budi Utomo (BU), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Partindo), dan Istri Sedar (Aqib Suminto, 1984).

Reaksi keras tersebut akhirnya memaksa Pemerintah Hindia Belanda untuk mengkaji kembali aturan itu. Pada Februari 1933, aturan itu ditarik, dan secara resmi dihapuskan pada Oktober 1933 (Aqib Suminto, 1984).

Penulis: Tati Rohayati
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

McKahin, George. 1980. “Nasionalisme dan Revolusi Di Indonesia”. terj. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka

Suminto, Aqib. 1985. “Politik Islam Hindia Belanda”. Jakarta: LP3ES

Van Niel, Robert. 1984. “Munculnya Elit Modern Indonesia. terj., Jakarta: Pustaka Jaya.

Purwoko, Dwi. 1994. “Semangat Taman Siswa Dan Perlawanannya Terhadap Undang-Undang Sekolah Liar“ Jurnal llmu Pendidikan

“Protest Tegen Ordonnantie Wilde Scholen en Regeringspolitiek in Verband met De Crisis”. De Sumatra post, 17 Desember 1932

“Verboden Geldinzameling”. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 02 Februari 1933

“Op Grond van Welke Motieven?”. De locomotief, 03 Februari 1933

”Volksraadvraag”. De koerier, 17 Juni 1933

“De Wilde-Scholen-ordonantie”. De Indische Courant, 19 Juni 1933