Shumubu
Shumubu merupakan kantor urusan agama yang dibentuk oleh pemerintah Jepang pada bulan Mei Tahun 1942. Latar belakang pembentukan Shumubu adalah Jepang membutuhkan bantuan umat Islam Indonesia dalam Perang Asia Pasifik melawan Sekutu. Hal ini dikarenaka kekuatan Jepang semakin menurun sehingga Jepang berupaya mengumpulkan kekuatan baru dari umat Islam Indonesia. Kebijakan Jepang mendekati umat Islam dilakukan karena Jepang sadar bahwa umat Islam merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Pembentukan Shumubu oleh pemerintah Jepang bertujuan untuk memobilisasi kekuatan umat Islam Indonesia dan memudahkan Jepang mengontrol umat Islam untuk tujuan-tujuan politiknya (Maarif, 1996).
Salah satu bentuk penggalangan kekuatan Umat Islam yang dilakukan Jepang dengan cara memberikan fungsi administratif bagi umat Islam untuk mengelola urusan agamanya melalui pendirian Shumubu. Sebelum Shumubu dibentuk, Jepang mengutus tiga intel Jepang yang beragama Islam, yaitu Haji Abdul Meniam Inada, haji Abdul Hamid Ono dan haji Muhammad Saleh Suzuki ke Indonesia untuk mempelajari umat Islam di Indonesia. Mereka datang bersama dengan Kolonel Horie, seorang perwira Jepang yang bukan beragama Islam. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari para intel Jepang, maka pendekatan terhadap umat Islam dapat dilakukan dengan mendirikan sebuah badan yang mengurusi urusan umat Islam, yaitu Shumubu. Badan ini akan memudahkan Jepang berinteraksi dengan para kyai di pedesaan tanpa melalui pamong praja dan Majelis Islamil A’laa Indonesia (MIAI). Sebelum pendirian Shumubu, urusan umat Islam banyak dilakukan oleh MIAI. Pada awal pembentukan Shumubu, Jepang mengangkat Kolonel Horie sebagai kepala Shumubu. Kebijakan pertama yang dilakukannya adalah menandai rumah-rumah Ibadah Islam dan menempatkannya di bawah pengawasan militer Jepang (Benda 1985 : 142).
Sejak bulan Mei 1943, Jepang mulai gencar menjalankan propagandanya melalui Shumubu. Beberapa kegiatan yang dilakukan Shumubu diantaranya mengunjungi masjid-mesjid, mengunjungi para kyai dan melakukan pelatihan untuk kiai dan ulama. Pada tanggal 1 Juli 1943, kursus pertama untuk para kiai dilakukan oleh Shumubu. Sebelum pelaksanaan kursus ini, pemerintah Jepang telah mempersiapkan instruktur-instruktur yang diseleksi di hotel Des Indes Jakarta. Kursus para kiai ini dibuka oleh Kolonel Kawasaki yang mewakili Gunseikan. Selanjutnya Kolonel Horie selaku Kepala Shumubu dan pemimpin pelatihan mengemukakan tujuan dari pelaksanaan kursus, yaitu untuk memperkuat pengertian tentang situasi dunia dan meningkatkan semangat para kiai dan ulama untuk memberikan dukungan sebesar-besarnya pada pemerintah Jepang (Benda 1985: 168).
Sejalan dengan mulai dilakukannya pelatihan para kiai menjadi propagandis Jepang, pemerintah Jepang kemudian menyerahkan pimpinan Shumubu kepada orang Indonesia. Pada tanggal 1 Oktober 1043, Hossein Djajadiningrat diangkat menjadi kepala Shumubu menggantikan Kolonel Horie. Hossein Djajadiningrat menjadi orang Indonesia pertama yang menduduki posisi tinggi pertama dalam pemerintahan Jepang (Benda 1985: 170). Kehadiran Hossein Djajadiningrat ternyata tidak diterima oleh para ulama di Shumubu, hal ini dikarenakan ia bukan berasal dari kalangan ulama. Pada tahun 1944, kepemimpinan Hossein Djajadiningrat di Shumubu digantikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari (Yasuko 1997: 83; ). Pada masa kepemimpinan K.H. Hasyim Asy’ari dibuka cabang-cabang Shumubu di daerah yang diberi nama Shumuka. Fungsi dan tugas Shumuka adalah mengurusi masalah administrasi yang berkaitan dengan umat Islam seperti pernikahan dan pengumpulan zakat (Maarif 1996). Pada masa kemerdekaan, Shumubu dan Shumuka menjadi cikal bakal dari berdirinya Kementerian Agama di Indonesia.
Penulis: Ida Liana Tanjung
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Benda, Harry J (1985). Bulan Sabit dan Matahari Terbit : Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya.
Maarif, Syafii (1996). Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Jakarta: Gema Insani Press.
Yasuko, Kobayashi, Kyai and Japanese Military. Studia Islamika. Indonesian Journal for Islamic Studies Volume.4 Number 3 1997.