Hasyim Asy’ari
Hasyim Asy’ari adalah ulama dan pendiri organisasi Nahdlatul Ulama. Ia lahir dengan nama Muhammad Hasyim pada 14 Februari 1871 di Jombang, Jawa Timur. Ayahnya, Kiai Asy’ari, awalnya adalah seorang santri yang berasal dari Demak, Jawa Tengah. Pada pertengahan abad ke-19, ia merantau ke Jombang untuk belajar di Pesantren Nggedang yang saat itu diasuh oleh Kiai Usman. Karena kecakapan dan kealimannya, Kiai Usman kemudian menjodohkan Asy’ari dengan salah seorang putrinya, Halimah. Dari perkawinan inilah lahir sebelas orang putra, dan Muhammad Hasyim merupakan salah satunya (Sukadri, 1985: 27-28).
Lahir di tengah-tengah keluarga pesantren, Muhammad Hasyim pertama-tama mendapatkan pendidikan dari keluarganya. Ayahnya, yang mendirikan sebuah pesantren pada 1876 di Desa Keras, Jombang Selatan, menjadi guru pertama baginya. Hasyim kecil juga menyaksikan dan turut membantu perjuangan ayahnya itu dalam membangun pesantren. Berbagai cabang ilmu pengetahuan agama layaknya tauhid, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu hadis, telah ia dapatkan dari ayahnya sendiri (Alfian dkk., 2006: 147). Lalu di usia 13 tahun, ia telah dipercaya untuk mengajar para santri (Misrawi, 2010: 38-40).
Dua tahun berselang, Hasyim memulai pengembaraannya dalam mencari ilmu. Saat berusia 15 tahun, ia mulai berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain di Jawa dan Madura. Pertama-tama, ia belajar di Pesantren Wonorejo, Jombang lalu kemudian melanjutkannya ke Pesantren Wonokoyo di Probolinggo. Hasyim lalu belajar juga ke Pesantren Langitan, Tuban. Pengembaraannya kemudian berlanjut ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura di mana ia berguru kepada Kiai Kholil bin Abdul Latif, seorang ulama kharismatik yang sangat terkenal (Misrawi, 2010: 41).
Hasyim kembali ke Jawa pada 1891, saat berusia 20 tahun, dan melanjutkan studinya ke Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo. Oleh Kiai Ya’kub, Hasyim dijodohkan dengan putrinya yang bernama Khadijah. Setelah pernikahan keduanya berlangsung pada 1892, Hasyim dan Khadijah berangkat ke Makkah untuk berhaji sekaligus belajar. Sempat pulang setelah istri dan putranya meninggal dunia di sana, Hasyim kembali lagi ke Makkah dan tinggal di sana hingga 1899.
Seorang ulama terkenal yang pernah menjadi guru Hasyim adalah Syaikh Mahfudz at-Tarmasi. Kepadanya, Hasyim mengaji Shahih Bukhari, kitab hadis yang ditulis oleh Imam Bukhari, hingga mendapat ijazah untuk mengajarkannya (Alfian dkk., 2006: 148). Selain itu, ia juga belajar cabang-cabang ilmu agama lain kepada banyak ulama di Makkah, di antaranya adalah Syaikh Syuaib bin Abdurrahman, Syaikh Ahmmad Amin al-Athar, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Bafaddhal, dan Syaikh Rahmatullah (Aziz dkk., 2014: 82). Tidak ketinggalan juga Hasyim berguru pada Syaikh Achmad Khatib Al-Minangkabawi yang juga menjadi guru Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.
Sekembalinya dari tanah suci, Hasyim kemudian mendirikan sebuah pondok pesantren di Dusun Tebuireng, Desa Cukir, Jombang. Letaknya hanya beberapa ratus meter dari pabrik gula Cukir. Sebidang tanah itu ia beli dari seorang dalang. Hasyim membangun sebuah teratak berdinding bambu yang disekat menjadi dua ruangan. Ruangan depan menjadi tempat mengajarnya, sementara ruangan belakang menjadi tempat tinggalnya (Sukadri, 1985: 48). Saat itulah, namanya mulai dikenal sebagai K.H. Hasyim Asy’ari.
Mula-mula, hanya delapan orang yang belajar kepada Kiai Hasyim. Tiga bulan berselang, jumlah santrinya bertambah menjadi 28 orang (Sunyoto dkk., 2017: 41). Namun, perkembangan pondok pesantren itu pun tidak berlangsung tanpa tantangan. Masyarakat di sekitar pabrik gula Cukir dikenal sebagai masyarakat dengan perilaku yang buruk. Perampokan, perjudian, dan perzinaan adalah tindakan-tindakan yang dianggap wajar. Selama dua tahun pertama itulah, Kiai Hasyim mendapat gangguan dari penduduk sekitar atas keberadaan pesantren barunya. Para santri sampai takut untuk tidur dekat dengan dinding kayu, sebab kadang ada orang-orang tak dikenal yang menusukkan senjata tajam dari luar tembikar (Misrawi, 2010: 57-59).
Ia pun meminta bantuan para kiai dari Cirebon untuk mengajar silat dan kuntau kepadanya dan para santri. Di antara mereka yang datang adalah Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Pangurangan, Kiai Syarnsuri Wanatara, Kiai Abdul Jamil Buntet, dan Kiai Saleh Bendakerep. Selama delapan bulan mereka berada di Tebuireng untuk mengajarkan ilmu bela diri. Sepeninggal mereka, Kiai Hasyim dan para santrinya sendiri yang mengadakan ronda secara bergiliran (Sukadri, 1985: 49). Ancaman pun makin berkurang, keadaan menjadi aman, dan lambat laun, Pesantren Tebuireng asuhan Kiai Hasyim mulai berkembang.
Pada 1916, sistem klasikal diperkenalkan di pesantren ini. Menantu Kiai Hasyim, K.H. Ma’shum Ali, membuka madrasah dengan tujuh kelas yang berjenjang. Tiga tahun berselang, pelajaran-pelajaran umum mulai diajarkan kepada para santri, meliputi bahasa Melayu, geografi, dan matematika. Pada 1926, materi bahasa Belanda dan sejarah juga turut diajarkan (Aziz dkk., 2014: 82). Banyaknya alumni yang kemudian mendirikan pesantren di kampung halamannya masing-masing, membuat Pesantren Tebuireng menjadi pesantren yang paling berpengaruh di Jawa pada abad ke-20 (Dhofier, 2011: 174).
Politik Etis yang diterapkan oleh pemerintah kolonial pada awal abad ke-20 di Hindia Belanda, membuka kesempatan bagi kaum bumiputra untuk mendapatkan pendidikan modern. Pendidikan modern ini pada akhirnya turut pula memantik semangat mereka untuk mendirikan beragam organisasi dengan tujuan-tujuan sosial dan ekonomi. Sementara itu, semangat reformisme Islam yang digagas oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani telah sampai pula ke nusantara. Gagasan-gagasan ini pada akhirnya terejawantahkan dalam layaknya organisasi-organisasi Islam modern seperti Muhammadiyah pada 1912 dan Al-Irsyad pada 1914.
Kalangan muslim tradisionalis pada dekade 1910-an bersinergi dengan organisasi-organisasi Islam modern tersebut dalam urusan-urusan keagamaan. Namun, hubungan keduanya mulai merenggang ketika otoritas para kiai di tengah-tengah masyarakat dikritik tajam oleh kalangan modernis. Situasi semakin memburuk ketika para pedagang kaya yang sebelumnya menjadi basis pendukung material bagi para kiai tradisionalis bergabung dengan organisasi kaum Islam modernis. Puncaknya, dalam Kongres al-Islam di Cirebon pada 1922, perdebatan antara kedua kelompok ini tak terhindarkan lagi (Fealy, 2003: 29-31).
Sementara itu, dunia Islam internasional juga sedang mengalami keguncangan. Kekhalifahan Turki Usmani resmi dihapus pada 1924 dan Dinasti Ibnu Saud berpaham Wahhabisme berdiri di Hijaz pada tahun berikutnya. Khawatir bahwa dinasti baru ini akan mendiskreditkan penganut empat mazhab dan menghancurkan situs-situs ziarah umat Islam, ulama-ulama tradisionalis di Hindia Belanda kemudian mendirikan sebuah panitia bernama Komite Hijaz pada 31 Januari 1926 (Sukadri, 1985: 74-75). Diprakarsai oleh K.H. Wahhab Hasbullah dan diketuai oleh K.H. Hasyim Asy’ari, Komite Hijaz akhirnya sepakat untuk mengirimkan delegasi menghadap Pemerintah Arab Saudi dan memohon diakuinya hak-hak beribadah kaum muslimin dari keempat mazhab tersebut dan dijaganya tempat-tempat bersejarah yang telah diwakafkan sebagai masjid (Rifai, 2009: 53-54). Komite ini menyepakati bahwa delegasi yang diutus nantinya mengatasnamakan sebuah jam’iyyah (perkumpulan), bernama Nahdlatul Ulama (NU).
Sebagai pendiri NU, Hasyim sangat mengedepankan nilai-nilai toleransi. Kekhawatiran atas berkembangnya paham Wahabi pun tidak terlepas dari kepeduliannya terhadap keberagaman antara umat Muslim. Dalam salah satu pidatonya, ia pun pernah berkata:
- Wahai, ulama! Kalau ada kamu lihat orang berbuat sesuatu amalan berdasarkan kaul imam-imam yang boleh ditaklidi, meskipun kaul itu marjuh (tak kuat alasannya), jika tidak setuju janganlah kamu cerca mereka, tapi beri petunjuklah dengan halus. Dan jika mereka tidak sudi mengikuti kamu, janganlah dimusuhi. Kalau kamu berniat demikian, samalah kamu dengan orang-orang yang membangun istana, tapi menghancurkan sebuah kota (S. Aning 2005, 81).
Setelah delegasi itu melaksanakan tugasnya, K.H. Hasyim Asy’ari tetap meminta Nahdlatul Ulama untuk menjadi perkumpulan sosial-keagamaan yang bertujuan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat muslim tradisional. Susunan kepengurusan NU terbagi menjadi dua, yakni syuriah (legislatif) dan tanfiziah (eksekutif), ditambah satu dewan mustasyar (penasehat) yang berfungsi mendampingi Syuriah. K.H. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi Rais Syuriah dan Haji Hasan Gipo sebagai Rais Tanfiziah (Bush, 2009: 35).
Mendapatkan izin dari pemerintah kolonial sebagai organisasi pada 1930, cabang-cabang NU segera terbentuk di berbagai wilayah di Hindia Belanda. Ketokohan seorang K.H. Hasyim Asy’ari, yang telah mendapat gelar ‘Hadlratussyaikh’ di kalangan umat muslim Hindia Belanda, membuat orang-orang, terutama mereka yang berasal dari kalangan pesantren atau dekat dengannya, segera bergabung menjadi anggota NU (Sukadri, 1985: 79). Pada 1938, organisasi ini telah memiliki 99 cabang dengan 100.000 anggota. Empat tahun berselang, di masa awal pendudukan Jepang, jumlah cabang itu bertambah menjadi 120 (Fealy, 2003: 39).
Peran K.H. Hasyim Asy’ari begitu sentral dalam pengambilan keputusan-keputusan penting dalam NU. Pada Muktamar NU ke-12 di Kota Malang tahun 1937, terjadi pertentangan antara generasi muda dan tua mengenai dibentuknya Ansor, sayap pemuda NU. K.H. Hasyim Asy’ari mampu menengahi perselisihan yang terjadi dengan memberikan nasihat mengenai bagaimana generasi tua mesti menyayangi yang muda dan sebaliknya, generasi muda harus menghormati mereka yang lebih tua. Begitu pula, saat ada perdebatan mengenai hukum terompet dan genderang yang dipakai Ansor saat pawai, K.H. Hasyim Asy’ari pula yang menyelesaikan. Muktamar NU ke-16 di Surabaya pada 1940 akhirnya memperbolehkan penggunaan alat-alat musik tersebut (Ghofir, 2012: 91).
Di masa pendudukan Jepang, K.H. Hasyim Asy’ari pernah menolak melakukan seikerei, penghormatan kepada Kaisar Hirohito dengan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul tujuh pagi. Ia juga menolak untuk menyanyikan lagu kimigayo dan mengibarkan bendera Jepang. Akibatnya, ia sempat ditahan oleh pemerintah Jepang selama beberapa bulan (Fadli dan Sudrajat 2020: 125). Di dalam tahanan, akibat siksaan yang dilakukan militer Jepang, jari-jari tangan kanannya patah hingga tak dapat digerakkan (Sunyoto dkk., 2017: 46).
Jepang tampaknya menyadari potensi K.H. Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin umat muslim. Oleh sebab itu, ditambah dengan desakan sejumlah kiai, Jepang membebaskan Kiai Hasyim pada 18 Agustus 1942. Pembebasan ini kemudian diikuti dengan pencabutan kewajiban seikerei (Ghofir, 2012: 87). Jepang kemudian juga mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada akhir 1943 menggantikan peran Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang dianggapnya kurang memuaskan. K.H. Hasyim Asy’ari kemudian menduduki jabatan sebagai ketua pengurus besar Masyumi (Sukadri, 1985: 106-107). Selain itu, ketika Jepang membentuk Shumubu (Kantor Urusan Agama), Hasyim juga didapuk menjadi ketuanya (Aziz dkk., 2014: 83).
Setelah proklamasi kemerdekaan dan tampak adanya usaha pemerintah Belanda untuk kembali menguasai Republik Indonesia yang baru saja merdeka, K.H. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad fi sabilillah pada 17 September 1945. Fatwa ini secara garis besar berbunyi bahwa memerangi orang kafir yang menghalangi kemerdekaan adalah wajib bagi setiap muslim dan yang meninggal dalam perang tersebut, dalam konteks ini melawan NICA dan komplotannya, dihukumi syahid. Dalam fatwa tersebut juga ditekankan bahwa mereka yang memecah persatuan perjuangan kemerdekaan itu wajib untuk dibunuh (Bizawie, 2014: 205).
Berpijak pada fatwa inilah, kemudian para ulama se-Jawa dan Madura mengukuhkan Resolusi Jihad dalam rapat yang digelar pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di kantor Pengurus Besar NU di Bubutan, Surabaya. Selain dihadiri oleh para utusan konsul NU se-Jawa dan Madura, pertemuan penting ini juga dihadiri oleh panglima Laskar Hizbullah, K.H. Zainul Arifin. Rapat ini dipimpin oleh K.H. A.Wahab Hasbullah (Latief, 1995: 53). Lebih jauh, fatwa ini kemudian menjadi dasar dari pertemuan para kiai pimpinan NU pada 21-22 Oktober 1945 di Surabaya. K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah, dan para pembesar NU bermusyawarah dan mengeluarkan satu maklumat bertajuk “Resolusi NU tentang Jihad fi Sabilillah” (Farih, 2016: 266-267). Di dalamnya, selain menegaskan fatwa Kiai Hasyim, para pimpinan NU juga memohon pemerintah Republik Indonesia untuk bersikap dan bertindak dalam mempertahankan kemerdekaan (Bizawie, 2014: 208). Dalam suasana kota yang mulai memanas terbakar api revolusi, keputusan rapat ini ditutup dengan pidato Hasyim Asy’ari (Zuhri, 1987: 339-343).
- “Apakah ada dan kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu ini, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi sifat kepada kaum munafik yang tidak suka ikut berjuang bersama Rasulullah. Demikianlah, maka sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.
Barang siapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya. Maka barangsiapa yang memecah pendidirian umat yang sudah bulat, pancunglah leher mereka dengan pedang siapa pun orangnya.”
Belum dua tahun berselang setelah resolusi itu dimaklumatkan, di tengah-tengah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia K.H. Hasyim Asy’ari meninggal dunia pada 25 Juli 1947, bertepatan dengan 7 Ramadan 1366 Hijriah (Aziz dkk., 2014: 84). Sebelumnya, datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo yang mengabarkan bahwa Kota Malang telah jatuh ke tangan pasukan Belanda. Mendengar hal tersebut, Kiai Hasyim mendadak pingsan. Dalam catatan lainnya seperti yang disampaikan oleh Kiai Gufron, dirinya menyangka bahwa Hasyim kelelahan dan langsung tertidur dalam keadaan duduk. Sehingga, kedua tamu tersebut dibiarkan pulang oleh Gufron. Namun, ketika dilihat secara seksama, ternyata Hasyim sudah tidak sadarkan diri dalam keadaan duduk. (Sukadri, 1985: 116). Keesokan harinya, menjelang subuh, K.H. Hasyim Asy’ari sudah tutup usia (Ghofir, 2012: 91).
K.H. Hasyim Asy’ari meninggalkan belasan karya yang mencakup ilmu fikih, hadits, dan tasawuf. Beberapa kitabnya yang terkenal adalah At-Tibyan fl An-Nahy ‘an Muqatha'at Al-Arham wa Al-Aqarib wa Al-Ikhwan, yang berisi tentang persaudaraan di tengah kaum muslimin; Muqaddimah Al-Qanun Al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlat Al-Ulama yang merupakan kaidah dasar NU; Risalah fi Ta’kid Al-Akhdzi bi Al-Madzhab Al-Aimmah Al-Arba’ah yang berisi pentingnya berpedoman kepada empat imam mazhab; Ar-Risalah fi At-Tasawuf, sebuah risalah tentang tasawuf; dan Tamyiz Al-Haq min Al-Bathil yang merupakan penjelasan-penjelasan mengenai tarekat yang menyimpang dari akidah (Ni’am, 2011: 102-105). Kemudian, atas jasa-jasanya, Kiai Hasyim ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 17 November 1964 melalui Keppres Nomor 294 Tahun 1964.
Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Alfian, dkk., Magdalia (ed.) (2006). Sejarah Pemikiran Indonesia Sampai Dengan Tahun 1945. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Aziz, dkk., M. Imam (2014). Ensiklopedia Nahdlatul Ulama: Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Nusantara. Jakarta: PBNU dan Matabangsa.
Bizawie, Zainul Milal (2014). Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949). Tangerang: Pustaka Compass.
Bush, Robin (2009). Nadhlatul Ulama and the Struggle for Power within Islam and Politics in Indonesia. Singapura: ISEAS Publishing.
Dhofier, Zamakhsyari (2011). Tradisi Pesantren: Studi Atas Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Fadli, Muhammad Rijal dan Sudrajat, Ajat (2020). “Keislaman dan Kebangsaan: Telaah Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari”, dalam Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora, Vol. 18 (1).
Farih, Amin (2016). “Nahdlatul Ulama (NU) dan Kontribusinya dalam Memperjuangkan Kemerdekaan dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”, dalam Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24 No. 2.
Fealy, Greg (2003). Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKiS.
Ghofir, Jamal (2012). Biografi Singkat Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah Pendiri dan Penggerak NU. Tuban: GP Ansor Tuban.
Latief, Hasyim (1995). Laskar Hizbullah Berjuang Menegakkan Negara RI. Jakarta: LTN PBNU.
Misrawi, Zuhairi (2010). Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Ni’am, Samsun (2011). Wasiat Tarekat Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Rifai, Muhammad (2009). K.H. Hasyim Asy’ari: Biografi Singkat 1871-1947. Yogyakarta: Garasi.
S. Aning, Floriberta. 2005. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20. Yogyakarta: Narasi.
Sukadri, Heru (1985). Kiai Haji Hasyim Asy’ari: Riwayat Hidup dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sunyoto, dkk., Agus (2017). Kyai Haji Hasyim Asy’ari: Pengabdian Seorang Kyai Untuk Negeri. Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional.
Zuhri, Saifudin. (1987). Berangkat Dari pesantren. Jakarta: Gunung Agung.