Simon Hendrik Spoor
Simon Hendrik Spoor atau dikenal dengan nama sandi Djati adalah Panglima tertinggi tentara Belanda dalam Agresi Militer I dan II. Ia dilahirkan di Amsterdam, Belanda pada 12 Januari 1902. Ia lulus dari Akademi Militer di Breda pada 1923 dan mengawali kariernya sebagai anggota intelijen pada Perang Pasifik. Ia dikenal sebagai sosok yang sangat loyal terhadap Ratu Belanda. Pada 1946, ia diangkat sebagai Letnan I Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) di Batavia dalam usia 44 tahun, sehingga ia dinobatkan menjadi perwira termuda dalam sejarah Belanda (Pour 2009: 13). Pada saat yang bersamaan Spoor juga dilantik sebagai Kepala Departemen Perang Hindia Belanda. Istrinya merupakan seorang suster yang bertugas di atas kapal rumah sakit Oranje, yang diketahui pernah berlabuh di Tanjung Priok, Batavia (“The General’s Wife,” 1946: 5).
Nama Spoor juga dikenal di Australia, ia pernah menjadi perwira penghubung yang bertugas di Papua Nugini. Beberapa bulan sebelum Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Jepang, Spoor dikirim ke Australia, untuk bertugas di Netherlands East Indies Forces Intelligence Service (NEFIS). Dalam pengeboman terakhir sebelum Jepang menaklukkan seluruh wilayah Hindia Belanda, Spoor sudah sampai di Broome, Australia, pada 9 Maret 1942. Saat tensi Perang Pasifik semakin meningkat, Spoor memilih untuk tenang dan berkonsentrasi pada strategi perang selanjutnya. Ia menganggap bahwa "begitu banyak peperangan yang terjadi sesungguhnya merupakan bagian dari politik”. Dalam kesaksian Tom Harrison sebagai perwakilan Belanda di Borneo, Spoor digambarkan sebagai sosok yang sangat lugas, bahkan cenderung angkuh, dan hanya berpikir bahwa pendekatan militer adalah satu-satunya solusi mengatasi persoalan politik, sehingga kebijakan atau strategi politik harus bersifat militeristik (Malone 2020).
Dalam sebuah dokumen resmi yang ditulis oleh Spoor tercantum bahwa konflik Indonesia-Belanda pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia berada di bawah tekanan komunitas internasional. Ia menambahkan bahwa upaya untuk menyelesaikan konflik tersebut secara diplomatik mengalami kebuntuan, sehingga solusinya adalah melalui perang (Gouda 1997: 46). Hal itu menyebabkan Belanda melancarkan Agresi Militer pada Juli 1947.
Spoor dikenal sebagai sosok yang sangat berambisi untuk mengalahkan Tentara Nasional Indonesia. Rival utama Spoor dalam konteks ini adalah Panglima Besar Soedirman. Sasaran utama Spoor dalam Agresi Militer I itu adalah menguasai Yogyakarta, yang pada saat itu menjadi ibu kota Republik, melalui operasi gabungan politik dan militer dengan istilah Operatie Kraai atau dikenal juga dengan istilah Operasi Gagak. Operasi ini memaksimalkan kekuatan militer di darat, laut, dan udara. Strategi yang diterapkan adalah Strategische Verrasing, yang berarti serangan dilakukan secara mendadak dan cepat (Maeswara 2010: 185). Menurutnya, Yogyakarta sebagai pusat perkembangan baru harus segera dilumpuhkan dalam satu kali pukulan.
Berdasar pada perintah Jenderal Spoor, lapangan terbang Maguwo diharuskan untuk segera direbut, sehingga dapat dijadikan pangkalan pertahanan Belanda untuk mengacaukan Yogyakarta. Strategi yang dirancang Spoor sebenarnya mengacu strategi Jepang dan Jerman pada awal Perang Dunia II. Diketahui bahwa Spoor memberikan pengarahan kepada Grup Tempur Para 1 di Markas Komando Korps Speciale Troepen (KST). Grup Tempur I dan Grup Tempur M merupakan dua kompi pasukan baret merah yang ditetapkan sebagai ujung tombak Operasi Kraai. KST sendiri merupakan pasukan khusus dengan kualifikasi dalam bidang para dan komando.
Pimpinan operasi itu pada awalnya adalah Kapten Raymond Westerling, tetapi satu bulan sebelum operasi dilaksanakan, Westerling dipecat sebagai respon atas kritik terhadap peristiwa pembantaian 156 penduduk di Tjikalong, Tasikmalaya (Pour 2009: 2-3). Peristiwa itu merupakan satu dari beberapa peristiwa kekerasan dan pembantaian yang dilakukan oleh pihak militer Belanda di beberapa daerah. Hal itu diakui oleh Spoor di hadapan para jurnalis pada Januari 1948 sebagai upaya melanggar gencatan senjata, dan tentu karena “mereka bukan merupakan orang suci” (Schilling 1958: 136). Meskipun demikian tidak mudah menyeret mereka ke pengadilan militer. Sebagai Panglima Angkatan Darat, Spoor sangat keberatan untuk mengadili tentara Belanda yang melakukan kekejaman (Romijn, 2012: 328).
Sementara itu, TNI dan masyarakat sipil pun bekerja sama untuk merespon aksi ini. Beberapa kumpulan pemuda pejuang kemerdekaan yang merupakan bagian dari masyarakat sipil turut menghadapi serangan Belanda. Mereka menggunakan beraneka ragam nama, seperti Beruang Merah, Barisan Gorila, Harimau Liar, atau Banteng Hitam. Mereka dilengkapi dengan senjata yang ditinggalkan Jepang, pedang, parang, tombak, dan segala macam senjata buatan sendiri (Gouda, 1997: 49).
Strategi perang Jenderal Spoor tidak efektif untuk memusnahkan pusat-pusat perlawanan militer Indonesia. Hal itu terbukti di Jawa Tengah misalnya, hampir tidak mungkin mereduksi jumlah pasukan Republik karena mereka telah mengungsi terlebih dahulu ke daerah pegunungan untuk mencegah serangan terhadap pos-pos militer dan jaringan komunikasi. Hal itu merupakan strategi gerilya dengan cara memecah konsentrasi lawan. Pelaksanaan aksi polisionil hanya memberi sedikit harapan bagi Belanda, apalagi jumlah pasukan Belanda semakin berkurang akibat adanya serangan dan ketidaktepatan penerapan strategi.
Pada tahun 1949 Jenderal Simon Spoor diberitakan meninggal dunia karena serangan jantung, dalam usia 47 tahun. Ada dua versi mengenai hal itu. Menurut Justin Lumbantobing, mantan anggota KNIL, Spoor tertembak pada 24 Mei 1949 di Tapanuli sedangkan menurut Fries Kourier, Spoor tertembak dalam sebuah penghadangan konvoi militer Belanda di Sibolga (Matanasi, 2016). Spoor sempat mendapatkan perawatan di rumah sakit pasca serangan jantung, kemudian meninggal dunia pada 25 Mei 1949.
Penulis: Noor Naelil Masruroh
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A
Referensi
Cochran, Shawn T. (2016). War Termination as Civil-Military Bargain: Soldiers, Statesmen, and the Politics of Protracted Armed Conflict. New York: Palgrave MacMillan.
Gouda, F. (1997). Languages of Gender and Neurosis in the Indonesian Struggle for Independence, 1945-1949. Indonesia, 64, 45–76. https://doi.org/10.2307/3351435.
Groen, P.M.H. (1986). Dutch Armed Forces and the Decolonization of Indonesia: The Second Police Action (1948–1949), A Pandora's Box. War and Society, 4(1), 79–104. doi:10.1179/106980486790303862.
Maeswara, G. (2010). Sejarah Revolusi Indonesia 1945-1950: Perjuangan Bersenjata dan Diplomasi untuk mempertahankan Kemerdekaan. Yogyakarta: Narasi.
Malone, P. (2020). Kill the Major: The True Story of the Most Successful Allied Guerrilla War in Borneo. Selangor: Strategic Information and Research Development Center.
Pour, J. (2009). Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer. Penerbit Buku Kompas.
Romijn, Peter (2012). Learning on ‘the ob’: Dutch War Volunteers Entering the Indonesian War of Independence, 1945–46. Journal of Genocide Research, 14(3-4), 317–336. doi:10.1080/14623528.2012.719368
Schilling, T. (1953). Spoor, onze Generaal, Door zijn Vrienden en Soldaten. Amsterdam: H. Meulenhoff.
“The General’s Wife”. (1946, March 17). The Sun.
Matanasi, P. (2016, September 19). “Misteri Kematian Jenderal Spoor.” https://tirto.id/bKYQ, dikunjungi pada 31 Oktober 2021.