Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL)
Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) adalah angkatan bersenjata milik pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia pada masa penjajahan. KNIL didirikan pada tahun 1830 dan dimaksudkan untuk mengatasi persoalan keamanan domestik yang umumnya berkenaan dengan resistensi dari kekuasaan lokal, baik kerajaan yang belum ditaklukkan, organisasi politik yang membangkang, atau ancaman kriminal tingkat tinggi seperti bajak laut.
Medan tugas utama KNIL sejak pendiriannya adalah operasi anti-gerilya di berbagai sudut Nusantara. Pasukan ini terlibat beberapa operasi militer besar dan menentukan seperti Perang Aceh pada tahun 1873-1914 dan Perang Dunia II (menghadapi invasi Jepang) pada tahun 1941-1942. Pada perang Aceh, KNIL memberi tumpuan kekuatan terbanyak pada Marechaussee Te Voet (Infantri Marsose) yang dipimpin oleh Kapten J.B. Van Heutsz. Pasukan yang dipimpin oleh Van Heutsz terkenal karena terdiri dari banyak prajurit bumiputera. Berkat keberhasilannya menumpas pejuang Aceh, Komandan Van Heutsz di kemudian hari diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Veer 1969: 15; Oktorino 2016: 190).
Selain itu, KNIL juga terlibat dalam berbagai ekspedisi militer. Ekspedisi ini secara sederhana dapat dipahami sebagai upaya memastikan bahwa berbagai wilayah di Hindia baik di pesisir maupun di pegunungan telah takluk pada komando dari Batavia. Dua ekspedisi yang paling populer dilancarkan ke Bali dan Lombok. Ekspedisi Bali yang berlangsung selama beberapa kali dan berakhir pada 1908 berbuah penaklukan Bali, salah satu wilayah yang paling sulit dikendalikan oleh pemerintah kolonial. Selain itu, Ekspedisi Bali pula menandai akhir dari eksistensi berbagai kerajaan di Bali dan momentum ketika berbagai harta warisan Bali dijadikan pampasan perang dan di bawa ke berbagai wilayah lain, termasuk Belanda (Sutaba 1983: 42-48)
Sebagai sebuah tentara kolonial, KNIL tidak hanya beranggotakan prajurit kulit putih, melainkan juga bumiputera. Kelompok bumiputera yang mengisi demografi KNIL tidak hanya kelompok minoritas beragama Kristen dari Maluku dan Minahasa, namun juga prajurit Jawa yang selalu berjumlah paling banyak. Selain itu, beberapa orang Sunda juga diketahui berdinas pada kesatuan militer kolonial ini. Pada tahun 1861, 54% prajurit KNIL adalah bumiputera sementara sisanya adalah prajurit Eropa. Jumlah yang banyak ini disebabkan oleh kedudukan mayoritas bumiputera sebagai prajurit rendah, alih-alih perwira. Pada tahun 1936, KNIL tercatat memiliki 13.000 prajurit Jawa dan 4.000 prajurit Ambon, suatu komposisi yang kurang lebih berlangsung hingga nasib tentara kolonial ini diakhiri (Cribb & Kahin 2004: 221-222).
Selain itu, terdapat pula kesatuan-kesatuan yang secara utuh beranggotakan prajurit bumiputera yang terasosiasikan dengan penguasa lokal namun beroperasi sebagai pasukan bantuan (hulpkorpsen) KNIL. Pasukan-pasukan ini antara lain adalah kavaleri ringan (lijfwacht dragonders) dari Yogyakarta dan Surakarta, Korps Barisan Madura, Legiun Mangkunegara & Pakualaman, Korps Prayoda dari Bali, Land-en Stadswacht (Kesatuan Paramiliter Garda Kota), Korps Cadangan, Korps Wanita Bidang Transportasi, dan Korps Infanteri-Marsose. (Lohnstein 2018: 20).
Selain pasukan darat, KNIL juga memiliki sebuah unit udara yang bernama Militaire Luchtvaart KNIL (ML-KNIL) yang didirikan pada tahun 1939 dan beroperasi hingga tahun 1950. Seperti organisasi induknya, ML-KNIL juga merekrut anggota bumiputera. Salah satunya adalah Bapak AURI, Marsekal Suryadharma yang pernah berdinas sebagai navigator (Soewito, Suyono, & Suhartono 2008: 12).
Betapapun KNIL adalah tentara kolonial, organisasi militer ini melahirkan nama-nama besar yang kelak akan menjadi ujung tombak tentara-tentara republik. Ex-KNIL yang berpangkat paling tinggi tentulah Jenderal Besar A.H. Nasution dan Jenderal Besar Soeharto. Menjelang berakhirnya negara kolonial, Nasution muda mengenyam pendidikan perwira cadangan di Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) di Bandung dan berdinas dengan KNIL dalam menghadapi serbuan Jepang. Sementara itu, Soeharto yang mencapai bintang lima di dinas militer Indonesia ternyata pernah menjadi seorang kopral KNIL (Aning 2005: 1, 201).
Nama-nama seperti Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo (Kepala Staf Angkatan Perang 1945-1948), T.B. Simatupang (Kepala Staf Angkatan Perang 1950-1953), GPH Djatikusumo (Kepala Staf Angkatan Darat pertama), dan Kolonel Alex Kawilarang (salah satu pendiri Kopassus) juga merupakan ex-anggota KNIL. Berbeda dengan perwira TNI ex-PETA, para ex-KNIL dikenal dengan kebiasaan mereka dalam mengabadikan pengalaman operasinya dalam bentuk tulisan seperti Nasution dengan Pokok-Pokok Perang Gerilya dan Simatupang dengan Laporan Dari Banaran.
Penulis: Satrio Dwicahyo
Instansi: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Aning, Floriberta. 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia Biografi Singkat Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Indonesia Di Abad 20. Jakarta: Narasi, 2005.
Cribb, R. B.., Kahin, Audrey. Historical dictionary of Indonesia. United Kingdom: Scarecrow Press, 2004.
Lohnstein, Marc. Royal Netherlands East Indies Army 1936–42. United Kingdom: Bloomsbury Publishing, 2018.
Soewito, Irna Hanny Nastoeti Hadi., Suyono, Nana Nurliana., Suhartono, Soedarini. Awal kedirgantaraan di Indonesia: perjuangan AURI 1945-1950. Indonesia: Yayasan Obor Indonesia, 2008.