Sujatin Kartowijono
Sujatin Kartowijono adalah tokoh pergerakan perempuan dan juga pendidik. Ia lahir di Desa Kalimenur, Wates, Yogyakarta pada tanggal 9 Mei 1907. Ayahnya adalah seorang terpelajar bernama Mahmud Joyohadirono, seorang Kepala Setasiun yang mempunyai tiga orang istri. Dua orang istrinya telah meninggal dunia dan ibunda dari Suyatin adalah istri ketiga. Ibunya bernama R.A. Kiswari, cucu bupati Ngawi, Sumonegoro, yang berasal dari kalangan keraton namun tak pernah mengenal huruf latin (DPP Suluh Perempuan, 2020). Nama kecilnya adalah Suyatin sedangkan imbuhan nama Kartowijono digunakan setelah menikah dengan Pudiarso Kartowijono. Sujatin lebih sering dikenal sebagai Nyonya Kartowijono dan menetap di Batavia (Wusandari, 2017).
Sebagai anak seorang terpandang, Sujatin menikmati pendidikan yang baik. Sekolah pertama yang dimasuki Sujatin adalah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah Dasar Melayu berbahasa pengantar Belanda di Karanganyar, Kebumen, Jawa Tengah. Hanna Rambe dalam biografi Sujatin Kartowijono Mencari Makna Hidup menceritakan bahwa Suyatin kecil adalah anak perempuan yang tomboy, dia tak suka bermain boneka dan lebih senang berenang, memanjat pohon, dan mencuri buah-buahan tetangga. Hobinya membaca dan berorganisasi, menurun dari ayahnya. Selepas HIS, Sujatin meneruskan sekolah di Meer eid Lager Onderewijs (MULO) pada tahun 1922.
Di jenjang pendidikan ini sifat-sifat Sujatin yang aktif dan senang bertualang makin terpupuk, bahkan ia mulai menunjukkan sikap penentangan terhadap sistem feodal. Sujatin berani menunjukkannya secara terang-terangan, bahkan di hadapan raja Jogja sekalipun. Suyatin menolak berbahasa kromo Inggil dengan orang keraton dan bersikeras menggunakan bahasa Indonesia. Ia juga lebih senang memanggil Gusti Kanjeng Ratu Dewi yang merupakan saudara perempuan Sri Sultan Hamengku Bowono VIII dengan sebutan Nyonya Dewi. Ketika mendapatkan hadiah lomba pawai dari Sri Sultan. Ia pun memilih mengucapkan terima kasih seraya membungkuk seperti memberi hormat kepada orang tua atau guru ketimbang sikap menyembah ala keraton (Rambe, 1983).
Suyatin tidak hanya aktif dalam kegiatan belajar di sekolah tetapi ia mulai mencari pengalaman baru dengan mengikuti kegiatan di luar sekolah di usia lima belas tahun tersebut. Ia memilih terjun dalam perhimpunan Jong Java dan aktif dalam kegiatan maupun kepengurusan. Nilai yang diperoleh Sujatin di sekolah cukup baik, terutama pada mata pelajaran yang sangat disukainya yaitu sejarah. Sejak bergabung dengan organisasi Jong Java, Suyatin rajin menuliskan gagasan dan kritikannya melalui majalah Jong Java dengan nama samaran Garbera. Salah satu tulisannya yang terkenal adalah Andai Aku Seorang Lelaki yang berisikan kritik terhadap kebiasaan hidup kaum ningrat. Ia sadar bahwa ia terlahir di wilayah jajahan Belanda di Hindia Belanda, maka ia pun tumbuh bersama gerakan nasionalis pada 1920-an bersama ribuan pemuda Indonesia terpelajar lainnya.
Dalam hal ini ayahnya, Mahmud Joyodirono, jelas sangat berpengaruh—bukan dalam arti menanamkan ide-ide nasionalis, melainkan dalam keterlibatannya yang intens dalam organisasi, dalam kelompok-kelompok jenis baru yang datang dengan kehidupan modern, dan dalam sikapnya. Seperti yang dikatakan Suyatin, ayahnya “membentuk kepribadian saya sebagai seseorang yang tidak tahan melihat ketidakadilan atau penindasan. Saya selalu tergerak untuk membela orang-orang yang dirampas haknya.” Ayahnya telah mendirikan cabang Budi Utomo, sebuah organisasi Jawa yang dimulai pada tahun 1908, yang kemudian diidentifikasi sebagai cikal bakal partai-partai nasionalis meskipun tidak terlalu politis. Hal itu diilhami oleh tujuan meningkatkan taraf hidup orang Jawa (Wusandari, 2017)
Pada tahun 1926, ketika Suyatin berusia 19 tahun, bersama dengan guru-guru muda lainnya dia mendirikan organisasi Puteri Indonesia dan menjadi presidennya. Organisasi ini adalah sayap perempuan dari sebuah organisasi nasionalis Pemuda Indonesia, sebuah organ bagi kaum muda terdidik. Suyatin terpikat pada gagasan untuk menyatukan seluruh Indonesia yang ditawarkan, sebagai satu-satunya cara untuk melawan Belanda. Pada 28 Oktober 1928 Pemuda Indonesia mengadakan kongres kedua dan meluncurkan apa yang dianggap sebagai tonggak dalam gerakan nasionalis Indonesia, Sumpah Pemuda. Keberhasilan dari Sumpah Pemuda dalam menyatukan semangat nasionalisme dari para pemuda melahirkan sebuah gagasan dari Sujatin dan rekan-rekan perkumpulannya untuk menyatukan seluruh wanita bumiputra.
Karakter Sujatin cukup keras, termasuk untuk urusan percintaan, dia tidak akan sudi menduakan idealisme bahkan untuk pria yang memujanya. Setidaknya ada dua lelaki yang dibuat patah hati karena mereka tidak menjadi prioritas meski telah jauh-jauh menyusulnya ke Yogyakarta. Ia pun tidak terlalu mengambil pusing dengan para lelaki yang mengejar cintanya. Selama mereka tidak bisa memahami perjuangan dan pergerakannya, maka dengan ringan Sujatin melepasnya dan menyebut mereka tidak cukup layak untuk mendampinginya (Wusandari, 2017). Namun, jodoh tak lari kemana. Sujatin akhirnya menemukan tambatan hatinya pada pemuda bernama Pudiarso Kartowijono. Mereka bertemu pertama kali saat acara peringatan hari Kartini tahun 1932. Sujatin kebetulan menjadi Ketua Panitia Peringatan dan Kartowijono datang sebagai tamu. Singkat cerita, mereka saling menyelami pandangan hidup dan cita-cita masing-masing. Pudiarso Kartowijono bukan orang kaya, bukan sarjana, dan tak punya pangkat. Ia pernah bekerja di pemerintahan Hindia Belanda sebagai ahli pembukuan dan bergaji besar tapi ditinggalkan karena ingin menjadi wiraswastawan. Ia adalah murid Bung Karno dan penganut jalan pikiran Dr. Setiabudi. Pada saat melamar Sujatin, Kartowijono sedang tak punya pekerjaan. Di tengah kecaman keluarga, mereka akhirnya menikah tanggal 14 September 1932 (DPP Suluh Perempuan, 2020).
Sujatin Kartowijono tidak kenal takut dan berpikiran independen, meskipun kadang-kadang diawasi oleh polisi. Suyatin memiliki hubungan yang sangat egaliter dengan suaminya. Di dalam otobiografinya Sujatin menekankan bahwa ia memilih Pudiarso Kartowijono daripada pria muda lainnya karena dia benar-benar mendukung pekerjaan pilihannya, yang dia gambarkan sebagai “kemerdekaan nasional dalam meningkatkan status perempuan” (Backburn, 2013: 31). Sujatin menunjukkan bahwa ia mengagumi dan dekat dengan sejumlah pemimpin nasionalis laki-laki, termasuk Ki Hajar Dewantara dan Haji Agus Salim. Baik Ki Hajar maupun Agus Salim lebih memperlakukan Suyatin sebagai anak didik daripada sejawat, mengingat jarak usia mereka. Sujatin juga sangat tegas tentang pandangannya bahwa perempuan harus mandiri, perempuan harus bisa memiliki penghasilan sendiri, sehingga tidak selalu bergantung pada suami. Perjuangan untuk kemandirian dan kesetaraan perempuan ia perjuangkan dengan sungguh-sungguh dan tidak kenal takut, meskipun harus berhadapan dengan Pemimpin negerinya. Seperti yang telah dia lakukan dengan menentang Sukarno saat berpoligami di tahun 1954 (Backburn, 2013: 33)
Meski perjuangannya untuk kesetaraan dan keadilan bagi perempuan teguh dijalani, namun dalam kehidupan pribadinya Sujatin Kartowijono membuat beberapa konsesi untuk peran gender yang berbeda. Bagaimanapun ia agak membatasi apa yang bisa dia lakukan dalam kehidupan publik dan cenderung defensif untuk tidak menggabungkan pekerjaan, aktivitas organisasi, dan tugas keluarga. Meskipun tidak ada penjelasan tentang peran apa yang dimainkan oleh suaminya dan kerabat atau pekerja rumah tangga yang tidak disebutkan namanya, tapi jelas keberhasilan Suyatin mengerjakan berbagi peran tidak dapat dilepaskan dari dukungan keluarganya. Satu hal yang pasti, Sujatin selalu berusaha mendahulukan keluarga, sebagaimana seharusnya seorang ibu (Backburn, 2013: 34) Sujatin mengatakan, “Di kantor dan dalam kehidupan organisasi saya menjadi seorang pemimpin. Di rumah, suami saya adalah kepala rumah tangga”. Baginya ini adalah sebuah pertemuan pikiran yang sejajar (Backburn, 2013: 35). Peranan dan pemikiran Sujatin dalam organisasi pergerakan kaum wanita pada pasca kemerdekaan tertuang dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Pergerakan Wanita Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan Idayu pada 1982. Buku ini berisi ceramah-ceramah Sujatin yang mengemukakan sejarah pergerakan wanita Indonesia, termasuk kiprah perjuangan dan pengabdian diri sepenuhnya kepada peningkatan derajat kaum wanita Indonesia.
Sujatin Kartowijono meninggal pada 1 Desember 1983, dalam usia 76 tahun, di rumah sakit Cipto Mangunkusumo setelah menderita sakit beberapa lama. Sujatin dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta Selatan.
Penulis: Nina Witasari
Instansi: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Unnes
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A
Referensi
Blackburn. Susan., Helen Ting, (2003). Women in Southeast Asian Nationalist Movements A Biographical Approach, Singapore: National University of Singapore Press.
DPP Suluh Perempuan, (2020). “Suyatin Kartowiyono Menolak Feodalisme”. Diakses dari https://suluhperempuan.org/2020/09/16/suyatin-kartowiyono-menolak-feodalisme.html
Rambe, Hanna. (1983). Suyatin Kartowiyono, Mencari Makna Hidupku, Jakarta: Sinar Harapan.
Wusandari, Suranti. (2017), “Peranan Suyatin Kartowiyono dalam Pergerakan Kaum Wanita Tahun 1922-1983”. Skripsi pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.