Sumpah Pemuda

From Ensiklopedia

Staatpartij adalah partai tunggal negara yang didirikan Sukarno dengan memanfaatkan otoritas konstitusionalnya, yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 22 Agustus 1945. Nama partai negara tersebut adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), sehingga dikenal juga dengan PNI Staatpartij. Pembentukan partai tunggal negara dimaksudkan sebagai pembangkit semangat perjuangan rakyat dan wadah bagi persatuan Indonesia dalam menghadapi musuh republik dan fragmentasi politik yang berkembang pasca-proklamasi kemerdekaan. Sukarno dan Hatta langsung menjadi pemimpin besar pertama dan kedua, sedangkan ketuanya adalah Sartono, tokoh PNI pada tahun 1930-an (Thaha, 2018:21).

Gagasan ke arah pembentukan partai tunggal telah ada sebelum Indonesia Merdeka, ketika Sukarno membentuk federasi dari PNI (berdiri 4 Juli 1927) yang mendasarkan perjuangannya pada kepentingan kebangsaan di atas “ego sektoral”. PNI menjadi partai pelopor sebagai “komando” pergerakan, sedangkan partai-partai lain posisinya sebagai pengikut di belakangnya (Thaha, 2018: 24). Federasi kebangsaan ini terbentuk dalam pertemuan tokoh pemimpin partai pada tanggal 17-18 Desember 1927 di Bandung dengan nama Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). PPPKI menekankan kepada musyawarah dan mufakat dalam bertindak untuk kebaikan bersama, yaitu menciptakan negara (Dahm, 1987: 99). Gaung persatuan dengan prinsip mufakat ini dikritisi oleh Mohammad Hatta, bahwa demokrasi tidak bisa dilaksanakan berdasarkan mufakat saja. Akan tetapi, Hatta percaya, bahwa federasi mempunyai tujuan untuk kemerdekaan Indonesia (Noer, 1990: 71).

Pada masa pendudukan Jepang, Sukarno dan Hatta memilih bekerjasama dengan Jepang. Gagasan tentang “Staatpartij” semakin menguatkan tekad Sukarno. Sukarno tertarik pada teknik mobilisasi politik Jepang. Praktik mobilisasi massa ini, misalnya terlihat di organisasi “Poetera” (Poesat Tenaga Rakyat), yang didirikan Sukarno (berdiri 9 Maret 1943) bersama Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur (dikenal juga dengan tokoh “Empat Serangkai”). Mereka terbilang berhasil memobilisasi kekuatan rakyat dan memberi kesadaran pengabdian  kepada Indonesia, sehingga dibubarkan Jepang dan diganti dengan organisasi resmi pemerintah Jepang,  Djawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa) pada 1 Januari 1944 (Noer, 1990: 201, 209).

Beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan berkumandang, Sukarno kembali menyampaikan gagasannya tentang pentingnya partai negara, yang bernama PNI-Staatpartij. Partai Negara ditetapkan pada tanggal 22 Agustus 1945, dirancang untuk memobilisasi penduduk di belakang pemerintahan baru. Kepengurusan partai didominasi oleh kalangan nasionalis lama yang sebelumnya aktif di organisasi Djawa Hokokai, seperti Sartono, Iwa Kusumasumantri, Maramis, Sudjono, dan Gatot Taruna Mihardja. PNI-Staatpartij akan menggabungkan pula kelompok kerja, koperasi, organisasi lingkungan, dan organisasi lainnya (Legge, 2010: 156; Bouchier, 2015: 87). Dominasi “golongan nasionalis” di PNI-Staatpartij menyebabkan keberadaannya mendapat kritik luas. Partai ini dianggap menamamkan benih-benih sikap otoriter dan dianggap lebih dekat dengan Jepang (Thaha, 2018: 22).

Angin politik memang telah berubah pada masa awal kemerdekaan itu. Secara internasional, fasisme hampir tenggelam berganti dengan retorika demokrasi, kebebasan, dan penentuan nasib sendiri. Di dalam negeri Indonesia, para pemuda yang dahulu dimobilisasi Jepang telah menjadi anti Jepang dan anti fasis sejak pertengahan tahun 1945. Sutan Sjahrir yang pada masa pendudukan Jepang menghindari kerjasama dengan Jepang hadir dengan sosok  yang populer dan “bersih”, sehingga menjadi daya tarik bagi mahasiswa dan intelektual muda lainnya. Dalam suasana itu, Sjahrir mendapat kekuatan moral mengkritisi Staatpartij sebagai “fasis”. Akhirnya, pada tanggal 31 Agustus 1945, Sukarno mengumumkan penundaan pembentukan Staatpartij.  Keberadaan partai tunggal negara praktis berumur delapan hari saja. Pada awal November 1945, pemerintah menyetujui, bahwa rakyat mempunyai kebebasan mengorganisir diri dalam partai-partai. Sejak saat itu peluang menghidupkan Staatpartij tidak memungkinkan lagi (Bouchier, 2015: 88-89; Legge, 2010: 157).

Penulis: Nopriyasman
Instansi: Universitas Andalas
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan

Referensi

Bourchier, David. 2015. Liberally Democracy in Indonesia The Ideology of the family state. London and New York: Roudledge.

Dahm, Bernhard. 1987. Sukarno dan Prjuangan Kemerdekaan.  Jakarta: LP3ES.

Legge, J.D. 2010.  Intellectuals and Nationalism in Indonesia A Study of the following recruited By Sutan Sjahrir in Occupied Jakarta. Singapore Equinox Publishing (Asia) PTE LTD.

Noer, Deliar. 1990. Mohammad Hatta Biografi Politik. Jakarta: LP3ES

Thaha, Idris. 2018. Islam dan PDI Perjuangan Akomodasi Aspirasi Politik Umat. Jakarta: Prenadamedia Group