Sutatmo Suryokusumo
Raden Mas Sutatmo Suryokusumo atau R.M. Sutatmo Suryokusumo adalah salah seorang tokoh pergerakan yang memiliki jasa besar terhadap bangsa Indonesia. Dia merupakan generasi awal dalam kancah kebangkitan nasional Indonesia dan satu generasi dengan Cipto Mangunkusumo, Pemikiran Sutatmo tentang nasionalisme tergolong konservatif sehingga mendapat reaksi dari tokoh-tokoh yang lebih progresif, termasuk Cipto Mangunkusumo. Dia lebih menekankan pada nasionalisme etnisitas, terutama Jawa. Sutatmo Suryokusumo meninggal tahun 1924 dalam usia yang sangat muda yaitu 36 tahun.
Sutatmo Suryokusumo lahir tahun 1888 di Yogyakarta. Dia berasal dari keluarga bangsawan utama Jawa dari Pura Kerajaan Paku Alam di Yogyakarta. Sutatmo Suryokusumo merupakan sepupu dari Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Sesuai dengan kebijakan dari Pura Pakualaman yang mewajibkan agar anak-anak keturunan bangsawan bersekolah baik di sekolah Eropa maupun pendidikan di dalam istana, Sutatmo juga mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan modern yang bagus (Suratman, 1984:15). Dengan bekal pendidikan inilah dia memiliki pemikiran yang sangat rasional dan dapat berkiprah dalam beberapa organisasi pergerakan.
Awal kiprah Sutatmo dalam pergerakan dilakukan melalui Budi Utomo yang merupakan organisasi pergerakan pertama di Indonesia. Dia merupakan salah seorang tokoh dibalik berdirinya organisasi itu. Misi dan tujuan lahirnya didirikannya Budi Utomo untuk kemajuan orang Jawa melalui pengembangan pendidikan modern dengan tidak melupakan membangkitkan kembali budaya Jawa sangat sesuai dengan harapan Sutatmo. Dia belakangan menjadi anggota Hoofdbestuur Budi Utomo dan menjabat posisi ini sampai dia meninggal pada tahun 1924. Pada tahun 1921 dia terpilih menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) mewakili Budi Utomo.
Selain berkiprah dalam Budi Utomo, Sutatmo juga cukup aktif berpartisipasi dalam beberapa organisasi perjuangan lainnya. Ia bergabung dengan Indische Partij ketika didirikan pada tahun 1912 dan juga menjadi anggota Komite Bumiputera pada tahun 1913. Pada tahun 1914 Sutatmo mendirikan Komite Nasionalisme Jawa. Semua anggota terkemuka Komite Nasionalisme Jawa adalah generasi muda Budi Utomo. Organisasi ini mendapat perlindungan dari Pangeran Mangkunegara dan Radjiman Wediodipoero. Untuk menyalurkan ide-ide golongan intelektual muda ini, Sutatmo menerbitkan jurnal Wederopbouw atau Rekonstruksi. Penerbitan majalah Wederopbouw hanya dimungkinkan dengan bantuan keuangan dari Pangeran Mangkunegara, yang juga menyumbangkan artikel atas nama Daha. Di samping Sutatmo, redaksi majalah ini diperkuat oleh Abdul Rachman, dan Satiman Wirjosandjojo. Belakangan Noto Soeroto dan Soerjopoetro bergabung sebagai koresponden asing. Ketika Satiman pindah ke Jambi, adiknya Soekiman Wirjosandjojo menggantikannya (Shiraishi, 1981: 95).
Sutatmo juga memainkan peran utama dalam pembentukan Paguyuban Selasa Kliwon, yaitu suatu kelompok diskusi yang aktif mengundang pemimpin politik dan spiritual yang tidak puas dengan politik murni dan yang membahas reorientasi spiritual dari tujuan politik (Fakih, 2012: 424). Paguyuban ini diberi nama Selasa Kliwon, karena diskusi diadakan setiap hari Selasa-Kliwon. Salah satu hasil dari diskusi di paguyuban ini adalah gagasan mendirikan sekolah. Gagasan ini muncul disebabkan oleh keprihatinan peserta diskusi terhadap sistem pendidikan kolonial yang materialistik, individualistik, dan intelektualistik. Oleh karena itu mereka melahirkan suatu sistem pendidikan yang humanis dan populis, yang memayu hayuning bawana (memelihara kedamaian dunia) sebagai reaksi terhadap sistem pendidikan kolonial (Wiryopranoto, 2017: 33). Untuk merealisasi tujuan tersebut, pada tahun 1922 Sutatmo bergabung dengan Soewardi Soerjaningrat dalam mendirikan Taman Siswa dan menjabat sebagai presiden pertama sedangkan Soewardi sendiri sebagai sekretaris. Ia juga pernah menjadi ketua paguyuban Adhi Darma Rumah Paku Alam yang didirikan oleh Soerjopranoto (Shiraishi, 1981: 95-6).
Sutatmo merupakan salah seorang tokoh paling awal yang mempunyai konsepsi pemikiran tentang nasionalisme. Pemikirannya ini diterbitkan sebagai edisi khusus Wederopbouw pada tahun 1918 dalam bentuk buklet dengan judul Javaansch of Indisch Nationalisms. Soetatmo menganjurkan bentuk nasionalisme yang harus dipilih saat itu adalah nasionalisme Jawa, karena menurut dia bangsa dapat dan harus dibangun atas dasar budaya dan bahasa yang sama. Nasionalisme Jawa memiliki dasar kesamaan budaya, bahasa, dan sejarah, sedangkan basis budaya nasionalisme Hindia Belanda tidak ada, kalaupun ada hanyalah merupakan produk pemerintahan kolonial Belanda. Nasionalisme Jawa adalah sarana ekspresi diri bagi orang Jawa, sedangkan nasionalisme Hindia dari Indische Partij atau Islamisme SI tidak lebih dari reaksi terhadap dominasi kolonial Belanda di Hindia. Oleh karena itu, menurut Sutatmo, hanya nasionalisme Jawa yang memiliki dasar budaya yang kuat dan orang Jawa dapat membangun komunitas politik mereka di masa depan (Shiraishi, 1981: 97).
Selain tentang nasionalisme, pemikiran Sutatmo tentang kepemimpinan juga merujuk pada kebudayaan Jawa. Dalam salah satu karya awal Soetatmo, “Sabdo Pandito Ratoe,” ia kembali menegaskan keyakinannya bahwa orang Jawa harus berada di bawah kepemimpinan alami bangsawan mereka. Dia melihat demokrasi sebagai ancaman, dengan alasan bahwa menurut filosofi Jawa hak untuk memerintah tetap di tangan orang bijak dan adil, yang mengetahui dasar-dasar peradaban Jawa, bukannya di tangan dengan rakyat. Oleh karena itu, Soetatmo sangat menghargai budaya dan masa lalu masyarakat Jawa. Dia meramalkan masyarakat yang akan diremajakan dengan kehadiran pandita; semacam kepemimpinan budaya-spiritual yang akan mencerahkan dan melanjutkan Jawa peradaban (Fakih, 2012: 424-5).
Pemikiran lainnya dari Sutatmo adalah tentang pendidikan yang juga mengacu pada kebudayaan Jawa. Dalam makalah yang dipresentasikannya, pada Kongres Pengembangan Budaya Jawa di Solo dari tanggal 5-7 Juli I9I8, Soetatmo berargumen bahwa perkembangan kebudayaan Jawa di masa depan telah ditentukan oleh sifatnya yang inheren, dan tugas yang harus dilakukan adalah membiarkan esensinya terungkap melalui opvoeding (pengasuhan). Yang dimaksud dengan esensi budaya Jawa adalah keindahan (schoon-heid) dan yang dimaksud dengan opvoeding adalah pembinaan moral. Dalam pandangannya, domain moral manusia adalah bagian dari tatanan yang lebih tinggi yang dikendalikan oleh yang ilahi; dan tugas pembinaan moral harus dipikul oleh pandita (orang bijak) yang melampaui semua perbedaan antara partai, agama, dan kepentingan tertentu. Hidup dengan pandita itu sendiri memiliki nilai yang lebih besar dan lebih tinggi bagi anak-anak daripada pelajaran moral harian yang diberikan oleh guru sekolah, karena kekuatan moral pandita yang tak terlihat, memancar dari karakternya yang agung, memberi anak-anak pendidikan moral mereka. Produk akhir dari ini adalah kesempurnaan diri bagi murid dan keturunannya. Pelatihan yang diberikan oleh pendidikan Barat tidak mungkin menghasilkan kesempurnaan seperti itu, karena itu pada dasarnya adalah pendidikan intelektual, dan bukan moral. Namun, yang disayangkan Soetatmo, pandita telah hilang di masa lalu, dan kini hanya wayang yang tersisa sebagai penampung kearifan Jawa dan sebagai sarana pendidikan moral pemuda Jawa. Namun hanya dengan mengikuti jalur pendidikan moral budaya Jawa dapat berkembang (Shiraishi, 1981: 98-9).
Penulis: Mawardi
Instansi: Universitas Syiah Kuala
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan
Referensi
Fakih, Farabi (2012) “Conservative corporatist: Nationalist Thoughts of Aristocrats, The Ideas of Soetatmo Soeriokoesoemo and Noto Soeroto”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 168, no. 4 (2012), hlm. 420-444.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho (1990) Sejarah Nasional Indonesia V (edisi ke-4). Jakarta: Balai Pustaka.
Shiraishi, Takashi (1981) “The Disputes Between Tjipto Mangoenkoesoemo and Soetatmo Soeriokoeosemo: Satria vs. Pandita”, Indonesia 32:93-108.
Suratman (1984) Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
Wiryopranoto, Suhartono (2017) “Gagasan Ki Hajar Dewantara dalam Bidang Politik” dalam Djoko Marihandono (Editor), Perjuangan Ki Hajar Dewantar: Dari Politik ke Pendidikan, Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.