Tan Tjeng Bok

From Ensiklopedia

Komersialisasi hiburan masyarakat kota mulai tumbuh dan berkembang menjelang pergantian abad ke-20, yang ditandai oleh lahirnya rombongan sandiwara modern dan tradisional seperti Wayang Wong dan Komedi Stambul. Wayang Wong telah mengadakan pertunjukan sebagai hiburan komersial di Batavia sejak tahun 1890 (Samidi, 2019), sedangkan Komedi Stambul dibentuk di Kota Surabaya tahun 1891. Rombongan hiburan berbayar seperti ini tidak hanya menggelar pertunjukan yang menetap di satu tempat, tetapi juga berpindah-pindah di beberapa kota di Jawa (Cohen, 2006). Rombongan-rombongan musik keroncong pada dekade berikutnya juga marak mengadakan pertunjukan, terutama di kota-kota besar pada awal abad ke-20. Pada saat hiburan komersial menandai kemajuan kota, talenta-talenta yang berkiprah di dunia hiburan mulai lahir dan nantinya berkontribusi pada berkembangnya seni pertunjukan.

Salah satu seniman yang mendedikasikan hidupnya pada seni pertunjukan adalah Tan Tjeng Bok, seorang peranakan Tionghoa yang lahir di kawasan Batavia pada kisaran tahun 1898 dan meninggal dunia pada 1985. Tan Tjeng Bok lahir dari pernikahan Tan Soen Tjiang (Tionghoa totok) dengan Darsih (pribumi Betawi). Masa kecil dan remaja ia dididik oleh orang tuanya dengan budaya Tionghoa, tetapi ada sedikit perbedaan dibandingkan dengan anak-anak lain. Ia tumbuh dan berkembang sebagai seorang anak dalam asuhan orang tua yang mendidik secara keras. Pada usia dua tahun, ia diasuh oleh bibinya, tetapi versi lain menyebutkan selama 10 tahun ia berada dalam asuhan Darsih (ibu kandung perempuan asli Betawi) yang diceraikan oleh Tan Soen Tjiang. Keduanya bercerai pada saat Tan Tjeng Bok berusia 2 bulan. Pengasuhan Tan Tjeng Bok, sesuai perjanjian hak pengasuhan anak, beralih ke Tan Soen Tjiang (bapak kandung) yang saat itu sudah bermukim di Bandung (Hutari dan Otara, 2019).

Tan Tjeng Bok mulai memasuki pendidikan formal ketika diasuh oleh Tan Soen Tjiang. Pendidikan formal tersebut ditempuh di Hollandsche Chineesche School (HCS), kemudian pindah ke Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) yang tidak diketahui selesainya. Keinginan yang bertolak belakang antara orang tua dan anak mulai muncul. Tan Soen Tjiang menghendaki Tan Tjeng Bok belajar normal dan tidak terlibat di dunia hiburan. Akan tetapi, bakat seni panggung mulai tumbuh sejak remaja sebagai penyanyi keroncong. Ketertarikannya pada musik mengakibatkan dia diusir dari rumah pada usia 12 tahun. Sejak saat itu, pekerjaan dalam ‘pengembaraan’ tak menentu yang berhubungan dengan hiburan, seperti tempat biliar, mengamen, bioskop, dan sandiwara sebagai orang yang siaga menerima perintah.

Dunia hiburan mengantarkannya pada rombongan De Goundvissen pada tahun 1915, kemudian ia ikut orkes Goler. Popularitasnya dalam dunia hiburan dimulai tahun 1920-an sampai tahun 1980-an sebagai seniman teater, musik, dan film di tiga zaman (Hindia Belanda, Jepang, dan Kemerdekaan). Seni panggung sandiwara modern tumbuh subur pada tahun 1920-an dengan munculnya rombongan sandiwara yang melakukan pentas berpindah-pindah. Bahkan, kesenian rakyat yang bercirikan tradisi juga bertransformasi menjadi hiburan komersial seperti Ketoprak (Klaten-Solo) dan Ludruk (Jombang-Surabaya). Sandiwara modern The Malay Opera Dardanella (didirikan di Sidoarjo, 21 Juni 1926) merupakan tempat kiprah Tan Tjeng Bok meniti karir di dunia seni peran (aktor). Aktris populer yang bergabung tahun 1927 di Dardanella adalah Soetidjah yang dikenal dengan nama panggung “Miss Dja”.

Menurut pernyataan Soetidjah, Tan Tjeng Bok bergabung dengan rombongan Dardanella pada tahun 1927. Pemilik rombongan, Piedro atau Willy Klimanoff, membantu meningkatkan talenta pemain sandiwara seperti Soetidjah, Ferry D. de Kok, Astaman, dan Andjar Asmara. Dari keseluruhan permainan di Dardanella, Tan Tjeng Bok mendapat kesempatan untuk mengembangkan bakat yang juga melambungkan namanya sebagai primadona penonton. Berbagai iklan pertunjukan sandiwara di koran yang terbit tahun 1930-an seringkali menyematkan namanya untuk menarik perhatian khalayak (Bataviaasch Nieuwsblad, 2 Desember 1937; De Locomotief, 6 Juli 1938). Perlombaan bernyanyi keroncong masih ia diikuti setiap ada kesempatan sehingga profesinya sebagai penyanyi, dibuktikan dari piringan hitam. Sebagai orang yang dikenal luas dan digandrungi oleh banyak orang, maka simpati pada sosok ini pun datang dari banyak perempuan.

Perhatian Tan Tjeng Bok pada perjuangan bangsa tidak lepas dari maraknya semangat persatuan yang digelorakan oleh pemuda melalui Kongres Pemuda tahun 1928. Pimpinan Dardanella mengapresiasi peristiwa ini dengan membanggakan bahwa Dardanella telah berkontribusi menyebarluaskan penggunaan bahasa Melayu (Indonesia) dalam pertunjukannya. Perasaan antikolonial Tan Tjeng Bok muncul dari sentimen pribadi atas perlakuan polisi kolonial yang menamparnya. Ketika Dardanella menyuarakan kritik sosial di atas panggung, Tan Tjeng Bok yang menyampaikannya atas skenario rombongan. Hal ini membuatnya dia berurusan dengan polisi karena dianggap membawa isu-isu politik yang agitatif.

Menjelang meredupnya sandiwara modern pada akhir kekuasaan kolonial, Tan Tjeng Bok memasuki hiburan layar lebar pada tahun 1941. Hal yang sama juga dialami oleh aktor-aktor lain di dunia hiburan kesenian panggung modern. Perubahan terjadi dengan cepat ketika Jepang berkuasa atas Hindia Belanda. Film mengalami kendala atas kontrol ketat Jepang. Pada periode ini, Tan Tjeng Bok sulit bergabung ke rombongan sandiwara karena tidak memiliki surat keterangan identitas yang diberlakukan untuk orang asing. Dia berpindah-pindah tempat di wilayah Jawa Timur untuk bergabung dengan rombongan pertunjukan yang bermain di desa-desa. Pertunjukan di desa-desa berarti dia bergabung dengan rombongan ludruk pada masa itu hingga perang kemerdekaan. Kontribusinya pada perjuangan disalurkan melalui pembentukan rombongan ludruk yang pendapatannya disumbangkan sebagai dana perang. Pada tahun 1950, Tan Tjeng Bok disebut memimpin rombongan Ludruk Warna Sari yang disetarakan dengan Ludruk Marhaen, Jawa Timur, dan Trisno Enggal (Anonim, 1953).

Kiprahnya di ranah film dimulai lagi pada tahun 1954 ketika membintangi Djula-Djuli Bintang Tiga yang dilanjutkan dengan judul-judul film lain sampai tahun 1970-an. Tahun 1955, Tan Tjeng Bok membintangi film yang berjudul Si Bongkok dari Borobudur dan Kisah Nak Bandar Djakarta tahun 1956 (De Locomotief, 27 Juli 1955; 20 Februari 1956). Hal ini tidak lepas dari kemunculan perusahaan film, seperti Ardjuna Film, Garuda Film, Semeru Film, Gumfic, Usaha Film Coy. Pahlawan Merdeka Film, Gadjah Mas Film, Z Hanan Film, Ibukota Film, Kartika Bina Prima Film, Ina Film, Empat Gadjah Film, dan Iwan Andy Film. Perusahaan-perusahaan film ini merupakan contoh keterlibatan Tan Tjeng Bok sebagai aktor dalam produksi film sehingga kiprahnya sebagai aktor tidak diragukan. Pada tahun 1972, panggung hiburan memang tidak dapat ia tinggalkan meskipun usianya sudah senja. Peran baru yang dimainkannya adalah sebagai pelawak bersama Kwartet Djaya (Bing Slamet, Ateng, Iskak, dan Eddy Sud). Meskipun bukan sebagai pelawak utama, kemampuannya melawak sudah diasah sejak lama terutama ketika terlibat dalam rombongan ludruk karena lawakan ludruk merupakan bagian penting dari pertunjukan.

Peralihan teknologi perekaman suara dari piringan hitam ke kaset pada awal tahun 1970-an ternyata menjadi momentum Tan Tjeng Bok melantunkan lagi lagu-lagu keroncong. Popularitasnya belum redup meskipun usia tua menyertai tubuhnya yang renta. Suaranya masih mendapat perhatian dari label rekaman kaset Dian Record. Lagu-lagu keroncong yang dinyanyikan Tan Tjeng Bok direkam dan diberi judul Keroncong Asli Th. 1919 sebagai kaset pertama dan kemudian berlanjut pada kaset-kaset berikutnya. Kaset yang beredar tidak hanya tentang lagu keroncong, tetapi juga kaset lawak sejumlah sembilan volume yang melibatkan Tan Tjeng Bok, Fifi Young, Netty Herawaty, dan Salam. Tan Tjeng Bok dan Fifi Young adalah teman lama sejak di Dardanella. Rekaman lawak yang melibatkan Fifi Young berkisar pada tahun 1974 dan awal tahun 1975. Hal ini diketahui dari bukti Fifi Young meninggal dunia pada 5 Maret 1975. Tan Tjeng Bok masih meneruskan profesinya sebagai pelawak, bahkan mendirikan grup lawak Tan Tjeng Bok Cs pada akhir tahun 1979 (Hutari dan Otara, 2019).

Tan Tjeng Bok mengabdikan hidupnya pada seni pertunjukan di tiga zaman mewarnai dunia hiburan secara langsung di atas panggung maupun secara tidak langsung melalui media rekam (film, piringan hitam, dan kaset) membuktikan dedikasinya pada bidang kesenian sepanjang hayat. Penghargaan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma diberikan oleh Presiden Megawati Sukarnoputri pada tahun 2003, sebagai penghormatan atas jasanya sebagai pelaku sekaligus pembina budaya di ranah kesenian.

Penulis: Samidi
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum


Referensi

Anonim. 1953. Provinsi Jawa Timur 1950. Surabaya: Jawatan Penerangan RI Provinsi Jawa Timur.

Cohen, Matthew Isaac. 2006. The Komedie Stamboel: Popular Theatre in Colonial Indonesia, 1891–1903. Athens: Ohio University Press.

Hutari, Fandy dan Otara, Deddy. 2019. Tan Tjeng Bok, Seniman Tiga Zaman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Samidi, “Identitas Budaya Masyarakat Kota: Teater Tradisi di Kota Surabaya pada Awal Abad XX" dalam jurnal Indonesian Historical Studies, Vol. 3, No.1, 1-17, 2019.