Tanjung Morawa

From Ensiklopedia

Tanjung Morawa adalah kecamatan yang terletak di wilayah Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Luas wilayah ini mencapai sekitar 131 kilometer persegi. Tanjung Morawa dihuni beragam etnis antara lain etnis Batak, Melayu Deli, Jawa, Minang, Aceh, Sunda, Nias, Bugis, Tionghoa, India. Nama Tanjung Morawa menjadi perbincangan publik dan tercatat dalam sejarah Indonesia berkaitan dengan masalah agraria di wilayah tersebut pada masa kabinet Wilopo pada awal 1950an.

Masalah agraria ini berhubungan dengan lahan milik Deli Planters Vereeniging. Lahan itu selama bertahun-tahun ditinggalkan oleh pengusaha perkebunan, sehingga dimanfaatkan penduduk sekitar dengan menggarap lahan ini. Para penggarap terdiri dari petani bumiputra dan Tionghoa. Sengketa agraria di Tanjung Morawa terjadi ketika Deli Planters Vereeniging akan mengembalikan lahan seluas 130 ribu hektar persegi, dari 255 ribu hektar persegi,  lahan konsesi mereka dengan imbalan sewa baru selama tiga puluh tahun untuk lahan sisanya, yakni seluas 125 ribu hektar persegi. Pemerintah juga berencana memindahkan 62 ribu keluarga yang telah menempati tanah yang berada di lahan seluas 125 ribu hektar persegi itu ke lokasi baru.

Dalam konferensi tani se-Sumatra Utara yang berlangsung pada 10-13 Januari 1953, masalah agraria di Tanjung Morawa menjadi agenda dalam persidangan ini. Konferensi menghasilkan keputusan yakni tidak menyetujui kebijakan dan langkah yang dilakukan pemerintah dalam penyelesaian lahan perkebunan di Tanjung Morawa dan peraturan terkait hal ini agar dihentikan. Organisasi petani Tionghoa Tanjung Morawa yang mewakili para keluarga Tionghoa juga mengirimkan surat kepada pemerintah setempat dengan tuntutan antara lain memberikan tanah yang subur dan tetap kepada petani Tionghoa sebagai pengganti tanah mereka di Tanjung Morawa.

Kebijakan dan upaya pemerintah untuk memukimkan kembali petani penggarap di lahan perkebunan Tanjung Morawa ini menghadapi tantangan ketika pada 16 Maret 1953 para petani menolak kebijakan agraria pemerintahan Wilopo. Aparat kepolisian kemudian mengerahkan traktor dan melakukan tindakan kekerasan untuk memaksa petani meninggalkan lahan yang telah ditempatinya sejak masa pendudukan Jepang itu. Pemerintah telah menyediakan tanah pengganti untuk para petani itu di tepi Sungai Ular. Petani berpendapat bahwa tanah yang disediakan oleh pemerintah tidak subur, belum siap ditanami, masih berupa belukar dan ditempati orang lain.

Penolakan petani untuk berpindah dari lahan yang ditempati dan digarap selama bertahun-tahun itu berujung pada bentrokan dan aksi kekerasan hingga mengakibatkan jatuhnya korban baik luka maupun tewas, serta penangkapan oleh pihak kepolisian. Sengketa agraria di Tanjung Morawa kemudian memicu reaksi dari kalangan politisi dan organisasi tani, juga desakan dilakukan investigasi atas masalah ini. Mosi tidak percaya disuarakan terhadap pemerintahan Wilopo atas terjadinya kekerasan dan jatuhnya korban dalam peristiwa Tanjung Morawa. Isi tuntutan adalah menghentikan pelaksanaan pembagian tanah di Sumatra Timur, membentuk panitia pembagian tanah dan menempatkan wakil-wakil petani untuk duduk di dalamnya, membebaskan mereka yang ditangkap dan ditahan aparat keamanan. Pemerintahan Wilopo jatuh dan mengakhiri kekuasaannya dengan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada 2 Juni 1953.

Penulis: Mohammad Fauzi
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si


Referensi

Feith, Herbert. The Wilopo Cabinet 1952-1953: A Turning Point in Post-Revolutionary Indonesia. Singapore: Equinox, 2009.

Nurdiani, Yani. Persengketaan Tanah di Sumatera Timur: Kasus Tanjung Morawa 1952-1953. Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1990.

Pelzer, Karl J. Planters Against Peasants: The Agrarian Struggle in East Sumatra 1947-1958. ‘S-Gravenhage-Martinus Nijhoff: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, 1982.

Stoler, Ann Laura. Capitalism and Confrontation in Sumatra’s Plantation Belt, 1870-1979. Ann Arbor: The University of Michigan Press, 1995.