Wilopo

From Ensiklopedia

Wilopo adalah politisi dan tokoh pergerakan nasional. Ia dilahirkan di Purworejo pada 21 Oktober 1909. Ayahnya adalah seorang Mantri Guru bernama Prawirodihardjo. Setelah berpindah-pindah tugas seperti di Wonosobo dan Kaliwiro, Wilopo akhirnya menetap dan membina keluarga di Purworejo, hingga menjelang pensiun. Sebenarnya Prawirodihardjo akan diangkat sebagai pengawas sekolah (school opzienier), namun terpaksa ditolaknya karena harus meninggalkan Purworejo. Oleh karena itu keluarga Prawirodiharjo memilih pindah ke wilayah Loano, dan Prawirodihardjo tetap menjabat sebagai Mantri Guru (Soebagijo, 1982: 73).

Wilopo menempuh pendidikan di HIS (Hollands Inlandsche School) dan melanjutkan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Magelang. Di kota ini Wilopo mulai aktif berorganisasi dengan masuk NATIPIJ (Nationaal Islamitische Padvinderij), sebuah gerakan kepanduan yang berada di bawah pengawasan Partai Sarekat Islam. Setamat dari MULO, Wilopo melanjutkan pendidikannya di AMS-B Yogyakarta pada tahun 1927-1930. AMS-B adalah sekolah menengah bagi siswa yang berminat mempelajari alam seperti, fisika, kimia, dan sebagainya.

Di Yogyakarta, Wilopo sempat bergabung dengan organisasi Jong Java, namun merasa tidak cocok dengan gagasannya. Wilopo akhirnya bergabung ke dalam organisasi Indonesia Muda, karena ajakan temannya di AMS, Soegono. Di dalam organisasi inilah Wilopo mulai mengenal pemikiran Sukarno, dan meneruskan keanggotannya hingga hijrah ke Bandung. Di Bandung, Wilopo tergabung ke dalam PPPI (Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia) cabang Bandung. Hal itu berlangsung hingga ia pindah ke Sukabumi karena pertimbangan kesehatan (Soebagijo, 1982: 77).

Di Sukabumi, Wilopo mendapat tawaran untuk menjadi guru Taman Dewasa pada tahun ajaran 1932/1933. Menjadi pengajar tidak menjadikan Wilopo berhenti melanjutkan pendidikan. Ia melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Jakarta. Di Jakarta Wilopo menetap di rumah teman baiknya, Abdul Rasid di daerah Kwitang, kemudian pindah ke Paseban. Pada Oktober 1937, sewaktu sedang menempuh doktoral I, Wilopo menikah dengan Sumikalimah, adik perempuan dari ibu Abdul Rasid (Soebagijo, 1982: 79).

Setelah menikah, Wilopo dan istri tinggal di daerah Matraman dan mengandalkan honor sebagai pengajar di beberapa sekolah, selain juga menjadi penulis features bagi sejumlah surat kabar berbahasa Belanda. Salah satu tempat dia mengajar adalah Instituut Journalistiek dan Pengetahuan Umum, di mana ia mengajarkan mengenai ranjau-ranjau pers. Selain aktif mengajar, Wilopo juga aktif dalam pergerakan politik dan kembali bergabung dengan Partindo (Partai Indonesia), sebagaimana telah ia lakukan dulu sewaktu masih di Sukabumi (Anonim, 1979: 33).

Selain tergabung dalam Partindo, Wilopo tercatat juga aktif sebagai anggota PPPI, SIS (Studenten Islam Studieclub), dan USI (Unitas Studioforum Indonesiensis). Dalam PPPI, Wilopo bahkan aktif sebagai Wakil Redaksi majalah Indonesia Raya milik organisasi. Pada tahun 1937-an, suasana pergerakan nasional berada pada periode yang sulit. Hal ini terjadi karena banyak tokoh-tokoh yang ditangkap dan diasingkan, terutama ke Boven Digul. Banyak organisasi kemudian memilih jalan untuk bekerja sama dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Wilopo sendiri memilih untuk bergabung dengan Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia). Sekitar bulan Oktober 1941, Gerindo mengadakan konggres, dan Wilopo terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Harian Gerindo. Menjelang ancaman invasi Jepang ke Hindia Belanda, Gerindo mengambil sikap tegas untuk menolak fasisme. Sikap tersebut dituangkan dalam Manifest Gerindo, Wilopo turut menandatanganinya (Abdullah 2012a: 134).

Pada masa Jepang, Wilopo bergabung dalam Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dengan tugas membantu Mr. Sartono yang menjabat sebagai Sekjen Putera. Saat Putera dibubarkan dan diganti menjadi Jawa Hokokai, Wilopo diberi tugas menjadi Kantor Kepala Usaha (Zisenkyokucho Jakarta Hokokai), yang nantinya digabungkan ke dalam Pemerintah Kotapraja Jakarta. Menjelang peristiwa Proklamasi Kemerdekaan, sebagai bagian dari Pemerintah Kotapraja Jakarta, Wilopo mendapat tugas menyiapkan perangkat untuk pembacaan naskah proklamasi di Pegangsaan Timur.

Ketika pasukan sekutu yang diboncengi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration) tiba di Jakarta, Wilopo menjabat sebagai Wakil Ketua Barisan Pelopor, yang fungsinya sama dengan jabatannya sebagai Kantor Kepala Usaha. Selanjutnya pada periode Revolusi Kemerdekaan, Wilopo terpilih sebagai anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), sebagai wakil dari PNI (Partai Nasional Indonesia). Saat mengikuti sidang KNIP di Solo, Wilopo melihat banyak terjadi perbedaan pendapat tentang bagaimana seharusnya kemerdekaan Indonesia dipertahankan (Anonim, 1979: 45). 

Pada November 1946, Wilopo diangkat menjadi Kepala Bagian Perburuhan yang kemudian menjadi Jawatan Perburuhan. Pada saat terjadi peristiwa Agresi Belanda I, banyak pemimpin republik ditahan oleh Belanda karena mereka lebih memilih berpihak kepada Republik Indonesia. Wilopo termasuk salah satu diantaranya (ia ditahan sekitar dua tahun) (S. Lev 2008: 18-19). .Ketika peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 sedang berlangsung, Wilopo dipindahkan ke penjara Wirogunan, Mergangsan Yogyakarta. Wilopo dan para tahanan lainnya dibebaskan setelah penandatanganan perjanjian Roem-Royen, dan Wilopo kemudian aktif kembali di jabatan sebelumnya.

Setelah peristiwa penyerahan kedaulatan oleh Pemerintah Belanda melalui KMB (Konferensi Meja Bundar) pada 27 Desember 1949, Wilopo menjadi Menteri Perburuhan dalam Kabinet Hatta yang menjalankan pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat). Namun usia kabinet ini tidak lama karena bentuk negara kembali kepada format negara kesatuan sejak 16 Agustus 1950. Wilopo kemudian bergabung dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) dan menjabat sebagai Ketua I DPP (Dewan Perimbangan Partai).

Pada 16 Maret 1952 Wilopo diangkat sebagai  perdana menteri dengan dukungan dari PNI dan Masyumi. Karena situasi politik pada saat itu, Kabinet Wilopo baru disahkan oleh Presiden Sukarno pada 6 April 1952. Susunan kabinet ini terdiri atas: PNI dan Masyumi masing-masing empaat orang; PSI 2 orang; PKRI, Parkindo, Parindra, Partai Buruh, dan PSII masing-masing 1 orang; dan mereka yang bukan dari partai politik berjumlah 3 orang (Purdey, 2014: 126).

Selama menjabat sebagai perdana menteri, Wilopo melakukan berbagai program, antara lain melanjutkan program Kabinet Sukiman untuk menstabilkan harga beras. Selain itu juga diusahakan menghapus pajak ekspor dan menaikkan pajak impor demi keseimbangan neraca pembayaran. Kabinet Wilopo juga meyakini bahwa  kemajuan impor Indonesia bisa dicapai jika ada hubungan yang baik antara importir, grosir, pedagang menengah, dan pedagang eceran. Untuk mendukung hubungan antara kegiatan ekspor-impor yang lebih baik, Kabinet Wilopo melihat bahwa koperasi adalah cara terbaik. Bidang industri juga mulai mendapat prioritas pada masa ini, terbukti dengan pembangunan pabrik semen di Gresik, dan pabrik pemintalan benang di Cilacap.

Latar belakang Wilopo sebagai mantan Menteri Perburuhan sewaktu Kabinet RIS, mendapat sambutan positif dari partai berhaluan kiri, karena dulu Wilopo mampu menyelesaikan kasus pemogokan buruh di Sumatera Timur, sehingga banyak serikat buruh yang mendukung pemerintah, dibandingkan pada masa kabinet sebelumnya. Kabinet Wilopo juga melakukan program yang dikenal sebagai austerity program, yang membatalkan kenaikan pendapatan para menteri dan pejabat tinggi lainnya. Ia juga memperkenalkan pembentukan RAPBN yang perlu mendapat persetujuan parlemen (Purdey, 2014: 160).

Wilopo juga dikenang sebagai perdana menteri dengan ‘politik beras’. Dalam kebijakannya dia selalu mengutamakan agar harga beras di masyarakat selalu stabil, karena beras adalah bahan makanan yang paling penting. Untuk itu ditempuh kebijakan impor dan ekspor yang berimbang, selain juga menerapkan leveringscontract, yang membeli beras dari penggilingan. Sistem ini akan menjadi UBM (Urusan Bahan Makanan), yang menjadi cikal bakal BULOG (Badan Urusan Logistik).

Kabinet Wilopo pada akhirnya harus menyerahkan mandat setelah peristiwa Tanjung Morawa pada 16 Maret 1953. Peristiwa tersebut bermula ketika pemerintah berusaha untuk memindahkan para penggarap tanah liar di bekas perkebunan milik DPV (Deli Planters Vereniging). Usaha itu mendapat penolakan dari para penggarap dengan dukungan dari BTI (Barisan Tani Indonesia). Dalam aksi penolakan pengosongan lahan tersebut terjadi bentrok yang mengakibatkan korban meninggal dan luka-luka. Setelah peristiwa ini, Sarekat Tani Indonesia (SAKTI) memberikan mosi yang dikenal sebagai Sidik Kertapati. Isinya adalah menghentikan usaha pengosongan tanah di Tanjung Morawa dan membebaskan para tahanan yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Mosi ini mendapat dukungan dari PNI Sumatera Utara yang mengancam untuk menarik diri dari PNI Pusat. Karena tekanan tersebut, Wilopo tidak mendapat kepercayaan dari parlemen, dan akhirnya menyerahkan mandat pada 30 Juli 1953 (Feith, 2009: 110-120).

Setelah tidak lagi menjabat sebagai perdana menteri, Wilopo masih aktif sebagai Ketua Konstituante (1955-1959) dan Ketua Dewan Pertimbangan Agung (1968-1978). Wilopo meninggal dunia pada 20 Januari 1981 dalam usia 72 tahun dan dimakamkan di Jakarta.

Penulis: Nugroho Bayu Wijanarko


Referensi

Abdullah, Taufik (ed.). (2012a). Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid 5:Masa Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.

Abdullah, Taufik (ed.) (2012b). Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid 7: Pascarevolusi. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.

Anonim. (1979). Wilopo 70 Tahun. Jakarta: Gunung Agung.

Feith, Herb. (2009). The Wilopo Cabinet 1952-1953. Jakarta: Equinox Publisher.

Kahin, George Mc Turnan. (1995). Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surakarta: UNS Press.

Lev, Daniel S. (2008). Menjadikan Indonesia: Dari Membangun Bangsa Menjadi Membangun Kekuasaan. Jakarta: Hasta Mitra.

Purdey, Jemma. (2014). Dari Wina Ke Yogyakarta: Kisah Hidup Herb Feith. Jakarta: KPG.

Ricklefs, M.C. (2011). Sejarah Indonesia Modern, 1300-2008. Jakarta: Serambi.

Soebagijo, I.N. 1982). “Wilopo, Nagarawan yang Djatmika dan Bersahaja”, dalam Prisma No. 4 Tahun XI.