Tentara Panembahan Senopati

From Ensiklopedia

Tentara Panembahan Senopati merujuk pada kesatuan tentara keamanan rakyat yang berkedudukan di Surakarta. Pasukan ini kontroversial di dalam sejarah militer Indonesia sebab kedekatannya dengan kelompok-kelompok kiri dan keterlibatannya pada konflik-konflik terbuka dengan Divisi Siliwangi ketika pasukan asal Jawa Barat ini berhijrah ke Jawa Tengah. Selain itu, pasukan ini secara terbuka menolak kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi (dikenal dengan Re-Ra) yang bertujuan untuk merampingkan militer pada tahun 1948.

Pasukan Panembahan Senopati tidak dapat dilepaskan dari kepemimpinan Jenderal Mayor Soetarto. Perwira yang banyak berperan dalam perang kemerdekaan di daerah Solo ini memiliki kedekatan dengan setidaknya dua pasukan, Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Popularitas ini membuat Soetarto terpilih sebagai komandan Divisi X TKR yang berperan sebagai penguasa militer atas Kota Solo (Dinas Sejarah Militer, 1968: 136).

Ketika TKR menjelma menjadi TNI pada 1947, Divisi X TKR digabungkan dengan Divisi IV dan membentuk pasukan yang bernama Divisi IV Panembahan Senopati. Dalam hal kepemimpinan, divisi ini masih dijabat oleh Jenderal Mayor Soetarto. Namun, secara cakupan wilayah, Divisi Panembahan Senopati tidak hanya mencakup Kota Solo melainkan mengalami perluasan ke Semarang dan Pacitan. Pada masa TKR, Kota Semarang berada di bawah komando Divisi IV di bawah kepemimpinan Kolonel G.P.H. Djatikusumo, sementara itu Pacitan belum dikendalikan oleh satuan militer di Jawa Tengah (Ibrahim 2018: 88).

Pada tahun 1948, Kabinet Mohammad Hatta mengajukan suatu kebijakan yang kontroversial di kalangan tentara, reorganisasi dan rasionalisasi (Re-Ra) yang pada prinsipnya bermaksud untuk menemukan bentuk ideal dari angkatan bersenjata. Dalam banyak hal, kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi jumlah pasukan reguler atau merampingkan organisasi militer. Divisi IV Panembahan Senopati adalah salah satu target Re-Ra yang merespons dengan penolakan keras. Secara jumlah, prajurit yang bergerak di bawah divisi ini memang tidak sedikit, 5000 orang yang separuhnya terdiri dari anggota TLRI. Sebagai bentuk penolakan, Divisi IV Panembahan Senopati mengubah nama menjadi Komando Pertempuran Panembahan Senopati (KPPS) dan tidak lagi menggunakan istilah “divisi” dalam rangka melepaskan diri dari organisasi tentara nasional. Komposisi dari KPPS masihlah sama dengan Divisi IV Panembahan Senopati yang mayoritas terdiri dari TLRI dan Pesindo (Dinas Sejarah Militer, 1968: 136-137).

Sikap menolak ini diperparah dengan kenyataan bahwa “Panembagan Senopati” harus berbagi kota utama kedudukannya, Solo, dengan Pasukan Siliwangi yang diperintahkan untuk meninggalkan Jawa Barat. Kota Solo tidak terlalu besar, dan karena itu gesekan antara kedua pasukan tersebut tidak terhindarkan, yang terkulminasi pada menghilangnya beberapa perwira yang berafiliasi dengan KPPS atau ex-Divisi IV Panembahan Senopati seperti Mayor Esmara Sugeng, Kapten Sutarto, Kapten Sapardi, Kapten Suradi, dan Letnan Mulyono (Poeze 2011: 110).

KPPS menduga keras bahwa Siliwangi adalah pelaku utama  aksi penghilangan ini. Sikap saling menuding ini berujung pada terciptanya friksi antara dua organisasi bersenjata tersebut sehingga  menciptakan situasi yang mencekam di kota itu. Kondisi mencekam tersebut mencapai puncaknya ketika Sutarto, komandan Panembahan Senopati, yang sebelumnya dinonaktifkan atas alasan Re-Ra terbunuh secara misterius. Pasukan Panembahan Senopati makin percaya bahwa pelaku segala penculikan tersebut adalah Pasukan Siliwangi. Namun, segala ketegangan di kota Solo berhasil diredakan oleh Letnan Kolonel Suadi (Gie 2005: 236).

Keterlibatan beberapa anggota KPPS dalam Peristiwa Madiun 1948 membuat Jakarta bulat tekad untuk mengakhiri segala sepak terjang dari pasukan ini. Pasukan militer loyalis republik percaya bahwa KPPS memiliki hubungan yang dekat dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang beroperasi pada tahun 1948. Namun, belum ada bukti yang absah terkait tuduhan ini. Selain itu, tak semua anggota KPPS dianggap sebagai pembangkang, salah satunya adalah Letnan Kolonel Suadi yang membantu proses penyelesaian masalah sebagaimana dijelaskan di atas.

Penulis: Satrio Dwicahyo
Instansi: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Dinas Sejarah Militer TNI-AD. Sedjarah TNI-AD Kodam

VII/Diponegoro. Semarang: Jajasan Penerbit Diponegoro, 1968.

Julianto Ibrahum. Dinamika sosial dan politik masa revolusi

Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014.

Poeze, Harry A.. Madiun, 1948: PKI bergerak. Indonesia: KITLV-Jakarta, 2011.

Soe Hok Gie. Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan. Jakarta: MMU, 2005.