Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK)

From Ensiklopedia

Di Indonesia, istilah Tionghoa sering kali dipergunakan untuk menyebut mereka yang berasal dari negeri Cina/Tiongkok maupun para keturunannya (Nio Joe Lan 1961: 34). Orang-orang Tionghoa ini sejatinya merupakan para emigran yang berasal dari daratan Cina, tercatat berasal dari propinsi Fukien dan Kwantung, yang memulai migrasi mereka ke Indonesia seiring dengan melesatnya gairah perdagangan sejak awal abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-19. Dalam migrasi ini, terdapat empat suku bangsa Tionghoa yang tersebar di segala penjuru Indonesia, yakni Hokkien, Hakka, Teo-Chiu dan Kwongfu/Kanton. Seiring dengan berjalannya waktu terdapat penyesuaian dan akulturasi budaya di antara para emigran Tiongkok dengan masyarakat pribumi, yang kemudian menciptakan komunitas orang-orang Tionghoa peranakan sebagai konsekuensi peleburan berbagai macam budaya.

Memasuki era kolonial Belanda, masyarakat Hindia Belanda  diklasifikasi ke dalam secara hirarkis, yaitu orang Eropa yang menempati golongan teratas, orang Tionghoa/Timur Asing (Vreemde Osterlingen) dan pribumi (Inlanders). Dengan klasifikasi rasial ini tentu memicu diskriminasi di antara golongan masyarakat, demikian halnya dengan kaum Tionghoa peranakan yang turut pula merasakan dampak dari kondisi tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena kaum Tionghoa peranakan biasanya memiliki darah pribumi yang diturunkan melalui garis keturunan perempuan (ibu) dan menempuh cara hidup yang sedikit mirip dengan pribumi, seperti lelakinya memakai theng-sha (baju panjang Cina), perempuannya menggunakan kebaya serta berbahasa dengan bahasa setempat (Suryadinata 1985: 21). Hingga masa Politik Etis (1901), diskriminasi, keluhan, serta ketidakpercyaan kaum Tionghoa terhadap pemerintah Hindia Belanda semakin memuncak tatkala mereka, kaum Tionghoa, merasakan efek krisis ekonomi, yang dalam hal ini sekaligus menandai sebuah babak baru bagi kehidupan mereka. Sayup-sayup pembicaraan mengenai nasionalisme Cina mulai terdengar di kalangan kaum Tionghoa peranakan, sehingga membuat mereka berpikir ulang tentang identitas mereka.

Pada 23 Februari 1901, segelintir kaum Tionghoa di Batavia mendirikan sebuah organisasi atau perkumpulan yang diberi nama Tiong Hoa Hwee Kwan (Nio Joe Lan 1940: 19). Dapat dikatakan, THHK merupakan organisasi pergerakan pertama yang didirikan oleh kaum Tionghoa yang diarahkan pada visi kebudayaan, pendidikan serta politik. Dalam aktifitasnya, THHK mendirikan sekolah-sekolah dengan bahasa Cina sebagai pengantar serta kurikulum yang berorientasi ke arah nasionalisme Cina. Dengan waktu singkat, sekolah-sekolah THHK mendapat atensi yang cukup besar di kalangan kaum Tionghoa yang berbondong-bondong mengirimkan anak-anaknya untuk menempuh pendidikan di sana. Antusiasme kaum Tionghoa terhadap berdirinya THHK ini kemudian diikuti oleh kemunculan surat kabar-surat kabar berbahasa Melayu-Tionghoa, misalnya Li Po (1901) di Sukabumi, Chabar Perniagaan (1903) di Batavia, dan Djawa Tengah (1909) di Semarang.

Dengan berdirinya THHK, perubahan telah terjadi pada kaum Tionghoa. Beberapa cabang THHK berdiri di luar Batavia dalam kurun waktu yang sangat singkat, dan solidaritas Pan-Cina Raya mulai membumi di Pulau Jawa. Perkembangan ini tentu mendapat respon buruk dari pemerintah Hindia Belanda, lantaran nasionalisme Cina dianggap akan membahayakan jalannya pemerintahan dan akan sangat mungkin jika sewaktu-waktu dapat memicu gejolak politik dalam negeri. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan Hollandsce Chineese School (HCS) di Batavia sebagai jawaban atas kondisi tersebut (Regenering Alamanak 1930). Sekolah tersebut merupakan sekolah resmi, memiliki kurikulum yang sejalan dengan peraturan, berbahasa Belanda sebagai pengantar, serta tentu menawarkan jenjang karier yang cukup bagi para lulusan untuk dipromosikan sebagai aparatur pemerintahan. Dengan demikian, cukup sulit bagi kaum Tionghoa untuk memilih sekolah mana yang mereka sukai, sedang telah kita sadari bahwa kaum Tionghoa juga memilki latar suku bangsa yang berbeda, yang kemudian memunculkan respon berbeda setiap dari mereka.

Di tengah kondisi ini, terdapat hal menarik yang patut diperhitungkan. Bahwa, ternyata tidak semua kaum Tionghoa tertarik dengan apa yang ditawarkan THHK. Penggunaan bahasa Cina sebagai pengantar, lebih khususnya ialah bukan bahasa Hokkian atau bahasa Cina daerah lainnya, memunculkan kesan pengingkaran terhadap ajaran-ajaran leluhur dan bertentangan dengan upaya pelestarian budaya. Sistem kurikulum yang modern, serta mengajarkan nasionalisme yang memberikan kesan baru dan vulgar tentunya juga dianggap tidak berkesesuaian dengan tradisi pendidikan klasik Kekaisaran Cina. Juga terlebih pada akses pendidikan THHK yang dibuka untuk para perempuan, dianggap tidak sesuai dengan etika yang memberi pesan pada kita bahwa selayaknya orang pribumi pada masa itu, kaum Tionghoa juga mengamini sistem patriarki (Suhandinata 2009: 8).

Meskipun begitu, pendirian sekolah oleh THHK tetap menjadi senjata utama bagi kaum Tionghoa. Terlebih sebagai senjata untuk memperjuangkan hak-hak mereka, baik dalam sektor ekonomi, politik dan budaya. Dengan menawarkan cara pandang baru (nasionalisme) untuk melihat realitas yang mereka jalani sehari-hari, membuat peminat sekolah THHK, khususnya para kaum Tionghoa sendiri, menjadi semakin besar. Hal ini tentu terlihat pada banyaknya kaum Tionghoa yang bersekolah di THHK dan menyebabkan beberapa sekolah Tionghoa lama gulung tikar. Sebagai contoh ialah sekolah Tionghoa Gie Ook yang telah berdiri sebelum abad ke-20 ditutup pada 1904 karena menganut tradisi pembelajaran yang dianggap kuno (Liem Tian Joe 2004: 210). Fakta tersebut tentu menjadi bukti di mana semangat perubahan kaum Tionghoa melihat geliat zaman modern semakin kentara di sektor pendidikan.

Dengan membangun sekolah-sekolah, THHK mampu mengambil banyak simpati kaum Tionghoa, bukan hanya dalam negeri melainkan mereka yang ada di negeri induk turut mengapresiasi prestasi tersebut. Berbagai bantuan dana rupanya mengalir dari kelompok-kelompok revolusioner Cina yang dipimpin Dr. Sun Yat Sen. Bahkan, Kaisar Dinasti Qing tercatat juga mengucurkan sejumlah dana bantuan untuk perkembangan sekolah-sekolah THHK. Khusus para pendukung Dr. Sun Yat Sen, mereka sempat datang ke Hindia Belanda untuk menjadi tenaga pendidik di sekolah-sekolah THHK. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa kaum Tionghoa yang berada di Hindia Belanda merupakan bagian dari rakyat Cina yang harus disejahterakan juga. Namun, yang perlu digaris bawahi di sini, meski pembangunan sekolah-sekolah THHK mendapatkan atensi yang cukup beragam dan tentu merupakan titik kulminasi mereka terhadap tatanan kolonialisme yang diskriminatif, pada periode ini fokus perhatian THHK belum mengarah pada upaya perjuangan untuk meraih kemerdekaan.

Tepatnya setelah kabar peristiwa revolusi Xinhai di negeri Cina pada 1911 sampai di Jawa, orientasi THHK mulai mengarahkan fokus perhatiannya pada upaya-upaya pembaharuan dan pembebasan yang bersifat anti-kolonial. Pada 1913, sekumpulan siswa THHK mendirikan perkumpulan Hsiao You Hui yang sejurus dengan waktu berubah menjadi organisasi kepemudaan yang berganti nama menjadi Hua Chiao Tsing Nien Hui pada 1929. Dari organisasi inilah tumbuh bibit-bibit nasionalisme yang kian gencar melawan praktik dominasi kolonialisme. Pada fase ini muncul pula beragam surat kabar seperti Sinar Djawa, Djawa Tengah, Keng Po dan Sin Po yang meski masih mengarahkan perhatian pada situasi di negeri Cina, namun tetap arah dan tujuannya ialah menentang kolonialisme.

Seiring dengan perkembangan waktu, tepatnya pada 1934, seseorang bernama Kwee Hing Tjat mendirikan surat kabar bernama Matahari di Semarang. Ia dengan terang mengatakan berjanji akan setia dan membela tanah air Indonesia (Yahya 2003: 16). Sudah barang tentu, banyak dari kaum Tonghoa yang mencibir sumpahnya itu, meski tidak sedikit pula dari mereka bersepakat dengannya. Sumpah setianya ini menandakan gejolak zaman orientasi perjuangan kaum Tionghoa yang mulai menemukan bentuknya; mereka tengah gencar membicarakan nasionalisme dalam bentuk yang lebih utuh, yakni Indonesia.

Selain itu, pendirian Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 25 September 1932, yang diprakarsai oleh Liem Koen Hian telah mengidentifikasikan dirinya sebagai rakyat Indonesia sehingga sudah sepatutnya mereka mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Partai tersebut juga berseru agar masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda mendukung gerakan-gerakan nasionalisme Indonesia dalam agenda-agenda untuk memperoleh kemerdekaan melalui cita-cita konstitusional (Soyomukti 2012: 146).

Dengan demikian, berdirinya THHK yang pada awalnya sebenarnya merupakan usaha untuk men-totokkan kembali kaum Tionghoa peranakan layaknya menjadi isyarat bagi perkembangan gagasan nasionalisme Tionghoa peranakan itu sendiri. Bahkan, ketika gelombang nasionalisme Indonesia sedang mengalami fase pasang, tidak sedikit dari mereka, kaum Tionghoa peranakan, mulai berorientasi dan mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari Indonesia dan berkontribusi pada usaha-usaha kemerdekaan.

Penulis: Satrio  priyo utomo


Referensi

Arsip

“Regeerings Alamanak 1930”, Arsip Nasional Republik Indonesia.


Buku

Joe Lan, Nio. (1940). Riwajat 40 Taon dari Tiong Hoa Hwee Kwan Batavia. Batavia: Tiong Hoa Hwee Kwan.

______(1961). Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Keng Po.

Setiono, Benny G. (2003). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa.

Soyomukti, Nuraini. (2012). Sukarno dan Tionghoa. Yogyakarta: Garasi.

Suhandinata, Justian. (2009). WNI Keturunan Tionghoa Dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Suryadinata, Leo. (1986). Politik Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tian Joe, Liem. (2004). Riwayat Semarang. Jakarta: Hata Wahana.

Yahya, Yunus. (2003). Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok Sampai Teguh Karya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.