Liem Koen Hian

From Ensiklopedia

Liem Koen Hian (1897-1952) adalah seorang jurnalis berlatar belakang Tionghoa Peranakan yang mendirikan Partai Tionghoa Indonesia atau PTI (1929-1942). Saat itu orientasi politik kaum Tionghoa Peranakan di Hindia Belanda terbagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan Sin Po yang berorientasi kepada pergerakan nasionalisme di Tiongkok, golongan Chung Hua Hui yang berorientasi kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, dan golongan Partai Tionghoa Indonesia yang berorientasi kepada pergerakan nasionalisme Indonesia (Liem dalam Suryadinata, 2005: 88-94). Liem mendukung konsep mengenai Indonesierschap atau Kewarganegaraan Indonesia yang menyatakan bahwa kewarganegaraan dan kebangsaan tidak berdasarkan warna kulit saja sehingga Tionghoa Peranakan bisa menjadi warga negara Indonesia. Konsep ini agak sulit diterima saat itu mengingat sistem sosial Hindia Belanda yang membelah tiga penduduk, yaitu golongan Eropa, Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) dan Bumiputra. Meski selalu mendukung nasionalisme Indonesia, Liem dan Partai Tionghoa Indonesia mengkritik Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang menjadikan PTI anggota luar biasa (Suryadinata, 1994: 151-152). Saat Gerindo membuka keanggotaannya untuk kaum Tionghoa Peranakan, Liem keluar dari PTI dan bergabung dengan organisasi itu (Suryadinata, 1977: 63). Pada masa Revolusi Kemerdekaan, Liem berbisnis obat-obatan dan apotek. Namun, Liem yang dinilai kiri pun ditahan oleh Kabinet Soekiman sebab kekhawatiran pemberontakan komunis lanjutan setelah peristiwa Madiun 1948. Penangkapan ini membuat sakit yang dideritanya bertambah parah dan membuatnya kecewa terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Setelah dibebaskan pada 29 Oktober 1951, Liem menolak kewarganegaraan Indonesia yang dulu diperjuangkannya. Ia memilih kewarganegaraan Tiongkok karena kekecewaannya pada negeri yang ia impikan. Liem meninggal di Medan pada 5 November 1952 sebagai orang asing di Indonesia merdeka (Suryadinata, 1977: 69).        

Liem Koen Hian dilahirkan di Banjarmasin tahun 1897 dari keluarga pengusaha Tionghoa Peranakan. Liem merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara. Meski tidak menamatkan pendidikannya di sekolah Eropa di kota itu, ia memiliki bekal keahlian untuk bekerja sebagai seorang juru tulis di Shell Oil Company, Balikpapan. Namun, Liem lebih tertarik untuk menjadi jurnalis yang membuatnya kembali ke Banjarmasin dan memulai karir medianya di surat kabar Penimbangan. Saat Perang Dunia I meletus, ia berlayar ke Surabaya untuk bekerja sebagai jurnalis di Tjhoen Tjhioe. Tak lama di surat kabar tersebut, ia pun membuat surat kabar mingguannya sendiri yang bernama Soo Lim Poo tahun 1917. Namun, surat kabar tersebut juga tidak berumur panjang. Liem kemudian memimpin surat kabar Sinar Sumatra di Padang tahun 1918 (Suryadinata, 1994: 132).

Ia kembali ke Surabaya pada bulan November 1921 untuk memenuhi undangan The Kian Sing untuk memimpin surat kabar Pewarta Soerabaia. Tahun 1925 ia keluar dari surat kabar tersebut dan menjadi pemimpin redaksi Soeara Publiek. Tak lama juga di Soeara Publiek, Liem merintis surat kabarnya sendiri yang bernama Sin Jit Po. Namun, surat kabar ini mengalami masalah keuangan yang serius sehingga membuatnya harus ditutup. Liem kemudian membuka sebuah surat kabar baru yang mulai terbit tanggal 2 Desember 1929, yaitu Sin Tit Po. Tahun 1933, Liem meninggalkan Sin Tit Po untuk belajar Ilmu Hukum. Namun, ia tetap aktif menulis untuk surat kabar Siang Po (Suryadinata, 1977: 60-61).      

Mulanya Liem memiliki orientasi politik kepada Tiongkok. Namun, ada beberapa faktor yang mengubah pendiriannya ini. Pertama, ketegangan yang terjadi pasca-pemberontakan Komunis tahun 1926/27 telah mengakibatkan Liem harus memikirkan bahwa kaum Tionghoa Peranakan harus memiliki pilihan di tengah konflik antara Pemerintah Kolonial dan kaum Bumiputra. Kedua, Pemerintah Kolonial juga menjanjikan pemerintahan sendiri bagi rakyat Hindia Belanda sehingga kaum Tionghoa Peranakan harus mempersiapkan diri untuk berpartisipasi jika hal ini dapat diwujudkan. Ketiga, gagasan-gagasan kaum nasionalis Indonesia, seperti dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, mengenai sebuah bangsa (nation) Hindia Belanda yang terdiri dari beragam etnik, suku bangsa, dan agama. Selama mereka menganggap Indonesia sebagai tanah airnya, maka ia berhak atas kebangsaan itu (Suryadinata, 1994: 133).

Gagasan-gagasan Liem ini semakin menguat saat ia memimpin Soeara Publiek. Konsepsi-konsepsinya mengenai kewarganegaraan Indonesia semakin banyak diutarakan dalam tulisan-tulisannya selanjutnya di Sin Jit Po dan Sin Tit Po. Bahkan, Liem kemudian membangun Partai Tionghoa Indonesia (PTI) untuk mengemukakan gagasan-gagasan tersebut di Volksraad (Dewan Rakyat). Dengan dukungan Persatoean Bangsa Indonesia (PBI) dan organisasi-organisasi nasionalis lainnya, pada 25 Desember 1932 Liem, Ong Liang Kok, dan beberapa pemuka Tionghoa Peranakan meresmikan PTI (Suryadinata, 1994: 86-87). Pada pemilihan anggota volksraad tahun 1935, Liem berkampanye untuk Ko Kwat Tiong, salah satu pemimpin PTI. Pada pemilihan tersebut, PTI berhasil mengalahkan dominasi Chung Hwa Hui yang selama ini mewakili kaum Tionghoa Peranakan di Volksraad.

Pandangan-pandangan Liem mengenai nasionalisme Indonesia semakin radikal saat ia berinteraksi dengan Mohammad Yamin, Sanoesi Pane, dan Amir Sjarifuddin. Mereka bekerja sama menerbitkan sebuah surat kabar bernama Kebangoenan yang dicetak pada percetakan yang memproduksi surat kabar Siang Po (Suryadinata, 1977: 61). Inilah yang menyebabkannya berpolemik dengan dr. Soetomo yang memuji kemajuan Jepang. Liem yakin bahwa imperialisme Jepang menyerang Tiongkok karena negeri tersebut membutuhkan bahan baku dan pasar untuk industri dan kapitalismenya. Namun, dr. Soetomo membantah Liem dengan mengatakan bahwa Liem membela Tiongkok karena latar belakangnya sebagai seorang Tionghoa Peranakan. Polemik ini berakhir saat Tjipto Mangoenkoesoemo menengahi dan mengatakan bahwa Liem merupakan seorang Indonesia dengan atau tanpa peci (kopiah) (Suryadinata, 1994: 162).

Liem menjadi semakin kiri dan bersimpati pada Partai Komunis Tiongkok. Ia berselisih paham dengan Ko Kwat Tiong yang merupakan wakil PTI di volksraad. Perpecahan ini semakin tajam saat pemilihan anggota volksraad tahun 1938 yang menominasikan Liem sebagai calon anggota Volksraad dari PTI. Sedangkan, Ko yang merupakan Ketua Biro Pusat PTI dikeluarkan dari PTI dan harus maju sebagai kandidat independen yang disokong oleh asosiasi perusahaan rokok (Suryadinata, 1994: 136-137). Ini dikarenakan kakak Ko, yaitu Ko Kwat Ie, merupakan pemilik pabrik cerutu terkenal Ko Kwat Ie & Zonen. Pemilihan berakhir dengan kekalahan PTI yang tidak mendapatkan satu kursi pun di volksraad. Sama dengan Ko Kwat Tiong yang juga gagal mendapatkan kursi.

Pada tahun 1939, sebuah organisasi nasionalis, Gerindo, membuka dirinya untuk keanggotaan Tionghoa Peranakan. Liem langsung bergabung dengan organisasi tersebut, namun ia tetap menjaga hubungan baik dengan PTI hingga partai tersebut dibubarkan Jepang. Saat Hindia Belanda menjelang perang dengan Jepang, Liem selalu mengkritik imperialisme Jepang. Tak heran saat Jepang datang, Liem dijebloskan ke penjara. Namun, atas jasa orang yang disebut sebagai Nyonya Honda, Liem dibebaskan. Ia pun bekerja sebagai asisten dari Toyoshima, Kepala Seksi untuk Urusan Tionghoa dari Konsulat Jepang di Jakarta. Pekerjaan ini membuatnya bisa berkeliling Jawa dan bertemu dengan banyak komunitas Tionghoa Peranakan. Perubahan sikap Liem yang akhirnya bekerja sama dengan Jepang ini menimbulkan banyak pertanyaan. Kemungkinan Liem ingin menyelamatkan komunitas Tionghoa Peranakan dari kejamnya penjajahan Jepang di Indonesia (Suryadinata, 1977: 63). Liem juga ditunjuk sebagai anggota dari Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam Badan yang dipimpin oleh Ir. Sukarno dan Mohammad Hatta itu, Liem kembali mengemukakan ide-idenya mengenai Tionghoa Peranakan adalah bagian yang tak terpisahkan dari rakyat Indonesia.  

Setelah kemerdekaan Indonesia, ketegangan rasial antara kaum Bumiputra dengan kaum Tionghoa Peranakan meningkat. Banyak kaum Tionghoa Peranakan yang menjadi korban kerusuhan rasial dalam revolusi kemerdekaan. Namun, Liem dan para tokoh nasionalis berkeyakinan hal tersebut sengaja dibuat oleh Belanda. Kedekatan politiknya dengan Amir Sjarifuddin membuatnya masuk menjadi salah satu delegasi Indonesia dalam perjanjian Renville tahun 1947. Namun, pada saat Peristiwa Madiun meletus tahun 1948, Liem tidak terlibat di dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR). Yang jelas simpati Liem pada perkembangan Partai Komunis Tiongkok terlihat saat ia menerjemahkan tulisan Gunther Stein yang berjudul “The Challenge of Red China” atau “Chungkin dan Yenan” dalam bahasa Indonesia. Saat Republik Rakyat Tiongkok diproklamasikan 1 Oktober 1949 dan kemudian menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia, Liem mengapresiasi hubungan tersebut dengan membuat sebuah tulisan di surat kabar Sin Po (Suryadinata, 1977: 66). Meski dikritik sebagai pro-Peking, Liem tak bergeming.

Munculnya Republik Rakyat Tiongkok dikhawatirkan akan menginspirasi golongan kiri untuk melakukan kudeta kembali. Oleh karenanya, kabinet Soekirman menangkap tokoh-tokoh yang dianggap komunis dan Liem termasuk salah satunya. Ia ditahan pada 16 Agustus 1951 dalam kondisi kurang sehat dan berada di penjara membuat kesehatannya terus memburuk. Meski telah menghubungi beberapa tokoh nasionalis yang dikenalnya, Liem tak kunjung dibebaskan. Hal inilah yang menyebabkan kekecewaannya kepada epublik. Setelah dibebaskan, Liem menolak kewarganegaraan Indonesia yang ditawarkan kepadanya. Ia lebih memilih menjadi warga negara Republik Rakyat Tiongkok yang saat itu baru berdiri. Ia pun meninggalkan arena politik dan menjadi seorang pengusaha yang berbisnis obat-obatan dan apotek. Saat membuka cabang apoteknya di Medan, Liem meninggal karena serangan jantung pada tanggal 5 November 1952 (Suryadinata, 1977: 69). Meski Liem berkeinginan dimakamkan di Jakarta, namun keluarga memutuskan bahwa ia dimakamkan di Medan.

Penulis: Haryo Mojopahit
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Suryadinata, Leo. (1977) “The search for national identity of an Indonesian Chinese: A political biography of Liem Koen Hian. Archipel, 14, 43-70. https://doi.org/10.3406/arch.1977.1357

Suryadinata, Leo. (1994). Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Suryadinata, Leo. (2005). Pemikiran politik etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002. Jakarta: LP3ES.