Tjahaja Timoer

From Ensiklopedia


Tjahaja Timoer adalah surat kabar Melayu pertama yang terbit di Malang pada tahun 1907 dan didirikan oleh perusahaan penerbitan Cina Peranakan bernama Sneepers dan Stendrukkkerij Kwee atau Kwee Khaij Khee. Tjahaja Timoer terbit hampir bersamaan dengan surat kabar Medan Prijaji yang didirikan Tirto Adhi Suryo. Tjahaja Timoer terbit setiap senin, rabu dan jumat kecuali hari besar. Surat kabar yang berkantor di Regent-Straat dan Pasar Kidul ini berhasil terbit secara kontinyu dari tahun 1907 hingga 1942 (Yamamoto 2019: 85).

Pada tahun 1916, redaktur Tjahaja Timoer adalah W.A Kailola seorang mantan editor surat kabar Perniagaan (Bataviaasch Nieuwsblad, 28 Juli 1916). Pada 1927, tercatat bahwa surat kabar ini dipimpin oleh Th. K. Kwee (Yamamoto 2019: 86). Harga tarif langganan Tjahaja Timoer selama tiga bulan sebesar 2 gulden, sedangkan bagi pelanggan di luar negeri sebesar 2,50 gulden. Jika ingin berlangganan minimal selama tiga bulan harus dibayar dimuka. Selain itu pemasukan surat kabar ini utamanya dari iklan yang ditentukan sebesar 25 sen untuk satu hingga lima kata dengan waktu muat satu kali, sedangkan untuk satu iklan dibanderol seharga minimal satu gulden dengan pembayaran dimuka (Tjahaja Timoer, 3 Desember 1917).

Iklan yang ditampilkan dalam Tjahaja Timoer umumnya bervariasi mulai dari kacamata, tukang gigi, asuransi jiwa, fotografer, pusat pengobatan, penjualan mobil, emas, hingga batik. Beberapa nama yang kerap mengisi iklan adalah pengusaha besar pada masanya di antaranya adalah Tio Ping Gwan, Tjwan Hoo Hien, dan No Ping Djan. Iklan-iklan inilah yang menyebabkan Tjahaja Timoer dapat tersebar luas hingga ke pelosok-pelosok timur Jawa khususnya di kota Malang (Rahzen dkk. 2007: 46-47).

Selain itu, topik-topik berita dalam Tjahaja Timoer sangat beragam dan membahas seputar perkembangan sosial-ekonomi masyarakat dan budaya di Kota Malang. Seperti sorotan Tjahaja Timoer pada tahun 1916 terhadap tingkah laku para priyayi mulai dari kegemaran berjudi hingga rasa ketidakpedulian mereka terhadap rakyat kecil serta bagaimana mereka melarang anak-anak sekolah memakai sepatu (Tjahaja Timoer, 20 Desember 1916). Etnis cina pun tidak luput dari sasaran kritik Tjahaja Timoer. Dalam artikel berjudul “Omong-omong hari Senen”, orang cina digambarkan sebagai “bangsa yang tanggung” dan telah masuk jebakan pemerintah karena lebih suka pendidikan Belanda dibandingkan sekolah mereka sendiri (Tjahaja Timoer, 3 Desember 1917).

Tjahaja Timoer juga menyoroti bagaimana perkebunan kopi berkontribusi pada perkembangan kota Malang yang sangat mengandalkan produktivitas di bidang perkebunan. Surat kabar itu menulis “Dari hari ke hari, dari pagi hingga sore cikar bermuatan kopi dari desa beserta pemiliknya datang tidak henti-hentinya” (Tjahaja Timoer, 29 Juli 1921). Dari sisi ekonomi, Tjahaja Timoer mengulas terjadinya perpindahan besar-besaran penduduk ke wilayah Malang yang mempengaruhi ekonomi kota itu, yakni ketika Departement van Oorlog memindahkan beberapa batalion militer dari Surabaya ke Malang (Tjahaja Timoer, 7 April 1924).

Pada tahun 1923, Tjahaja Timoer juga pernah menyuarakan mengenai penderitaan kaum pribumi yang oleh orang Eropa dianggap lebih hina dari hewan. Pasalnya, ada kasus seorang Eropa yang membiarkan anjingnya tidak terikat dan menggigit salah seorang anak pribumi dan ketika sang ayah mencoba menyelamatkan anaknya, ia malah dipukul oleh orang Eropa tersebut (Tjahaja Timoer, 2 Maret 1923). Tak hanya itu, Tjahaja Timoer juga mengecam surat kabar De Oosthoekbode yang kerap memuat pemberitaan yang miring terhadap kaum pribumi (Tjahaja Timoer, 21 Juli 1930).

Ketika depresi ekonomi (malaise) melanda Hindia Belanda, Tjahaja Timoer mengingatkan bahwa kondisi ekonomi di kota Malang terus memburuk dan banyak toko mengalami kebangkrutan. Sekitar 20 toko harus tutup dan para pedagang mengeluh karena dagangan mereka tidak laku. Tjahaja Timoer kemudian mengkritik pemerintah yang tidak juga menurunkan pajak penghasilan di tengah kondisi yang susah itu (Tjahaja Timoer, 16 April 1930).

Salah satu jurnalis Tjahaja Timoer yang termasyhur adalah R.M Bintarti, yang dikenal sebagai seorang tokoh pers Indonesia. Setelah berpindah-pindah surat kabar, ia menjadi jurnalis di Tjahaja Timoer hanya selama enam bulan sebelum kembali berpindah pekerjaan. Bintarti kelak menjadi wartawan Kantor Berita Antara dan berkontribusi dalam menyelamatkan peralatan komunikasi republik saat Inggris membombardir kota Surabaya (Soebagijo 1981: 415-417).

Penulis: Muhamad Mulki Mulyadi Noor
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Referensi

Rahzen, Taufik dkk (2007) Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007. Jakarta: Iboekoe.

Yamamoto, Nobuto (2019) Censorship in Colonial Indonesia 1901-1942. Leiden: Brill.

Soebagijo I.N. (1981) Jagad Wartawan Indonesia. Jakarta: Gunung Agung

Tjahaja Timoer, 3 Desember 1917

Tjahaja Timoer, 21 Juli 1930

Tjahaja Timoer, 16 April 1930

Tjahaja Timoer, 7 April 1924

Tjahaja Timoer, 2 Maret 1923

Tjahaja Timoer, 3 Desember 1917

Tjahaja Timoer, 29 Juli 1921

Bataviaasch Nieuwsblad, 28 Juli 1916