Vereeniging van Spoor en Tramweg Personeel (VSTP)
Vereeniging van Spoor en Tramweg Personeel (VSTP) adalah sarekat buruh pekerja kereta api. Berdiri pada 1908 dan berbasis di Semarang, VSTP pada puncak perkembangannya tahun 1925 merupakan sarekat buruh terbesar di Semarang dan salah satu yang terbesar pula di Hindia Belanda telah memiliki anggota sebanyak 1.242 (673 Eropa dan 569 Bumiputera) (Novita 2015: 4; Tricahyono, 2020). Tidak hanya itu, VSTP termasuk perkumpulan buruh yang berani menentang kondisi kerja yang buruk dengan upah rendah dan jam kerja panjang (Saptari 2013).
Orientasi dan sepak terjang VSTP menentang kapitalisme di Hindia Belanda mengemuka setelah Sneevliet pada tahun 1913 dan Semaoen pada tahun 1916 pindah ke Semarang dan aktif di organisasi ini. Kedua tokoh tersebut menjadikan paham Sosialisme dan Marxisme sebagai landasan pergerakan VSTP. Setelah Partai Komunis Indonesia (PKI) berdiri, partai ini erat kaitannya dengan sarekat-sarekat buruh di berbagai tempat, terkhusus di Semarang. Sneevliet di tahun 1913 telah memengaruhi pergerakan VSTP dari sarekat buruh kereta api yang bersifat ekslusif, karena hanya beranggotakan orang Eropa, menjadi sarekat buruh pribumi terbesar yang terdiri dari kaum buruh kereta api dan trem di Pulau Jawa.
Buruh bumiputera diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin dalam sarekat buruh. Pada rapat VSTP Februari 1914 diputuskan memberi jatah tiga dari tujuh posisi eksekutif untuk kalangan bumiputera. Ini menunjukkan perubahan struktur dalam tubuh sarekat buruh yang dikontrol oleh kalangan bumiputera. (Novita, 2015). Pergerakan buruh di Semarang semakin bergeliat ketika Semoen datang pada 1916. Ia dikenal sebagai penggerak kaum revolusioner yang menganut ajaran marxis. Semaoen dipilih menjadi pemimpin VSTP pada 26 Mei 1919 menggantikan H.W. Dekker. Tahun 1915, VSTP menerbitkan surat kabar Si Tetap dalam bahasa Melayu. Pada tahun 1920 sudah terdapat 93 cabang di Pulau Jawa, beberapa di pantai Barat Sumatera dan pada perkebunan Deli. Anggota VSTP pada Mei 1923 telah mencapai 13.000 orang atau seperempat buruh industri perkeretapian Hindia Belanda (Soegiri & Cahyono 2005: 11).
Salah satu sepak terjang penting VSTP adalah ketika pada tahun 1923 melakukan pemogokan. Terjadi tuntutan dari para buruh kepada pimpinan staatsspor guna membicarakan masalah tunjangan kemahalan bagi para buruh, jumlah jam kerja yakni 8 jam per hari, pembentukan dewan pendamai dan upah minimum. Pemogokan buruh tahun 1923 berawal dari penangkapan Semaoen sebagai pembesar dari VSTP. Para buruh trem segera mogok mengetahui pemimpinnya ditangkap. Bersama mereka, turut pula para pedagang di pasar umum, pegawai toko mesin, serta sopir mobil dan truk. Dalam beberapa hari saja pemogokan itu telah menyebar ke Pekalongan, Tegal, Madiun, Surabaya, serta Cirebon dan pemogokan ini segera berkembang secara tidak teratur ke pusat-pusat buruh kereta api di Jawa (Ruth McVey, 2009: 253). Puncaknya pada 13 Mei 1923, sekitar 10.000 buruh melakukan pemogokan dari keseluruhan buruh di perusahaan trem dan kereta api di Jawa yang berjumlah 50.000 buruh. Pemogokan terkonsentrasi di Jawatan Kereta Api Negara dengan jumlah 8.285 pemogok dari sekitar 26.000 buruh Bumiputera (Ingleson, 2013: 68)
Kehadiran sarekat buruh memberi pengaruh terhadap kesejahteraan buruh, meskipun resiko besar membayangi kaum buruh yang bernaung di bawah sarekat buruh. Banyak anggota VSTP dipecat lantaran aktivitasnya di sarekat buruh. Namun kehadiran sarekat buruh memberi pengaruh pada peningkatan taraf kesejahteraan anggotanya, termasuk pada tuntutan kenaikan upah buruh. Para buruh yang merasa diperlakukan tidak adil oleh para mandor maupun manajer perusahaan mengalihkan perhatiannya kepada para pemimpin VSTP untuk menengahi perkara mereka dengan perusahaan kereta api (Ingleson 2013: 41-42).
Pada tahun 1925, VSTP menjadi bagian dari pemogokan besar oleh buruh Semarang sekaligus tahun terakhir kejayaan sarekat buruh. Kemunduran aktivitas gerakan buruh terutama disebabkan setelah PKI dinyatakan sebagai partai terlarang oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pemimpin-pemimpin PKI yang juga banyak sebagai aktivis gerakan buruh ditangkap atau dibuang ke berbagai tempat terutama ke Digul Irian Jaya.
Penulis: Ilham Daeng Makkelo
Instansi: Universitas Hasanuddin
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Ingleson, John. 2013. Perkotaan, Masalah Sosial dan Perburuhan di jawa Masa Kolonial. Editor Iskandar P. Nugraha. Jakarta: Komunitas Bambu.
Mcvey, Ruth.T. 2019. Kemunculan Komunisme Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
Novita, Angghi. 2015. “Gerakan Sarekat Buruh Semarang Tahun 1913-1925”. JIH. Journal of Indonesian History. Vol.3 No.2, Tahun 2015.
Saptari, Ratna. 2013, Bangsa dan Politik Perpekerjaan dalam Proses Dekolonisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soegiri DS & Edi Cahyono, 2005, Gerakan Serikat Buruh Zaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru. Jakarta: Hasta Mitra.
Tricahyono, Danan, 2020. “Buruh dalam Sejarah Indonesia: Studi Tentang Aktivitas Buruh pada Masa Pemerintah Kolonial Belanda Periode 1870-1942. Istoria: Jurnal Pendidikan dan Sejarah. Volume 16, No.2, September.
Yuliati, D. “Nasionalisme Pekerja dalam Sejarah Indonesia”, Jurnal Humanika, 16 (No 9 Desember 2012).
Yuliati, D. 2012, “nasionalisme Pekerja dalam Sejarah Indonesia. Junrla Humanika, 16 (No 9 Desember).