Soekanto Tjokrodiatmodjo: Difference between revisions
No edit summary |
No edit summary |
||
(One intermediate revision by the same user not shown) | |||
Line 1: | Line 1: | ||
[[File:Soekanto Tjokrodiatmodjo. | [[File:Soekanto Tjokrodiatmodjo - PNRI kepustakan ilmu kepolisian RI.jpg|center|thumb]] | ||
Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo adalah Kapolri Pertama RI dan telah dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2020 oleh Presiden RI, Joko Widodo. Ia menjabat Kapolri ketika Indonesia baru merdeka, tepatnya dalam rentang waktu 29 September 1945–14 Desember 1959. | Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo adalah Kapolri Pertama RI dan telah dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2020 oleh Presiden RI, Joko Widodo. Ia menjabat Kapolri ketika Indonesia baru merdeka, tepatnya dalam rentang waktu 29 September 1945–14 Desember 1959. | ||
Line 16: | Line 19: | ||
Kemudian, ketika Jepang memulai pendudukannya di Nusantara, Soekanto bekerja di kantor Gubernuran di Jakarta, khususnya di bidang Urusan Kepolisian. Sejak tahun 1943, ia dipindahkan pula ke Sukabumi, menjadi Inspektur Bumiputra (''Genjumin Syuseiki Kyoku'') pada Sekolah Tinggi Polisi atau dalam istilah Jepang dengan ''Koto Kaisatsu Gakko'' (Wulan, 2009: 33). | Kemudian, ketika Jepang memulai pendudukannya di Nusantara, Soekanto bekerja di kantor Gubernuran di Jakarta, khususnya di bidang Urusan Kepolisian. Sejak tahun 1943, ia dipindahkan pula ke Sukabumi, menjadi Inspektur Bumiputra (''Genjumin Syuseiki Kyoku'') pada Sekolah Tinggi Polisi atau dalam istilah Jepang dengan ''Koto Kaisatsu Gakko'' (Wulan, 2009: 33). | ||
Segera setelah menyerah kalah pada Sekutu, Jepang, khususnya Kepala Departemen Keamanan Jepang (''Kaimubucho''), tidak mau menyerahkan [[Sekolah Polisi Sukabumi]] kepada pemerintah RI. Hal ini dilaporkan Soekanto kepada sahabat lamanya Mr. Sartono dan Iwa Kusuma Sumantri saat mereka terlibat dalam sebuah pembicaraan tanggal 28 September 1945. Dalam pertemuan itu Soekanto menyatakan diri keluar dari pejabat kepolisian Jepang dan masuk dalam pemerintahan RI. | Segera setelah menyerah kalah pada Sekutu, Jepang, khususnya Kepala Departemen Keamanan Jepang (''Kaimubucho''), tidak mau menyerahkan [[Sekolah Polisi Sukabumi]] kepada pemerintah RI. Hal ini dilaporkan Soekanto kepada sahabat lamanya Mr. Sartono dan Iwa Kusuma Sumantri saat mereka terlibat dalam sebuah pembicaraan tanggal 28 September 1945. Dalam pertemuan itu Soekanto menyatakan diri keluar dari pejabat kepolisian Jepang dan masuk dalam pemerintahan RI.[[File:Soekanto Tjokrodiatmodjo.png|frame|Sumber: <nowiki>https://id.wikipedia.org/wiki/Soekanto_Tjokrodiatmodjo</nowiki>]]Sehari setelah itu, pada 29 September 1945, Soekanto diajak oleh Mr. Sartono dan Iwa Kusuma Sumantri ke acara Sidang Kabinet, kebetulan baru pertama diadakan. Dalam sidang kabinet pertama itulah Presiden Sukarno mengangkat Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN) RI pertama yang mengejutkannya. Sebagai Kapolri pertama, ia membentuk berbagai satuan di kepolisian seperti Polair dan Udara, Brimob, Polantas, hingga satuan kepolisian daerah yang merupakan cikal bakal Polda di seluruh Indonesia. Soekanto juga diketahui sebagai salah seorang pendiri Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di Jakarta yang awalnya bernama Akademi Polisi di Mertoyudan. Saat memimpin, ia merancang kantor di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN), dan sekarang namanya dengan Mabes Polri, merupakan gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara pada masanya (Wulan 2009: 36-37). | ||
Sehari setelah itu, pada 29 September 1945, Soekanto diajak oleh Mr. Sartono dan Iwa Kusuma Sumantri ke acara Sidang Kabinet, kebetulan baru pertama diadakan. Dalam sidang kabinet pertama itulah Presiden Sukarno mengangkat Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN) RI pertama yang mengejutkannya. Sebagai Kapolri pertama, ia membentuk berbagai satuan di kepolisian seperti Polair dan Udara, Brimob, Polantas, hingga satuan kepolisian daerah yang merupakan cikal bakal Polda di seluruh Indonesia. Soekanto juga diketahui sebagai salah seorang pendiri Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di Jakarta yang awalnya bernama Akademi Polisi di Mertoyudan. Saat memimpin, ia merancang kantor di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN), dan sekarang namanya dengan Mabes Polri, merupakan gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara pada masanya (Wulan 2009: 36-37). | |||
Soekanto juga diangkat menjadi Kepala Jawatan Kepolisian Negara (KKN) RIS oleh Presiden [[Sukarno]] pada 29 September 1950, sebagai salah satu hasil [[Konferensi Meja Bundar]] (KMB) antara Indonesia dan Belanda. Di masa kepemimpinannya, Soekanto mengirimkan banyak perwira Polri untuk belajar perihal kepolisian di Amerika Serikat, termasuk [[Hoegeng Imam Santosa|Hoegeng]] Imam Santoso, Awaloedin Djamin, Mohammad Hasan, Widodo Budidarmo, semuanya menjadi Kapolri di kemudian hari. | Soekanto juga diangkat menjadi Kepala Jawatan Kepolisian Negara (KKN) RIS oleh Presiden [[Sukarno]] pada 29 September 1950, sebagai salah satu hasil [[Konferensi Meja Bundar]] (KMB) antara Indonesia dan Belanda. Di masa kepemimpinannya, Soekanto mengirimkan banyak perwira Polri untuk belajar perihal kepolisian di Amerika Serikat, termasuk [[Hoegeng Imam Santosa|Hoegeng]] Imam Santoso, Awaloedin Djamin, Mohammad Hasan, Widodo Budidarmo, semuanya menjadi Kapolri di kemudian hari. | ||
Line 40: | Line 41: | ||
Rahmat Nurhakim, 10 November (2020) ''Kompas''.com. | Rahmat Nurhakim, 10 November (2020) ''Kompas''.com. | ||
[[Category:Tokoh]] | {{Comment}} [[Category:Tokoh]] |
Latest revision as of 23:48, 12 September 2024
Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo adalah Kapolri Pertama RI dan telah dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2020 oleh Presiden RI, Joko Widodo. Ia menjabat Kapolri ketika Indonesia baru merdeka, tepatnya dalam rentang waktu 29 September 1945–14 Desember 1959.
Tokoh yang akrab dipanggil Soekanto ini lahir di Bogor pada 7 Juni 1908. Ia anak sulung dari enam bersaudara dari pasangan R. Martomihardjo dan Kasmirah. R. Martomihardjo adalah pamongpraja yang berasal dari Ketangi Daleman, Purworejo, Jawa Tengah; sementara Kasmirah berasal dari Ciawi, Bogor, Jawa Barat. Pada tahun 1908, R. Martomihardjo bekerja di Jasinga, Bogor, sebagai Asisten Wedana bersama keluarga kecilnya. Soekanto bersama dua orang tuanya meninggalkan Bogor dan pindah pula ke Balaraja, Serang, karena ayahnya diangkat sebagai Wedana di sana. Pada tahun 1910, berpindah lagi ke tempat tugas ayahnya yang baru di Tangerang. Dengan demikian Soekanto kecil menunjukkan kehidupan keluarga penuh dinamis dengan selalu berpindah tugas orang tuanya.
Soekanto termasuk sebagian kecil dari kaum pribumi yang memperoleh pendidikan Barat, padahal pada zaman Belanda pendidikan bentuk ini hanya terbuka bagi kalangan priayi. Ia menempuh pendidikan pertama di Frobel School (Taman Kanak-kanak), Europeesche Lagere School (ELS), kemudian melanjutkan ke Hoogere Burger School (HBS) di Bandung. Setelah itu ia melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi di Recht Hooge School (RHS). Semasa kuliah, Soekanto aktif juga di Jong Java dan Perguruan Rakyat yang dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara di Bogor. Kendati demikian, Soekanto terpaksa tak menyelesaikan studinya di RHS, lantaran kondisi perekonomian keluarga menurun sejak ayahnya pensiun dari jabatan Wedana.
Pada tahun 1930, Soekanto mendaftar dan diterima sebagai siswa Sekolah Aspiran Komisaris Polisi (Aspirant Commisaris van Politie) Angkatan VIII di Sukabumi, dengan lama pendidikan tiga tahun. Ia satu-satunya siswa pribumi dan lulus pada tahun 1933 dengan mendapat pangkat Commisaris van Politie 3 e Klass (Komisaris Polisi Kelas III).
Setelah beranjak usia dewasa, Soekanto, tepatnya pada tanggal 21 April 1932, menikah dengan Bua Hadjijah Lena Mokoginta, adalah gadis Manado, tepatnya dari Bolaang Mongondow. Ia menetap di Jakarta setelah orang tuanya dikucilkan Belanda dari daerahnya.
Dalam hal karier, pada tahun 1933, setelah menamatkan pendidikannya di Sekolah Aspiran Komisaris Polisi dengan pangkat Commisaris van Politie 3 e Klass (Komisaris Polisi Kelas III) ia langsung ditugaskan pada Hoofd Bureau van Politie Semarang di bagian Lalu Lintas, kemudian dipindahkan ke bagian Reserse dan Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Sejak itulah ia memulai kariernya di kepolisian (Wulan 2009: 33).
Pasca menjabat sebagai Reserse dan PID, Soekanto dipindahkan oleh pemerintah Kolonial Belanda ke Purwokerto dan bertugas di Bagian Pengawasan terhadap kantor-kantor polisi di wilayah tersebut. Soekanto dengan pangkat Polisi Klas II dipromosi sebagai Kepala Polisi Seksi VI Semarang. Kemudian sejak tahun 1940 hingga akhir masa pemerintahan kolonial Belanda, Soekanto dipindahkan dan menjabat sebagai Technische Leider di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, serta merangkap sebagai wakil kepala Polisi Banjarmasin dengan pangkat terakhirnya sebagai Komisaris Polisi Klas 1.
Kemudian, ketika Jepang memulai pendudukannya di Nusantara, Soekanto bekerja di kantor Gubernuran di Jakarta, khususnya di bidang Urusan Kepolisian. Sejak tahun 1943, ia dipindahkan pula ke Sukabumi, menjadi Inspektur Bumiputra (Genjumin Syuseiki Kyoku) pada Sekolah Tinggi Polisi atau dalam istilah Jepang dengan Koto Kaisatsu Gakko (Wulan, 2009: 33).
Segera setelah menyerah kalah pada Sekutu, Jepang, khususnya Kepala Departemen Keamanan Jepang (Kaimubucho), tidak mau menyerahkan Sekolah Polisi Sukabumi kepada pemerintah RI. Hal ini dilaporkan Soekanto kepada sahabat lamanya Mr. Sartono dan Iwa Kusuma Sumantri saat mereka terlibat dalam sebuah pembicaraan tanggal 28 September 1945. Dalam pertemuan itu Soekanto menyatakan diri keluar dari pejabat kepolisian Jepang dan masuk dalam pemerintahan RI.
Sehari setelah itu, pada 29 September 1945, Soekanto diajak oleh Mr. Sartono dan Iwa Kusuma Sumantri ke acara Sidang Kabinet, kebetulan baru pertama diadakan. Dalam sidang kabinet pertama itulah Presiden Sukarno mengangkat Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN) RI pertama yang mengejutkannya. Sebagai Kapolri pertama, ia membentuk berbagai satuan di kepolisian seperti Polair dan Udara, Brimob, Polantas, hingga satuan kepolisian daerah yang merupakan cikal bakal Polda di seluruh Indonesia. Soekanto juga diketahui sebagai salah seorang pendiri Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di Jakarta yang awalnya bernama Akademi Polisi di Mertoyudan. Saat memimpin, ia merancang kantor di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN), dan sekarang namanya dengan Mabes Polri, merupakan gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara pada masanya (Wulan 2009: 36-37).
Soekanto juga diangkat menjadi Kepala Jawatan Kepolisian Negara (KKN) RIS oleh Presiden Sukarno pada 29 September 1950, sebagai salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dan Belanda. Di masa kepemimpinannya, Soekanto mengirimkan banyak perwira Polri untuk belajar perihal kepolisian di Amerika Serikat, termasuk Hoegeng Imam Santoso, Awaloedin Djamin, Mohammad Hasan, Widodo Budidarmo, semuanya menjadi Kapolri di kemudian hari.
Saat Presiden Sukarno akan membentuk ABRI, menggabungkan Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, Soekanto menyatakan keberatannya dengan alasan demi tetap menjaga profesionalisme kepolisian. Pada 15 Desember 1959, Soekanto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, dan ia pun memasuki masa pensiun pada 1 Desember 1960, setelah menjabat sebagai Kapolri selama 14 tahun. Pangkat terakhirnya sebagai Komisaris Jenderal Polisi atau Letnan Jenderal.
Pada masa Presiden Soeharto, tepatnya tahun 1968, Soekanto diangkat sebagai Jenderal Polisi Purnawirawan. Pada tahun 1973, Presiden Soeharto mengangkatnya pula sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI, dengan masa tugas lima tahun ke depan.
Soekanto banyak mendapat penghargaan, seperti Bintang Adipura Klas II, Bintang Mahaputra Adipradana, Bintang Dharma, Bintang Bhayangkara Kelas 1, Bintang Gerilya, Peringatan Pejoeang Kemerdekaan, Karya Satya I, Dasar Warsa, Yana Utama, Karya Bakti, Prasetya Pancawarsa IV, Perang Kemerdekaan II, GOM I sampai GOM VII, dan Sapta Marga. Berdasarkan penghargaan yang dianugerahkan untuk Soekanto, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional, pada Hari Pahlawan, Selasa 10 November 2020. Penganugerahan gelar pahlawan nasional untuk Soekanto didasari atas Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 117 TK Tahun 2020 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional (KOMPAS.com, 10 November 2020).
Soekanto meninggal dunia pada selasa malam Rabu, pukul 23.38 WIB, 24 Agustus 1993, dalam usia 85 tahun, setelah sebelumnya sekitar empat bulan dirawat di RS Polri Kramatjati Jakarta. Ia dimakamkan sesuai dengan wasiatnya kepada keluarga, agar satu lubang kubur dengan isterinya, Bua Hadjijah Lena Mokoginta. Ia dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta, walaupun padahal Soekanto sangat berhak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, karena memiliki penghargaan Bintang Mahaputra Adipura Klas II. Sebelum dimakamkan sempat disemayamkan selama satu setengah jam di Mabes Polri Jakarta, kemudian baru dibawa ke pemakaman Tanah Kusir dan dikebumi dengan tradisi militer.
Penulis: Misri A. Muchsin
Referensi
Ambar Wulan, G. (2009) Polisi dan Politik: Intelijen Kepolisian Pada masa revolusi Tahun 1945-1949, Jakarta: Rajawali Press.
KOMPAS.com, 10 November (2020)
Rahmat Nurhakim, 10 November (2020) Kompas.com.