Siswondo Parman: Difference between revisions
No edit summary |
m (Text replacement - "Penulis: Julianto Ibrahim" to "{{Penulis|Julianto Ibrahim|Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada|Dr. Farabi Fakih, M.Phil.}}") |
||
Line 18: | Line 18: | ||
Pada tanggal 3 Oktober 1965, sumur tua yang berisi mayat Mayjen S. Parman dengan enam Jenderal Angkatan Darat lainya ditemukan. Pada tanggal 5 Oktober 1965 keluar Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Indonesia/Komando Operasi tertinggi No. 110/KOTI/1965 yang menetapkan Mayor Jenderal S. Parman, atas jasa-jasanya, diberikan kenaikan pangkat Anumerta. Dengan Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Komando Operasi Tertinggi No. 111/KOTI/1965 menganugerahkan Mayor Jenderal TNI S. Parman beserta enam perwira Tinggi AD lainnya gelar Pahlawan Revolusi (Masykuri, 1983: 92-93). | Pada tanggal 3 Oktober 1965, sumur tua yang berisi mayat Mayjen S. Parman dengan enam Jenderal Angkatan Darat lainya ditemukan. Pada tanggal 5 Oktober 1965 keluar Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Indonesia/Komando Operasi tertinggi No. 110/KOTI/1965 yang menetapkan Mayor Jenderal S. Parman, atas jasa-jasanya, diberikan kenaikan pangkat Anumerta. Dengan Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Komando Operasi Tertinggi No. 111/KOTI/1965 menganugerahkan Mayor Jenderal TNI S. Parman beserta enam perwira Tinggi AD lainnya gelar Pahlawan Revolusi (Masykuri, 1983: 92-93). | ||
Penulis | {{Penulis|Julianto Ibrahim|Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada|Dr. Farabi Fakih, M.Phil.}} | ||
Revision as of 13:06, 11 August 2023
Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman lahir di Wonosobo pada tanggal 4 Agustus 1918. Tidak seperti anak kecil pada umumnya, Parman lahir dari keluarga kaya dan dapat bersekolah di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Wonosobo pada umur 7 tahun (Matenasi, 2017). Pada tahun 1932, S. Parman meneruskan sekolahnya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Yogyakarta dan berteman dengan Subadio Sastrosatomo. Akibat kematian bapaknya, Kromodihardjo, tahun 1936 S. Parman baru melanjutkan sekolah ke AMS (Algemene Middelbare School) bagian B di Yogyakarta pada tahun 1937. Di sekolah lanjutan ini, ia banyak melakukan penjelajahan ke daerah-daerah baru sebagai pecinta alam, menggemari cerita-cerita wayang dan tidak jarang memainkan boneka wayang sebagai dalang. Dengan menuruti keinginan orang tuanya agar menjadi dokter daripada pilihannya sebagai sarjana hukum, S. Parman melanjutkan studi kedokteran ke GHS (Geneeskundige Hoogeschool) di Jakarta pada tahun 1939 (Sutrisno, 1984: 12-21).
Dengan kedatangan pasukan Jepang di Jawa pada tanggal 1 Maret 1942, S. Parman lebih memilih meninggalkan studinya di Jakarta dan kembali ke tanah kelahirannya di Wonosobo (Sutrisno, 1984: 35). Pasukan Jepang yang terlibat dalam Perang Dunia II dan berusaha menguasai sumber daya alam Indonesia, berupaya memanfaatkan kaum nasionalis dan kaum muda untuk mendukung kemenangan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. S. Parman yang mahir berbahasa Inggris, dimanfaatkan oleh pasukan Jepang sebagai penerjemah dan mengikuti pasukan Kempetai di beberapa kota di Jawa Tengah. Setelah beberapa lama menjadi penerjemah, S. Parman diangkat sebagai pegawai sipil pada dinas Kempetai di Yogyakarta. Dalam posisinya ini, Parman cukup berperan dalam pembentukan Kempeiho yang merupakan embrio dari Polisi Tentara (Sutrisno, 1984: 37). Sebagai pegawai Kempetai, Parman juga memperdalam ilmu intelijen di Kenpei Kasya Butai (Said dan Wulandari, 1995: 83).
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, S. Parman bersama dengan Umar Slamet (Cudanco Bantul) dan Sudharto (Tentara Pelajar) membentuk BPU (Badan Pengawas Undang-Undang) tahun 1945 di Yogyakarta (Badan Musyawarah Musea, 1985: 106). S. Parman juga ditunjuk sebagai anggota KNI (Komite Nasional Indonesia) daerah Yogyakarta yang dibentuk pada tanggal 1 September 1945 dengan ketuanya Muhammad Saleh (Daidanco Bantul) (Nurhajarini dkk., 2020: 75). S. Parman yang memimpin BPU bersama dengan Umar Slamet dan Sudharto berperan penting dalam merebut senjata dan gedung-gedung milik Jepang di Yogyakarta. Pada tanggal 21 september 1945, BPU bersama dengan Polisi Istimewa, BKR, dan massa pemuda lainnya merebut gedung Tyookan Kantai (Gedung Agung) di Jalan Malioboro serta menurunkan bendera Hinomaru dan menggantikannya dengan bendera Merah Putih (Badan Musyawarah Musea, 1985: 186). Sejak tanggal 26 September 1945, BPU ikut serta dalam upaya mengambil alih gedung-gedung yang dikuasai Jepang. Peristiwa penting yang melibatkan S. Parman sebagai salah satu pemimpin BPU adalah pengepungan dan penyerbuan ke tangsi Butai Masse di Kota Baru pada tanggal 7 Oktober 1945. Penyerbuan ini berhasil menyita senjata Jepang dengan korban jiwa sebanyak 21 pejuang dan 360 tentara Jepang ditawan di Wirogunan (Ramadhan KH, 1989: 30).
Selain di BPU, S. Parman juga terlibat dalam proses pembentukan Markas Besar Badan Keamanan Rakyat (MBBKR) di Yogyakarta. Setelah BKR berubah menjadi TKR pada tanggal 5 Oktober 1945, S. Parman ditunjuk sebagai Kepala staf Markas Besar Polisi Tentara dengan pangkat Kapten pada bulan Desember 1945 (Dinas Provoost TNI AD, 1979: 3). Pada April 1946, S. Parman menjadi anggota Panitia Untuk Pengembalian Orang Jepang dan Asing (POPDA) yang menangani pengembalian APWI (Allied Prisoner of War and Interneer) yang berkedudukan di Surakarta (Soenarto, 1984: 52). Sejak 29 April hingga 18 Juni 1946, S. Parman membantu mengangkut tawanan Jepang yang ditampung di Tampir, Karangpandan menuju penampungan di Galang melalui Sukarame, Delanggu, dan pelabuhan Tegal (Kodam VII/Diponegoro, 1968: 52-56). Setelah 2 bulan bertugas di Solo, S. Parman kembali ke Yogyakarta menjadi kepala organisasi MBPT dengan pangkat Mayor (Said dan Wulandari, 1995: 83). Pada tanggal 28 Mei 1948, saat pelaksanaan Reorganisasi dan Rasionalisasi oleh Kabinet Hatta, Polisi Tentara dibubarkan dan diganti dengan Corp Polisi Militer (CPM). S. Parman tetap menduduki jabatan sebagai kepala staf Corp Polisi Militer Djawa (CPMD) dengan pangkat Mayor (Dinas Provoost TNI AD, 1979: 5-6).
Karir militer S. Parman sempat terhenti saat kekuatan komunis yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat memproklamasikan pembentukan Front Nasional di Madiun pada tanggal 18 September 1948. Peristiwa Madiun yang dianggap sebagai pemberontakan Partai Komunis ini telah berdampak pada jabatan S. Parman di kemiliteran, karena Ir. Sakirman yang merupakan kakak kandung S. Parman terlibat dalam peristiwa tersebut. S. Parman dituduh membantu aktivitas kakaknya dan ditahan di penjara Wirogunan bersama dengan kakaknya (Tirto.id., 22 September 2017; Tirto.id, 5 November 2017). Selama berada di tahanan, kedua adiknya Kartinah dan Sugiah yang ikut sekolah di Yogyakarta sering menengok S. Parman dengan membawakan bekal makanan (Sutrisno, 1984: 55).
Setelah tidak terbukti membantu aktivitas kakaknya apalagi terlibat dalam peristiwa Madiun, S. Parman dikeluarkan dari Penjara Wirogunan bertepatan dengan agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948. Mengingat Yogyakarta telah dikuasai Belanda, S. Parman ikut bergerilya ke luar kota Yogyakarta menuju Wonogiri dan membantu para pejuang dengan kemampuan intelijennya (Sutrisno, 1984: 57). Perjuangan gerilya yang mampu merepotkan Belanda dan keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949, membuka jalan bagi terselenggaranya Konferensi Meja Bundar yang salah satu isi utamanya adalah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (Margana dkk., 2019). Dengan pindahnya ibu kota Yogyakarta ke Jakarta pada tanggal 28 Desember 1949, S. Parman menduduki jabatan baru sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya (Said dan Wulandari, 1995: 83). Belum lama menjabat, terjadi pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung pada tanggal 23 Januari 1950 yang mengancam posisi ibu kota Jakarta. S Parman ditunjuk sebagai Kepala Staf Gubernur Militer yang membantu tugas-tugas Letkol Daan Yahya sebagai Gubernur Militer Jakarta Raya dalam menghadapi APRA. Dengan memanfaatkan simpatisan APRA yang sudah ditahan sebagai intelijen yang merupakan taktik dari S. Parman, serbuan APRA ke Jakarta dapat digagalkan dan aktivitas APRA terhenti saat Westerling melarikan diri ke Belanda pada bulan Februari 1950 (Sutrisno, 1984: 62-63).
Setelah pulang dari pendidikan militer pada Association Military Company Officer di Georgia, Amerika Serikat, pada tanggal 1 Januari 1952 S. Parman menjabat sebagai Komandan CPM dengan merangkap tugas sebagai Kepala Staf Umum III Angkatan Darat. Dalam peristiwa 17 Oktober 1952, S. Parman menjadi salah satu pendukung A.H. Nasution dan setelah peristiwa itu meminta pembebasan tugas sementara dan dikabulkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat, Kolonel Bambang Sugeng (Sundhaussen, 1986; Matanasi, 22 September 2017). Setahun kemudian pada tahun 1953, S. Parman mendapat tugas baru dengan diperbantukan pada Menteri Pertahanan RI. Pada tanggal 1 September 1956, ia diangkat menjadi Kepala Bagian Material Kementerian Pertahanan RI. Sejak tanggal 6 Juni 1959, S Parman pindah ke London Inggris beserta istrinya, Samirahayu, dan anak perempuanya, Kartinah, untuk menjalankan tugas sebagai atase militer selama tiga tahun. Selepas pulang dari Inggris, tanggal 1 Juli 1962 ia diangkat sebagai Perwira Menengah yang diperbantukan kepada Kementerian/Kepala Staf Angkatan Darat sebagai Asisten I Bidang Intelijen. Pada bulan yang sama, tahun 1962, S. Parman mendapat kenaikan pangkat menjadi Brigadir Jenderal. Pada tanggal 1 Januari 1964, S. Parman menerima kenaikan pangkat kembali menjadi Mayor Jenderal (Sutrisno, 1984: 71-72).
Selama S. Parman menjabat sebagai petinggi Angkatan Darat beberapa kali menentang kebijakan PKI seperti pembentukan Angkatan V untuk mempersenjatai buruh dan tani (Said dan Wulandari, 1995: 83; Sutrisno, 1984: 77). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Mayor Jenderal S. Parman merupakan salah satu perwira tinggi AD yang diculik dalam peristiwa Gerakan 30 September yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari. Pasukan yang bertugas menculik S. Parman berkekuatan 1 peleton yang dipimpin oleh Serma Satar dari Cakrabirawa dan dibantu 1 peleton Yon Raider 530 Brawijaya yang dipimpin Serma Saat. Pada pukul 03.15 WIB, pasukan penculik berangkat dari Lubang Buaya dan sampai di rumah S. Parman di jalan Serang No. 32 Jakarta pada pukul 04.00 WIB (Sutrisno, 1984: 85; Masykuri, 1983: 62). Mendengar kegaduhan, S. Parman terbangun dan mengira terjadi perampokan di rumah sebelah. S. Parman segera membuka pintu rumah, tetapi yang dijumpainya adalah pasukan Cakrabirawa yang memintanya segera menghadap presiden karena situasi sedang gawat. S. Parman segera berganti pakaian yang diikuti oleh 2 orang anggota penculik ke dalam kamar. Dengan berpakaian seragam lengkap, S. Parman dibawa oleh pasukan penculik ke Lubang Buaya (Sekretariat Negara RI, 1994: 99).
Pada tanggal 3 Oktober 1965, sumur tua yang berisi mayat Mayjen S. Parman dengan enam Jenderal Angkatan Darat lainya ditemukan. Pada tanggal 5 Oktober 1965 keluar Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Indonesia/Komando Operasi tertinggi No. 110/KOTI/1965 yang menetapkan Mayor Jenderal S. Parman, atas jasa-jasanya, diberikan kenaikan pangkat Anumerta. Dengan Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Komando Operasi Tertinggi No. 111/KOTI/1965 menganugerahkan Mayor Jenderal TNI S. Parman beserta enam perwira Tinggi AD lainnya gelar Pahlawan Revolusi (Masykuri, 1983: 92-93).
Penulis: Julianto Ibrahim
Instansi: Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Margana, Sri dkk. (2019), Serangan Umum 1 Maret 1949, Yogyakarta: Dinas Kebudayaan.
Masykuri (1984), Pierre Tendean, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Matenasi, Petrik (2017) “S. Parman, Korban G30S yang Justru Adik Petinggi PKI”, https://tirto.id/s-parman-korban-g30s-yang-justru-adik-petinggi-pki-cwXa, diunduh 25 Oktober 2021
Said, Julinar dan Triana Wulandari (1995), Ensiklopedi Pahlawan Nasional, Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Sekretariat Negara Republik Indonesia (1994), Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Sundhausen, Ulf (1986), Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, Jakarta: LP3ES.
Sutrisno (1984), Letnan Jenderal Anumerta Siswondo Parman, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.