Bukittinggi (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia): Difference between revisions
No edit summary |
No edit summary |
||
Line 1: | Line 1: | ||
Kota Bukittinggi, disebut Fort de Kock di era kolonial, saat ini merupakan kota terbesar kedua di Sumatera Barat. Selain dijuluki Parijs van Sumatra, kota ini juga menyimpan banyak memori sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Di samping menjadi “rahim” geografis kelahiran tokoh besar Mohammad Hatta, Bukittinggi juga pernah menjadi ibukota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), dari 19 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949. | Kota Bukittinggi, disebut Fort de Kock di era kolonial, saat ini merupakan kota terbesar kedua di Sumatera Barat. Selain dijuluki Parijs van Sumatra, kota ini juga menyimpan banyak memori sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Di samping menjadi “rahim” geografis kelahiran tokoh besar Mohammad Hatta, Bukittinggi juga pernah menjadi ibukota Indonesia pada masa [[Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)|Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)]], dari 19 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949. | ||
Dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai presiden, PDRI dideklarasikan di Bukittinggi, berlanjut dengan pembentukan kabinet pada 22 Desember 1949 di Halaban, yang saat ini menjadi bagian dari Kabupaten Lima Puluh Kota. Jarak yang jauh antara Bukittinggi dan Halaban menjadi pertimbangan utama karena model pemerintahan PDRI berpindah-pindah demi menghindari pemantauan oleh pihak Belanda yang berupaya menganulir kemerdekaan Indonesia melalui agresi militer. Pengumuman berdirinya PDRI dilakukan melalui siaran radio miliki Angkatan Udara Republik Indonesia. Setidaknya delapan nagari (kampung) ditempati oleh rombongan pemerintahan darurat Prawiranegara itu. Terdapat satu nagari yang paling lama disinggahi oleh Prawiranegara, yaitu Bidar Alam di Solok Selatan, yakni selama kurang lebih tiga setengah bulan (Hendra 2018). | Dengan [[Syafruddin Prawiranegara]] sebagai presiden, PDRI dideklarasikan di Bukittinggi, berlanjut dengan pembentukan kabinet pada 22 Desember 1949 di Halaban, yang saat ini menjadi bagian dari Kabupaten Lima Puluh Kota. Jarak yang jauh antara Bukittinggi dan Halaban menjadi pertimbangan utama karena model pemerintahan [[Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)|PDRI]] berpindah-pindah demi menghindari pemantauan oleh pihak Belanda yang berupaya menganulir kemerdekaan Indonesia melalui agresi militer. Pengumuman berdirinya [[Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)|PDRI]] dilakukan melalui siaran radio miliki [[Angkatan Udara Republik Indonesia]]. Setidaknya delapan nagari (kampung) ditempati oleh rombongan pemerintahan darurat Prawiranegara itu. Terdapat satu nagari yang paling lama disinggahi oleh [[Prawiranegara]], yaitu Bidar Alam di Solok Selatan, yakni selama kurang lebih tiga setengah bulan (Hendra 2018). | ||
Keputusan untuk menunjuk Prawiranegara sebagai presiden dibuat setelah muncul kemungkinan jatuhnya Yogyakarta ke tangan pasukan Belanda, yang berakibat buruk bagi Republik Indonesia. Maka, Hatta diminta untuk segera membuat pemerintahan darurat di Sumatera, sebelum serangan tersebut benar-benar terjadi. Sesampainya rombongan Hatta, bersama dengan Prawiranegara, di Bukittinggi, Hatta mendapatkan telegram dari Komisi Perserikatan Bangsa-bangsa bahwa ia harus kembali ke Yogyakarta, karena Belanda bersedia untuk berunding kembali. Prawiranegara, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, menetap di Bukittinggi. Setelah perundingan di Yogyakarta gagal dan agresi militer kembali dimulai, sejumlah tokoh pemimpin Republik Indonesia ditangkap dan diasingkan, maka kepemimpinan beralih kepada Prawiranegara sebagai menteri senior yang tersisa (Prawiranegara 1987). | Keputusan untuk menunjuk [[Prawiranegara]] sebagai presiden dibuat setelah muncul kemungkinan jatuhnya Yogyakarta ke tangan pasukan Belanda, yang berakibat buruk bagi Republik Indonesia. Maka, [[Hatta]] diminta untuk segera membuat pemerintahan darurat di Sumatera, sebelum serangan tersebut benar-benar terjadi. Sesampainya rombongan Hatta, bersama dengan [[Prawiranegara]], di Bukittinggi, Hatta mendapatkan telegram dari Komisi Perserikatan Bangsa-bangsa bahwa ia harus kembali ke Yogyakarta, karena Belanda bersedia untuk berunding kembali. [[Prawiranegara]], yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet [[Hatta]], menetap di Bukittinggi. Setelah perundingan di Yogyakarta gagal dan agresi militer kembali dimulai, sejumlah tokoh pemimpin Republik Indonesia ditangkap dan diasingkan, maka kepemimpinan beralih kepada Prawiranegara sebagai menteri senior yang tersisa (Prawiranegara 1987). | ||
Agresi militer kedua yang dilancarkan pasukan Belanda pada 1949 berakibat jatuhnya ibukota negara di Yogyakarta, disusul penangkapan presiden, wakil presiden, dan para menteri. Dalam keadaan yang kritis tersebut, sidang darurat kabinet diadakan dengan cepat, yang kemudian menghasilkan keputusan bahwa Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia menyerahkan mandat kepemimpinan mereka kepada Syafruddin Prawiranegara untuk mendirikan PDRI di Bukittinggi. Sebagai cadangan, sebuah exile government turut disiapkan di New Delhi, India, dengan Sudarsono, A.A. Maramis, dan L.N. Palar sebagai pemimpinnya, seandainya Prawiranegara gagal di Bukittinggi (Zed 2010). | Agresi militer kedua yang dilancarkan pasukan Belanda pada 1949 berakibat jatuhnya ibukota negara di Yogyakarta, disusul penangkapan presiden, wakil presiden, dan para menteri. Dalam keadaan yang kritis tersebut, sidang darurat kabinet diadakan dengan cepat, yang kemudian menghasilkan keputusan bahwa Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia menyerahkan mandat kepemimpinan mereka kepada Syafruddin Prawiranegara untuk mendirikan PDRI di Bukittinggi. Sebagai cadangan, sebuah exile government turut disiapkan di New Delhi, India, dengan Sudarsono, A.A. Maramis, dan L.N. Palar sebagai pemimpinnya, seandainya Prawiranegara gagal di Bukittinggi (Zed 2010). | ||
Hasil sidang darurat kabinet disampaikan kepada Prawiranegara dalam bentuk telegram, sehingga atas dasar itu ia melaksanakan rapat darurat untuk merampungkan gagasan mengenai PDRI. Peran sentral PDRI adalah sebagai penyambung berbagai kekuatan yang tersebar di Jawa dan Sumatera setelah dua kali agresi militer berlangsung, baik para tokoh perjuangan mempertahankan kemerdekaan maupun masyarakat luas. | Hasil sidang darurat kabinet disampaikan kepada Prawiranegara dalam bentuk telegram, sehingga atas dasar itu ia melaksanakan rapat darurat untuk merampungkan gagasan mengenai [[Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)|PDRI]]. Peran sentral [[Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)|PDRI]] adalah sebagai penyambung berbagai kekuatan yang tersebar di Jawa dan Sumatera setelah dua kali agresi militer berlangsung, baik para tokoh perjuangan mempertahankan kemerdekaan maupun masyarakat luas. | ||
Setelah keadaan menjadi normal pada Juli 1949, Prawiranegara dijemput oleh utusan dari Yogyakarta. Penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar (KMB) berangsur-angsur memulihkan kedaulatan Republik Indonesia. Maka, kepemimpinan dikembalikan pada Sukarno dan Mohammad Hatta. Kartodirdjo (2014) menyimpulkan bahwa tanpa PDRI, Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 1945 nyaris gagal dan hilang. | Setelah keadaan menjadi normal pada Juli 1949, Prawiranegara dijemput oleh utusan dari Yogyakarta. Penyelenggaraan [[Konferensi Meja Bundar|Konferensi Meja Bundar (KMB)]] berangsur-angsur memulihkan kedaulatan Republik Indonesia. Maka, kepemimpinan dikembalikan pada [[Soekarno|Sukarno]] dan [[Hatta|Mohammad Hatta]]. Kartodirdjo (2014) menyimpulkan bahwa tanpa [[Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)|PDRI]], Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 1945 nyaris gagal dan hilang. | ||
Penulis: Linda Sunarti | Penulis: Linda Sunarti |
Revision as of 11:44, 5 July 2023
Kota Bukittinggi, disebut Fort de Kock di era kolonial, saat ini merupakan kota terbesar kedua di Sumatera Barat. Selain dijuluki Parijs van Sumatra, kota ini juga menyimpan banyak memori sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Di samping menjadi “rahim” geografis kelahiran tokoh besar Mohammad Hatta, Bukittinggi juga pernah menjadi ibukota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), dari 19 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949.
Dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai presiden, PDRI dideklarasikan di Bukittinggi, berlanjut dengan pembentukan kabinet pada 22 Desember 1949 di Halaban, yang saat ini menjadi bagian dari Kabupaten Lima Puluh Kota. Jarak yang jauh antara Bukittinggi dan Halaban menjadi pertimbangan utama karena model pemerintahan PDRI berpindah-pindah demi menghindari pemantauan oleh pihak Belanda yang berupaya menganulir kemerdekaan Indonesia melalui agresi militer. Pengumuman berdirinya PDRI dilakukan melalui siaran radio miliki Angkatan Udara Republik Indonesia. Setidaknya delapan nagari (kampung) ditempati oleh rombongan pemerintahan darurat Prawiranegara itu. Terdapat satu nagari yang paling lama disinggahi oleh Prawiranegara, yaitu Bidar Alam di Solok Selatan, yakni selama kurang lebih tiga setengah bulan (Hendra 2018).
Keputusan untuk menunjuk Prawiranegara sebagai presiden dibuat setelah muncul kemungkinan jatuhnya Yogyakarta ke tangan pasukan Belanda, yang berakibat buruk bagi Republik Indonesia. Maka, Hatta diminta untuk segera membuat pemerintahan darurat di Sumatera, sebelum serangan tersebut benar-benar terjadi. Sesampainya rombongan Hatta, bersama dengan Prawiranegara, di Bukittinggi, Hatta mendapatkan telegram dari Komisi Perserikatan Bangsa-bangsa bahwa ia harus kembali ke Yogyakarta, karena Belanda bersedia untuk berunding kembali. Prawiranegara, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, menetap di Bukittinggi. Setelah perundingan di Yogyakarta gagal dan agresi militer kembali dimulai, sejumlah tokoh pemimpin Republik Indonesia ditangkap dan diasingkan, maka kepemimpinan beralih kepada Prawiranegara sebagai menteri senior yang tersisa (Prawiranegara 1987).
Agresi militer kedua yang dilancarkan pasukan Belanda pada 1949 berakibat jatuhnya ibukota negara di Yogyakarta, disusul penangkapan presiden, wakil presiden, dan para menteri. Dalam keadaan yang kritis tersebut, sidang darurat kabinet diadakan dengan cepat, yang kemudian menghasilkan keputusan bahwa Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia menyerahkan mandat kepemimpinan mereka kepada Syafruddin Prawiranegara untuk mendirikan PDRI di Bukittinggi. Sebagai cadangan, sebuah exile government turut disiapkan di New Delhi, India, dengan Sudarsono, A.A. Maramis, dan L.N. Palar sebagai pemimpinnya, seandainya Prawiranegara gagal di Bukittinggi (Zed 2010).
Hasil sidang darurat kabinet disampaikan kepada Prawiranegara dalam bentuk telegram, sehingga atas dasar itu ia melaksanakan rapat darurat untuk merampungkan gagasan mengenai PDRI. Peran sentral PDRI adalah sebagai penyambung berbagai kekuatan yang tersebar di Jawa dan Sumatera setelah dua kali agresi militer berlangsung, baik para tokoh perjuangan mempertahankan kemerdekaan maupun masyarakat luas.
Setelah keadaan menjadi normal pada Juli 1949, Prawiranegara dijemput oleh utusan dari Yogyakarta. Penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar (KMB) berangsur-angsur memulihkan kedaulatan Republik Indonesia. Maka, kepemimpinan dikembalikan pada Sukarno dan Mohammad Hatta. Kartodirdjo (2014) menyimpulkan bahwa tanpa PDRI, Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 1945 nyaris gagal dan hilang.
Penulis: Linda Sunarti
Referensi
Hendra, Jose (2018). “Bela Negara dari Belantara Minangkabau”, Historia, 23 Agustus 2018. https://historia.id/politik/articles/bela-negara-dari-belantara-minangkabau-PGpBM/page/1.
Kartodirdjo, Sartono (2014). Pemikiran dan Perkembangan Histriografi Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Prawiranegara, Syafruddin (1987). “Recollections of My Career”, Bulletin of Indonesian Economic Studies 23(3): 100-108.
Zed, Mestika (2010). “PDRI sebagai Sumber Pembelajaran TT Hari Belanegara: Refleksi dan Tindakan”, Makalah Pengantar untuk Seminar Sehari dalam rangka Peringatan PDRI, 9 Desember 2010.