Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) adalah suatu pemerintahan yang dibentuk dalam rangka menyelamatkan legitimasi konstitusional eksistensi negara Republik Indonesia setelah pemimpin utamanya, yaitu Presiden, Wakil Presiden, serta sejumlah menteri ditawan pada Agresi Militer Belanda II. Secara yuridis, legalitas PDRI didasari oleh Instruksi Presiden tanggal 19 Desember 1948 yang memberi kuasa kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera (Husein dkk. 1992: 40). Berdasarkan telegram Pemerintah Pusat itu, kabarnya tidak diterima secara langsung oleh Syafruddin Prawiranegara, namun setelah mendengar siaran radio, bahwa Yogyakarta telah diduduki oleh Belanda, Syafruddin Prawiranegara bersama pejabat Republik lainnya di Bukittinggi berinisiatif mendirikan PDRI.
PDRI resmi berdiri di Halaban (daerah Limapuluh Kota) pada tanggal 22 Desember 1948. Kabinet PDRI adalah Kabinet Perang, dengan Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai Ketua merangkap Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri (ad interim); Selanjutnya Mr. Teuku Mohammad Hasan (Wakil Ketua merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama); Mr. St. Mohammad Rasjid (Menteri Keamanan, merangkap Menteri Sosial, Pembangunan, dan Perburuhan); Mr. Lukman Hakim (Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakinan); Ir. Mananti Sitompul (Menteri Pekerajaan Umum merangkap Menteri Kesehatan; dan Ir. Indratjaja (Menteri Perhubungan merangkap Menteri Kemakmuran). Pejabat PDRI lainnya adalah Marjono Danubroto (Sekretaris PDRI), Jenderal Soedirman (Panglima Besar Angkatan Perang RI), Kolonel A.H. Nasution (Panglima Territorial Jawa-PTTJ), dan Kolonel Hidayat (Panglima Territorium Sumatera-PTTS). Jabatan Kepala Staf Angkatan Laut dipercayakan kepada Kolonel Laut M. Nazir; Kepala Staf Angkatan Udara kepada Komodor Muda Hubertus Soejono; dan Kepala Jawatan Kepolisian Negara dijabat oleh Komisaris Besar Umar Said (Husein dkk. 1992: 38-39; Imran 2003: 83). Dalam perjalanan PDRI, jabatan Menteri Luar Negeri diserahkan kepada Mr. A.A. Maramis, dan menugaskannya membawa masalah Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kemudian ditunjuk pula perwakilan PDRI di Jawa, di bawah pimpinan Sukiman, Kasimo, dan Mr. Susanto. Sejak saat itu, PDRI berperan penting memimpin perjuangan melawan Belanda dan diakui kaum republik di seluruh Indonesia (Kahin 2008: 213).
Tujuan utama PDRI adalah melakukan koordinasi pemerintahan, melanjutkan perang gerilya, memupuk moril perjuangan dan semangat rakyat, sehingga republik terselamatkan (Sumatupang 1978: 210). PDRI bersifat mobil. Setelah diproklamasikan di Halaban, Syafruddin Prawiranegara dan rombongan Kabinet PDRI (24 Desember 1948) berangkat menuju Bidar Alam (Solok Selatan) dikawal oleh tentara, dan dilengkapi operator stasiun radio (Zed 1997: 115). Kolonel Hidayat dan Komando Militer Sumatera bergerak ke utara menuju Aceh untuk membangun markas Komando Sumatera. Mr. St. Mohammad Rasjid yang juga anggota PDRI menjalankan pemerintahan Sumatera Barat dari Kototinggi, dekat Suliki, arah utara Payakumbuh (Kahin 1997: 258).
Untuk memudahkan komando perjuangan, maka pemerintahan di masa darurat itu, khususnya wilayah Sumatera, menggunakan sistem komando militer (ketetapan PTTS No. WKS/SJ/Ist.038 tanggal 2 Januari 1949). Kepala-kepala daerah dijadikan sebagai Gubernur Militer, seperti Mr. Moh. Rasyid sebagai Gubernur Militer Sumatra Barat (sekaligus menteri PDRI); Tengku Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh; Dr. F.L. Tobing sebagai Gubernur Militer Sumatra Timur dan Tapanuli; R.M. Utoyo sebagai Gubernur Militer Riau; dan A.K. Gani menjadi Gubernur Militer Sumatra Selatan. Corak pemerintahan militer dimaksudkan membantu pelaksanaan pertahanan dan efektifnya perjuangan. Sistem ini dikenal dengan “perang rakyat semesta” yang melibatkan masyarakat secara total di bawah supervisi Angkatan Perang Republik Indonesia (Enar 1971: 213; Husein et.al. 1992: 36; Asnan dkk. 2003: 206).
Sistem “perang rakyat semesta” atau gerilya didukung oleh lembaga-lembaga bentukan pemerintah, seperti Pusat Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (P3PDRI), Markas Pertahanan Rakyat Daerah dan Kota (MPRD/MPRK), dan Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK). Pada 15 Januari 1949, di tengah upaya menstabilkan dan menguatkan komando perjuangan terjadi “Peristiwa Situjuh”, yaitu serangan Belanda kepada pemimpin republik ketika rapat konsolidasi di Situjuh. Dalam serangan Belanda tersebut, gugur 69 orang pejuang. Ikut gugur adalah Chatib Sulaiman (Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah-MPRK), Arisun (Bupati Limapuluh Kota), Kapten Zainuddin “Tembak”, dan Mayor Munir Latif (Kahin 1997: 260-261).
Setelah Peristiwa Situjuh itu, konsolidasi di antara komponen perjuangan berjalan jauh lebih efektif. Eksistensi PDRI mendapat perlindungan penuh dari Gubernur Militer, Bupati Militer, Wedana Militer, dan Camat Militer. Para pengendali lapangan ini diberi pangkat Tituler, sedangkan Kepala Nagari dinamakan Wali Nagari Perang. Hal ini didukung pula oleh keberadaan MPRD/MPRK. MPRD dan MPRK adalah organisasi gerilya yang anggotanya terdiri dari para pemuda yang bergabung dalam BPNK/PMT (Badan Pengawal Nagari dan Kota/Pasukan Mobil Teras). PDRI memang mengeluarkan ketetapan, bahwa Gubernur Militer diberi tugas rangkap, yaitu mengurus pertahanan dan memegang pemerintahan sipil (Enar, 1978: 221; Kahin, 2008: 223-226).
Ketua PDRI, Syafruddin Prawiranegara menjadikan Bidar Alam (Solok Selatan) sebagai pos Komando PDRI (14 Januari 1949 - 18 April 1949) dan melakukan siaran-siaran radio secara rutin dari Stasiun Radio Bidar Alam. Kontak-kontak dilakukan dengan sender-sender Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di Sumatera dan Jawa pada malam hari, mulai pukul 22.00 hingga menjelang pukul 04.00 pagi. Konsistensi pemberitaan PDRI melalui radio menyebabkan Belanda mendapat tekanan internasional atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Di Jawa, aksi serangan militer republik berhasil pula menduduki Yogyakarta selama 6 jam pada tanggal 1 Maret 1949, yang memaksa Belanda melakukan perundingan untuk berkompromi dengan pemimpin republik.
Upaya kompromi Belanda tidak dilakukan dengan PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara di Sumatera atau panglima Jenderal Sudirman di Jawa, tapi hubungan dilakukan dengan kepemimpinan Sukarno-Hatta. Pada bulan April 1949 berlangsung pertemuan antara delegasi pimpinan Mr. Mohammad Roem dan Dr. J.H. van Royen, dan hasilnya, Belanda mengizinkan pemimpin Republik kembali ke Yogyakarta (22 Juni 1949). Pembicaraan Roem-Royen menyetujui pula pelaksanaan Konferensi Meja Bundar (KMB) antara wakil Republik Indonesia bersama-sama wakil Bijeenkomst voor Federale Overleg atau disingkat BFO (Majelis Permusyawaratan Federal) dengan pemerintah Belanda, untuk penyerahan kedaulatan kepada Indonesia (Kahin 2003: 237).
Perundingan dan persetujuan Roem-Royen mengecewakan kepemimpinan sipil PDRI di bawah Syafruddin Prawiranegara dan kepemimpinan militer di bawah Jenderal Soedirman. Bagi mereka, PDRI yang seharusnya melaksanakan perundingan dengan Belanda, karena secara legalitas PDRI adalah pemerintahan yang sah, dan pemimpin republik yang ditahan tidak mengetahui realitas Belanda di lapangan. Namun, demi keutuhan bangsa dan negara, Syafruddin Prawirnegara dalam musyawarah besar PDRI di Sumpur Kudus menyatakan bersedia menyerahkan mandat. Ketua PDRI berada di Sumpur Kudus selama 60 hari (di Calau, 22 April 1949 - 4 Mei 1949 dan Silantai 4 Mei 1949 - 19 Juni 1949). Setelah itu, ia mengomandoi PDRI di Kototinggi hingga 10 Juli 1949 (22 hari). Syafruddin Prawiranegara mengembalikan madatnya dalam rapat kabinet yang dipimpin Mohammad Hatta pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta.
Penulis: Nopriyasman
Instansi: Universitas Andalas
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan
Referensi
Asnan, Gusti., dkk., 2003. Sejarah Perjuangan Rakyat Kabupaten Solok: 1945-1949. Padang: DHD Sumatera Barat – Pemda Kabupaten Solok.
Enar, Fatimah, dkk. 1978. Sumatera Barat 1945-1949. Padang: Pemerintah Daerah Sumatera Barat.
Husein, Ahmad., dkk.. 1992. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau/Riau 1945-1950. Jilid II. Jakarta: BPSIM.
Imran, Amrin, dkk.. 2003. PDRI Dalam Perang Kemerdekaan. Jakarta: Citra Pendidikan.
Kahin, Audrey. 1997. Perjuangan Kemerdekaan Sumatera Barat Dalam Revolusi Nasional Indonesia 1945-1950. Jakarta: Angsana Mamanda.
Kahin, Audrey. 2008. Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Zed, Mestika. 1997. Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Simatupang, T.B., 1961. Laporan dari Banaran. Djakarta: PT Pembangunan.