Djamaluddin Adinegoro: Difference between revisions
mNo edit summary |
No edit summary |
||
Line 8: | Line 8: | ||
Perihal Inggris, salah satu musuh utama Jerman, Adinegoro menulis analisisnya titimangsa 28 Juni 1932, masih di rubrik “''Pemandangan Loear Negeri''” surat kabar ''Pewarta Deli'': “Inggris dalam kepajahan besar. Tengok kiri, tengok kanan, keluhatan moesoeh, kelihatan moeka sadja disekelilingnja, tidak ada juga membalas muka manis John Bull itoe dengan senjoem… British Empire soedah bertambah kaboer tjahajanja, bintang Engeland moelai toeroen” (Raditya dalam Zen, 2007: 121). | Perihal Inggris, salah satu musuh utama Jerman, Adinegoro menulis analisisnya titimangsa 28 Juni 1932, masih di rubrik “''Pemandangan Loear Negeri''” surat kabar ''Pewarta Deli'': “Inggris dalam kepajahan besar. Tengok kiri, tengok kanan, keluhatan moesoeh, kelihatan moeka sadja disekelilingnja, tidak ada juga membalas muka manis John Bull itoe dengan senjoem… British Empire soedah bertambah kaboer tjahajanja, bintang Engeland moelai toeroen” (Raditya dalam Zen, 2007: 121). | ||
Sebenarnya, Adinegoro bukanlah nama asli. Dia bukan orang Jawa. Datuk Madjo Sutan adalah gelar adatnya sebagai putera Sumatra, sedangkan nama aslinya Djamaludin. Lahir di Talawi, Sumatra Barat titimangsa 14 Agustus 1904. Djamal ialah saudara Mohammad Yamin tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro seorang demang bernama Usman dengan gelar Baginda Chatib dan ibunya Bernama Sadarijah, sedangkan ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah (Soebagijo, 1987: 3). Ada alasan mengapa Djamaludin menambahkan Adinegoro pada Namanya. Sebagai anak demang, dia berhak sekolah di ''School tot Opleiding van Inlandsche Artsen'' (STOVIA), sekolah dokter bumiputra. Siswa STOVIA tidak diperbolehkan menulis, padahal saat itu Djamal sudah membantu keredaksian ''Tjaja Hindia'', surat kabarnya Datuk Temenggung. Bosnya inilah yang menyarankan agar Djamaludin menambahkan nama samara berbau Jawa, yang bertujuan selain supaya tidak diketahui pihak sekolah, juga agar cepat masyhur. Sebelum di STOVIA, Djamaludin Adinegoro sekolah di ''Europese Lagere School'' (ELS) di Fort de Kock atau Bukittinggi hingga 1916 (Dhesita, 2021: 29). | Sebenarnya, Adinegoro bukanlah nama asli. Dia bukan orang Jawa. Datuk Madjo Sutan adalah gelar adatnya sebagai putera Sumatra, sedangkan nama aslinya Djamaludin. Lahir di Talawi, Sumatra Barat titimangsa 14 Agustus 1904. Djamal ialah saudara [[Mohammad Yamin]] tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro seorang demang bernama Usman dengan gelar Baginda Chatib dan ibunya Bernama Sadarijah, sedangkan ibu [[Muhammad Yamin]] adalah Rohimah (Soebagijo, 1987: 3). Ada alasan mengapa Djamaludin menambahkan Adinegoro pada Namanya. Sebagai anak demang, dia berhak sekolah di [[School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA)|''School tot Opleiding van Inlandsche Artsen'' (STOVIA)]], sekolah dokter bumiputra. Siswa [[School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA)|STOVIA]] tidak diperbolehkan menulis, padahal saat itu Djamal sudah membantu keredaksian ''Tjaja Hindia'', surat kabarnya Datuk Temenggung. Bosnya inilah yang menyarankan agar Djamaludin menambahkan nama samara berbau Jawa, yang bertujuan selain supaya tidak diketahui pihak sekolah, juga agar cepat masyhur. Sebelum di [[School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA)|STOVIA]], Djamaludin Adinegoro sekolah di [[Europeesche Lagere School (ELS) Sekolah Dasar Eropa|''Europese Lagere School'' (ELS)]] di Fort de Kock atau Bukittinggi hingga 1916 (Dhesita, 2021: 29). | ||
Adinegoro tidak sempat menjadi dokter. Sekolahnya terhenti karena dia lebih keranjingan dengan jagat jurnalistik. Adinegoro memulai karier di majalah ''Tjaja Hindia'', sebagai pembantu tetap, sejak 1922 ketika usianya 18 tahun. Selanjutnya antara 1926-1932, Adinegoro bergelut Bersama ''Bintang Timoer'', ''Pandji Pustaka'', serta ''Pewarta Deli''. Dia memimpin ''Pewarta Deli'' sejak usia 28 tahun hingga tahun 1942, tatkala Jepang datang dan berkuasa di Indonesia. Di masa pendudukan Jepang, Adinegoro mengepalai penerbitan ''Sumatora Shimbun'' selama dua tahun di Medan. Selanjutnya, di zaman revolusi, Adinegoro menerbitkan ''Kedaulatan Rakyat'' di Bukittinggi (Post, 2010: 472, 475). | Adinegoro tidak sempat menjadi dokter. Sekolahnya terhenti karena dia lebih keranjingan dengan jagat jurnalistik. Adinegoro memulai karier di majalah ''Tjaja Hindia'', sebagai pembantu tetap, sejak 1922 ketika usianya 18 tahun. Selanjutnya antara 1926-1932, Adinegoro bergelut Bersama ''Bintang Timoer'', ''Pandji Pustaka'', serta ''Pewarta Deli''. Dia memimpin ''Pewarta Deli'' sejak usia 28 tahun hingga tahun 1942, tatkala Jepang datang dan berkuasa di Indonesia. Di masa pendudukan Jepang, Adinegoro mengepalai penerbitan ''Sumatora Shimbun'' selama dua tahun di Medan. Selanjutnya, di zaman revolusi, Adinegoro menerbitkan ''Kedaulatan Rakyat'' di Bukittinggi (Post, 2010: 472, 475). | ||
Setelah Belanda melancarkan aksi militer pertama titimangsa 21 Juli 1947, Adinegoro mengungsi ke Jakarta, lalu bergabung dengan Soepomo, Mohammad Noor, Soekardjo Wirjopranoto, dan Jusuf Wibisono untuk mendirikan majalah berasaskan ''Republikein'', ''Mimbar Indonesia''. Kemudian, dia memimpin ''Pers Bureau Indonesia'' tahun 1951. Terakhir, dia bekerja di Kantor Berita Nasional (Antara) sebagai kepala bidang penelitian. Adinegoro mengabdi di ''Antara'' hingga akhir hayatnya (Said, 1988: 87). | Setelah Belanda melancarkan aksi militer pertama titimangsa 21 Juli 1947, Adinegoro mengungsi ke Jakarta, lalu bergabung dengan [[Soepomo]], Mohammad Noor, Soekardjo Wirjopranoto, dan Jusuf Wibisono untuk mendirikan majalah berasaskan ''Republikein'', ''Mimbar Indonesia''. Kemudian, dia memimpin ''Pers Bureau Indonesia'' tahun 1951. Terakhir, dia bekerja di Kantor Berita Nasional (Antara) sebagai kepala bidang penelitian. Adinegoro mengabdi di ''Antara'' hingga akhir hayatnya (Said, 1988: 87). | ||
Adinegoro adalah seorang pejuang pers nan idealis. Tahun 1958 tatkala mengenang sekilas perjuangan nasional, Adinegoro menuturkan, | Adinegoro adalah seorang pejuang pers nan idealis. Tahun 1958 tatkala mengenang sekilas perjuangan nasional, Adinegoro menuturkan, | ||
Line 18: | Line 18: | ||
::“Pers jang sehat hanja akan dapat subur tumbuhnja dan terjamin perkembangannja menurut sewajarnja dalam suasana jang bebas dan tidak terbatas. Kalau fakta tidak boleh lagi diberitakan setjara jang sebenarnja, objektif, actual, tak dicampuradukkan dengan opini, kalau sudah dilarang pula critiek jang ''zakelijk'', kritik jang konstruktif, jang bukan berupa fitnahan atau penghinaan dan pengacauan, suara bebas tak dapat dilancarkan lagi oleh pers, maka kehidupan pers itu taka da djaminan lagi akan mendjadi sehat dan ''zelf-critiek'' akan laju dan mati dalam dada manusia Indonesia” (Sinaga 2014: 46). | ::“Pers jang sehat hanja akan dapat subur tumbuhnja dan terjamin perkembangannja menurut sewajarnja dalam suasana jang bebas dan tidak terbatas. Kalau fakta tidak boleh lagi diberitakan setjara jang sebenarnja, objektif, actual, tak dicampuradukkan dengan opini, kalau sudah dilarang pula critiek jang ''zakelijk'', kritik jang konstruktif, jang bukan berupa fitnahan atau penghinaan dan pengacauan, suara bebas tak dapat dilancarkan lagi oleh pers, maka kehidupan pers itu taka da djaminan lagi akan mendjadi sehat dan ''zelf-critiek'' akan laju dan mati dalam dada manusia Indonesia” (Sinaga 2014: 46). | ||
Semasa hidupnya, Adinegoro cukup dekat dengan banyak kalangan, baik dengan pemerintah Hindia Belanda, Jepang, dan tentu saja kaum pejuang. Di masa kolonial, Adinegoro pernah duduk sebagai Anggota Kotapraja (''Gemeente'') Medan, sampai menjadi ''Wethouder'' (Anggota Dewan Kotapraja) dan ''Loco-Burgemeester'' (Wakil Wali Kota). Tatkala Jepang membentuk ''Sumatora'' ''Chuoo Sangi In'', semacam Badan Perwakilan Rakyat. Adinegoro menjabat sekretaris jenderal. Pasca kemerdekaan, dia diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Sumatra serta Komisaris Besar RI di Bukittinggi (Abdurrachman, 2002: 237). | Semasa hidupnya, Adinegoro cukup dekat dengan banyak kalangan, baik dengan pemerintah Hindia Belanda, Jepang, dan tentu saja kaum pejuang. Di masa kolonial, Adinegoro pernah duduk sebagai Anggota Kotapraja (''Gemeente'') Medan, sampai menjadi ''Wethouder'' (Anggota Dewan Kotapraja) dan ''Loco-Burgemeester'' (Wakil Wali Kota). Tatkala Jepang membentuk ''Sumatora'' ''Chuoo Sangi In'', semacam Badan Perwakilan Rakyat. Adinegoro menjabat sekretaris jenderal. Pasca kemerdekaan, dia diangkat oleh Presiden [[Sukarno]] menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Sumatra serta Komisaris Besar RI di Bukittinggi (Abdurrachman, 2002: 237). | ||
Selain menjadi wartawan dan birokrat, Adinegoro juga seorang pendidik dan penulis. Tercatat, dia adalah seorang pendiri Perguruan Tinggi Jurnalistik di Jakarta, serta ikut membangun Fakultas Publisistik dan Jurnalistik di Universitas Padjajaran Bandung. Selain itu, Adinegoro telah menghasilkan puluhan buku pengetahuan. Dan meskipun Adinegoro ialah seorang moderat dan cukup lunak, tetapi dia tidak lupa menjalin komunikasi dan akseptabel di kalangan kaum nasionalis. Dia wafat titimangsa 8 Januari 1967 di kota Jakarta. Pada 1974, Adinegoro dianugerahi gelar Perintis Pers Indonesia. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai badan tertinggi insan pers nasional, menyediakan tanda penghargaan tertinggi bagi karya jurnalistik terbaik setiap tahunnya, yaitu Hadiah Adinegoro (Soebagijo, 1980: 14). | Selain menjadi wartawan dan birokrat, Adinegoro juga seorang pendidik dan penulis. Tercatat, dia adalah seorang pendiri Perguruan Tinggi Jurnalistik di Jakarta, serta ikut membangun Fakultas Publisistik dan Jurnalistik di Universitas Padjajaran Bandung. Selain itu, Adinegoro telah menghasilkan puluhan buku pengetahuan. Dan meskipun Adinegoro ialah seorang moderat dan cukup lunak, tetapi dia tidak lupa menjalin komunikasi dan akseptabel di kalangan kaum nasionalis. Dia wafat titimangsa 8 Januari 1967 di kota Jakarta. Pada 1974, Adinegoro dianugerahi gelar Perintis Pers Indonesia. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai badan tertinggi insan pers nasional, menyediakan tanda penghargaan tertinggi bagi karya jurnalistik terbaik setiap tahunnya, yaitu Hadiah Adinegoro (Soebagijo, 1980: 14). |
Revision as of 23:02, 6 August 2023
Djamaluddin Adinegoro adalah pionir jurnalistik di Indonesia. Persentuhannya dengan dunia jurnalisme dimulai ketika ia belajar ke Jerman pada paruh kedua dekade 1920-an. Periode kedatangannya merupakan masa sukar di mana rakyat di Republik Weimar sedang dilanda inflasi parah. Sementara itu, Adolf Hitler di Muenchen sedang bertungkus-lumus merintis embrio Partai Nazi Jerman sebagai jejaring politik dan militernya. Kekalahan Jerman dari Sekutu di Perang Dunia I yang berakhir tahun 1919 menjadi alasan untuk balas dendam. Adinegoro mengikuti dengan seksama pelbagai gejala politik yang terjadi di Jerman dan Eropa semasa dia melanjutkan studinya di bekas wilayah kerajaan Prusia itu. Pada kurun waktu 1926-1930, Adinegoro menuntut ilmu di sekolah tinggi di Berlin, Muenchen, dan Wurzburg. Di Jerman, Adinegoro mendalami Ilmu Jurnalistik Geografi, Kartografi, dan Geopolitik. Selain itu, dia juga mendapat mandat sambilan sebagai wartawan freelance untuk surat kabar Pewarta Deli. Dari Jerman, Adinegoro melanjutkan petualangan intelektualnya ke Belanda untuk studi di bidang Ilmu Sastra dan Jurnalistik (Adam, 2003: 219-220).
Kembali ke Tanah Air, Adinegoro didaulat memimpin Pandji Pustaka pada pertengahan 1931, tetapi jabatan itu hanya diembannya enam bulan. Setelah menyelesaikan buku Melawat ke Barat, Adinegoro dipercaya mengelola Pewarta Deli di Medan sejak 1932 hingga 1942. Melalui rubrik “Pemandangan Loear Negeri”, Adinegoro meneroka secara lugas perkembangan situasi global. Tatkala Partai Nazi mulai mencaplok negeri-negeri tetangganya, Ketika Fasis Italia berperang di Abyssinia, ketika Fasis Jepang menghantam Tiongkok, Ketika Perang Dunia II sudah memunculkan tanda-tanda kedatangan. Simak tulisan Adinegoro ihwal aksi Gerakan anti-Yahudi Hitler di Pewarta Deli, 26 Agustus 1932:
- “Party National Socialisten telah menodoeh dan mempersalahkan bangsa Jahoedi tentang sebab-sebab kesoekaran jang terdjadi diwaktoe ini. Soerat kabar Der Angriff, kepoenjaan kaoem Nazi telah memoeatkan kritik jang hebat….., dimana diterangkan, bahwa pers kepoenjaan kaoem Jahoedi dipersalahkan telah menghasoet, soepaja terdjadi peperangan politiek serta mempengaroehi pemerintah” (Raditya dalam Zen, 2007: 120).
Perihal Inggris, salah satu musuh utama Jerman, Adinegoro menulis analisisnya titimangsa 28 Juni 1932, masih di rubrik “Pemandangan Loear Negeri” surat kabar Pewarta Deli: “Inggris dalam kepajahan besar. Tengok kiri, tengok kanan, keluhatan moesoeh, kelihatan moeka sadja disekelilingnja, tidak ada juga membalas muka manis John Bull itoe dengan senjoem… British Empire soedah bertambah kaboer tjahajanja, bintang Engeland moelai toeroen” (Raditya dalam Zen, 2007: 121).
Sebenarnya, Adinegoro bukanlah nama asli. Dia bukan orang Jawa. Datuk Madjo Sutan adalah gelar adatnya sebagai putera Sumatra, sedangkan nama aslinya Djamaludin. Lahir di Talawi, Sumatra Barat titimangsa 14 Agustus 1904. Djamal ialah saudara Mohammad Yamin tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro seorang demang bernama Usman dengan gelar Baginda Chatib dan ibunya Bernama Sadarijah, sedangkan ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah (Soebagijo, 1987: 3). Ada alasan mengapa Djamaludin menambahkan Adinegoro pada Namanya. Sebagai anak demang, dia berhak sekolah di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), sekolah dokter bumiputra. Siswa STOVIA tidak diperbolehkan menulis, padahal saat itu Djamal sudah membantu keredaksian Tjaja Hindia, surat kabarnya Datuk Temenggung. Bosnya inilah yang menyarankan agar Djamaludin menambahkan nama samara berbau Jawa, yang bertujuan selain supaya tidak diketahui pihak sekolah, juga agar cepat masyhur. Sebelum di STOVIA, Djamaludin Adinegoro sekolah di Europese Lagere School (ELS) di Fort de Kock atau Bukittinggi hingga 1916 (Dhesita, 2021: 29).
Adinegoro tidak sempat menjadi dokter. Sekolahnya terhenti karena dia lebih keranjingan dengan jagat jurnalistik. Adinegoro memulai karier di majalah Tjaja Hindia, sebagai pembantu tetap, sejak 1922 ketika usianya 18 tahun. Selanjutnya antara 1926-1932, Adinegoro bergelut Bersama Bintang Timoer, Pandji Pustaka, serta Pewarta Deli. Dia memimpin Pewarta Deli sejak usia 28 tahun hingga tahun 1942, tatkala Jepang datang dan berkuasa di Indonesia. Di masa pendudukan Jepang, Adinegoro mengepalai penerbitan Sumatora Shimbun selama dua tahun di Medan. Selanjutnya, di zaman revolusi, Adinegoro menerbitkan Kedaulatan Rakyat di Bukittinggi (Post, 2010: 472, 475).
Setelah Belanda melancarkan aksi militer pertama titimangsa 21 Juli 1947, Adinegoro mengungsi ke Jakarta, lalu bergabung dengan Soepomo, Mohammad Noor, Soekardjo Wirjopranoto, dan Jusuf Wibisono untuk mendirikan majalah berasaskan Republikein, Mimbar Indonesia. Kemudian, dia memimpin Pers Bureau Indonesia tahun 1951. Terakhir, dia bekerja di Kantor Berita Nasional (Antara) sebagai kepala bidang penelitian. Adinegoro mengabdi di Antara hingga akhir hayatnya (Said, 1988: 87).
Adinegoro adalah seorang pejuang pers nan idealis. Tahun 1958 tatkala mengenang sekilas perjuangan nasional, Adinegoro menuturkan,
- “Pers jang sehat hanja akan dapat subur tumbuhnja dan terjamin perkembangannja menurut sewajarnja dalam suasana jang bebas dan tidak terbatas. Kalau fakta tidak boleh lagi diberitakan setjara jang sebenarnja, objektif, actual, tak dicampuradukkan dengan opini, kalau sudah dilarang pula critiek jang zakelijk, kritik jang konstruktif, jang bukan berupa fitnahan atau penghinaan dan pengacauan, suara bebas tak dapat dilancarkan lagi oleh pers, maka kehidupan pers itu taka da djaminan lagi akan mendjadi sehat dan zelf-critiek akan laju dan mati dalam dada manusia Indonesia” (Sinaga 2014: 46).
Semasa hidupnya, Adinegoro cukup dekat dengan banyak kalangan, baik dengan pemerintah Hindia Belanda, Jepang, dan tentu saja kaum pejuang. Di masa kolonial, Adinegoro pernah duduk sebagai Anggota Kotapraja (Gemeente) Medan, sampai menjadi Wethouder (Anggota Dewan Kotapraja) dan Loco-Burgemeester (Wakil Wali Kota). Tatkala Jepang membentuk Sumatora Chuoo Sangi In, semacam Badan Perwakilan Rakyat. Adinegoro menjabat sekretaris jenderal. Pasca kemerdekaan, dia diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Sumatra serta Komisaris Besar RI di Bukittinggi (Abdurrachman, 2002: 237).
Selain menjadi wartawan dan birokrat, Adinegoro juga seorang pendidik dan penulis. Tercatat, dia adalah seorang pendiri Perguruan Tinggi Jurnalistik di Jakarta, serta ikut membangun Fakultas Publisistik dan Jurnalistik di Universitas Padjajaran Bandung. Selain itu, Adinegoro telah menghasilkan puluhan buku pengetahuan. Dan meskipun Adinegoro ialah seorang moderat dan cukup lunak, tetapi dia tidak lupa menjalin komunikasi dan akseptabel di kalangan kaum nasionalis. Dia wafat titimangsa 8 Januari 1967 di kota Jakarta. Pada 1974, Adinegoro dianugerahi gelar Perintis Pers Indonesia. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai badan tertinggi insan pers nasional, menyediakan tanda penghargaan tertinggi bagi karya jurnalistik terbaik setiap tahunnya, yaitu Hadiah Adinegoro (Soebagijo, 1980: 14).
Penulis: Muhammad Iqbal
Referensi:
Adam, Ahmat. (2003). Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, 1855-1913. terj.: Amarzan Loebis dan Mien Joebhaar. Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, dan Perwakilan KITLV-Jakarta.
Dhesita, Syela Joe. (2021). “Adinegoro Pelopor Perjuangan Pena”, dalam Keraton: Journal of History Education and Culture, Vol 3, No 1. http://journal.univetbantara.ac.id/index.php/keraton/article/view/1612
I. N., Soebagijo. (1980). Jagad Wartawan Indonesia. Jakarta: Sapdodadi.
I. N., Soebagijo. (1987). Adinegoro: Pelopor Jurnalistik Indonesia. Jakarta: Haji Masagung.
N. Raditya, Iswara, “Djamaludin Adinegoro: ‘Satoe kemenangan bagi Rakjat!’” dalam Taufik Rahzen, dkk. (2007). Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia. Jakarta: Blora Institute dan [i:boekoe] Indonesia Buku. hlm. 120-123.
Post, Peter, William H. Frederick, Iris Heidebrink, dan Shigeru Sato (eds.). (2010). The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War: In Cooperation with the Netherlands Institute for War Documentation. Leiden: Brill.
Said, Tribuana. (1988). Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. Jakarta: Haji Masagung.
Sinaga, Kartika Sari Dewi. (2014). “Peranan Adi Negoro dalam Perkembangan Pers di Kota Medan (1932-1949)”. Skripsi. Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan.
Surjomihardjo, Abdurrachman, dkk. (2002). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.