Muhammad Yamin

From Ensiklopedia

Muhammad Yamin adalah pribadi dengan banyak talenta. Ia politisi, ahli hukum, sastrawan, pemikir sejarah, ahli bahasa. Ia juga tokoh pergerakan nasional serta pernah menjadi Menteri Kehakiman, Menteri Pendidikan, Menteri Sosial dan Kebudayaan, Menteri Penerangan, serta Ketua Dewan Perancang Nasional. Yamin juga berperan dalam penyusunan konsep dasar negara dan konstitusi Indonesia.

Lingkungan budaya tempat Yamin dilahirkan mendorong diperkenalkannya pendidikan Barat. Kondisi ini berkaitan dengan upaya Belanda untuk memperlancar administrasi pemerintahan yang menunjang kegiatan ekonomi. Belanda menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi untuk administrasi dan diplomasi sehingga meningkatkan minat orang Minang terhadap pekerjaan administrasi yang memberi kekayaan, prestise dan wibawa tertentu pada pekerjanya (Abdullah 1984: 69).

Dalam situasi dan kondisi masyarakat Minangkabau semacam ini Muhammad Yamin dilahirkan pada 23 Agustus 1903 di Talawi, Sawahlunto, Sumatra Barat. Ayah Muhammad Yamin, yaitu Oesman gelar Bagindo Khatib, adalah seorang koffeiepakhuismeerster (mantri kopi) di Talawi yang juga seorang kepala adat. Ibunda M. Yamin bernama Siti Saadah, perempuan asal Solok. Sebagai seorang koffeiepakhuismeerster, bisa diduga bila Bagindo Khatib peduli pada pendidikan anak-anaknya.   

Yamin karena itu tumbuh sebagai anak dalam lingkungan sosial dimana semangat pembaruan pendidikan dan pemikiran sedang berlangsung di masyarakat, termasuk pemikiran baru yang mulai lahir sebagai dampak dari kemajuan di bidang pendidikan itu sendiri, yaitu ide-ide baru mengenai identitas Indonesia. Yamin kemudian juga tentu tahu dengan kebijakan pemerintah kolonial yang masih memberlakukan sistem Tanam Paksa di Sumatera Barat hingga tahun 1908, meskipun seharusnya sudah dihapus pada 1870  di seluruh Jawa dan Sumatera. Ia juga tumbuh dalam suasana ketika reaksi terhadap penggantian Tanam Paksa dengan sistem belasting (semacam iuran paksa dari rakyat) berujung pada perlawanan senjata rakyat terhadap Belanda.  

Muhammad Yamin menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmodjo, putri seorang bangsawan dari Kadilangu Demak pada 1934. Mereka dikaruniai satu orang putra, Dang Rahadian Sinayangsih Yamin yang kemudian menikah dengan Gusti Raden Ayu Retno Satuti, putri tertua dari Mangkunegoro VIII.

Awalnya, Yamin bersekolah di Volkschool (Sekolah Rakyat) yang menggunakan bahasa  Melayu sebagai bahasa pengantar pembelajaran. Setelah itu, ia pindah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) yang juga setara Sekolah Dasar (SD) namun menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Baik Volkschool maupun HIS adalah sekolah yang diperuntukkan bagi kalangan pribumi. Tahun 1918, di usia 15 tahun, Yamin tamat dari HIS (Martamin 1977: 116).  Lulus dari HIS, Yamin dikirim orang tuanya ke Bogor, melanjutkan studi ke Sekolah Dokter Hewan. Tidak tertarik dengan pelajaran mengenai hewan dan penyakitnya, Yamin pindah ke Sekolah Pertanian, juga di kota Bogor. Akan tetapi di sekolah pertanian pun rupanya Yamin tidak betah. Yamin lalu pindah ke Solo, masuk Algemeene Middelbare School (AMS), jurusan Oostersch Letterkundige (Sastra Timur). Di sinilah Yamin menemukan tempat yang sesuai dengan chemistry-nya dan  lulus pada 1927, pada usia  24 tahun.

AMS Solo merupakan sekolah yang menjadi kawah candradimuka Yamin. Gurunya, Dr. W.F. Stutterheim, adalah orang yang berpengaruh bagi Yamin dalam membangun pengetahuannya tentang nusantara. Keduanya kebetulan gemar mengkaji benda purbakala. Kebetulan pula, Solo adalah ‘surga situs arkeologi’.  Yamin juga diajar oleh Raden Tumenggung Yasawidagda, pengarang Sastra Jawa yang cukup produktif pada zaman Balai Pustaka. Di AMS Solo pula, Yamin berjumpa dengan pelajaran Kebudayaan Indonesia dan Sejarah Kesenian. Melalui pelajaran ini, siswa diberikan pengetahuan mengenai kebudayaan Indonesia yang merupakan akulturasi unsur-unsur budaya Islam, Hindu, dan Budha. (Priyatmoko 2016: 12).

Dari AMS di Solo, Yamin melanjutkan  studi ke Rechts Hogeschool  di Jakarta. Masuknya Yamin ke Rechts Hogeschool, menurut Fadjar Ibnu Tufail yang juga masih berkerabat dengan Yamin, dipengaruhi juga oleh realitas bahwa Rechtshoogeschool adalah perguruan tinggi yang bersedia menampung alumnus AMS. Jenjang pendidikan kesarjanaan yang ada di Belanda kala itu hanya menerima alumnus Hogere Burgerschool (HBS) yang merupakan sekolah menengah umum bagi orang Belanda, Eropa, Tionghoa, dan elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda (Tempo,1 8 Agustus 2014: 66-67).

Selama kuliah, Yamin tinggal bersama-sama mahasiswa lain yang berasal dari beragam daerah di asrama Indonesische Clubgebouw, yang berlokasi di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta. Gedung ini nantinya digunakan sebagai salah satu dari tiga tempat pertemuan dalam Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda.

Sewaktu menjadi mahasiswa Rechtshoogeschool, Yamin adalah seorang yang royal. Uang kiriman dari keluarganya cepat habis karena ia suka mentraktir teman-temannya makan di Warung Padang. Selain itu, Yamin gemar menonton film di bioskop dan memborong buku. Ia juga dikenal sebagai pribadi yang tak mau kalah dan terlihat selalu ingin berada di depan dan dianggap penting keberadaannya (Manus dkk. 1993: 24).  Setelah belajar selama 5 tahun, pada 1932 Yamin akhirnya lulus dari Rechtshoogeschool di usia 29 tahun dengan gelar Meester in de Rechten. Nama lengkapnya pun, kini menjadi Mr. Muhammad Yamin. Pada 1954 nama ini semakin bertambah panjang menjadi. Prof. Mr. H. Muhammad Yamin.

Terkait karya dan pemikiran, Yamin termasuk yang dianggap sebagai tokoh awal yang berupaya keluar dari tradisi sastra lama. Ia menciptakan soneta bersama Rustam Effendi dan Sanusi Pane, sebagai bagian dari sastra Pra Pujangga Baru. Apa yang dilakukannya, lalu dilanjutkan oleh golongan Pujangga Baru di bawah pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Amir Hamzah (Kutoyo 1986: 110).

Awalnya Yamin mengangkat tema kedaerahan, terutama Minangkabau, sebagai ekspresi kekagumannya pada alam. Rasa kagumnya tersebut, secara psikologis membuat dirinya sangat mencintai nusantara sebagai tanah leluhur. Cinta yang ia rasakan justru kemudian menimbulkan kekhawatiran pada dirinya mengenai eksistensi pewarisan bagi bangsanya kelak jika nusantara terus dikuasai bangsa asing. Dari kesadaran seperti inilah pemikiran Yamin akhirnya bergerak menuju tema kebangsaan. Di titik ini, ia menempatkan puisi tidak sekedar sebagai karya ekspresi perasaan diri, melainkan juga ekspresi gagasannya selaku warga bangsa. Ia menempatkan alam kedaerahan dalam hubungannya dengan tanah air Indonesia (Rahman 2014: 49).

Lahirlah dari tangannya antara lain buku-buku : Ken Arok dan Ken Dedes (1934); Tanah Air (1922); Tan Malaka (1945); Gajah Mada (1945); Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (1951); Kebudayaan Asia Afrika (1955); Atlas Sejarah (1956); Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Jilid 1 (1956); Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Jilid 2 dan Jilid 3 (1957); 6000 Tahun Sang Merah Putih (1958); dan Tata Negara Majapahit (1962). Selain ini, masih ada banyak buku lain yang ia tulis. Yamin memang seorang yang sangat produktif.

Meskipun demikian, buku-buku yang ditulis Yamin bukan saja melahirkan kekaguman dari banyak orang, tetapi juga sebaliknya, sebagian malah kemudian memicu kontroversi. Diantara yang paling kontroversial, tentu saja buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Jilid 1 yang mempublikasikan dokumen sidang BPUPK/PPKI. Pidato Yamin dalam sidang BPUPK, sebagaimana termuat dalam buku ini, menjadi salah satu yang dipersoalkan otentifikasinya. Mereka yang pernah mempersoalkan hal ini pun tidak tanggung-tanggung, diantaranya adalah lima founding fathers yang memiliki kredibilitas, yaitu Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, A.G. Pringgodigdo, dan Sunario. Hatta bahkan sampai menyebut Yamin sebagai seorang yang agak licik ketika menanggapi buku ini, sementara A.G. Pringgodigdo menyebut Yamin pintar bermain sulap (Hatta dkk. 1977: 75).

Begitu pula dengan gugatan terhadap buku “Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945” yang ia susun. Betapapun terdapat kritik dan kontroversi, semua itu tidak cukup dan tidak akan mampu menghapus ide-ide besar Yamin dalam aktivitasnya sejak masa pergerakan nasional hingga penyusunan desain bernegara menjelang Indonesia merdeka. Sebagai pemikir yang visioner, beberapa gagasan Yamin telah menjadi bagian penting dalam membangun dan menjalankan praktik bernegara Indonesia.

Mungkin banyak orang yang lupa, atau bahkan tidak tahu, bahwa dalam perdebatan di sidang-sidang BPUPK, salah satu gagasan yang dikemukakan Yamin adalah pemikirannya yang menginginkan Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk membanding atau menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review). Gagasannya ditolak dan gagal menjadi substansi UUD 1945 yang dihasilkan para pendiri bangsa. Namun di era kini kita menjadi lebih mengerti, betapa pentingnya judicial review sebagai mekanisme checks and balances dalam penyelenggaraan negara. Amandemen UUD 1945 yang terjadi setelah reformasi 1998 melahirkan sebuah lembaga yang telah digagas Yamin lebih dari setengah abad sebelumnya. Memang benar, kewenangan yang dipikirkan Yamin akhirnya tidak berada di tangan Mahkamah Agung, karena kita kini menjadikannya sebagai wilayah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Bagaimanapun, secara substansial, ide mengenai judicial review ini menunjukkan Yamin adalah figur visioner yang mampu berpikir melewati zamannya.

Yamin sudah aktif berjuang melalui organisasi sejak berusia muda, sebagaimana umumnya kalangan pemuda terpelajar yang hidup di zaman kolonial. Salah satu puncak dari aktivitas kepemudaannya adalah ketika ia terpilih sebagai Ketua Jong Sumatranen Bond (JSB) pada 1926, sekaligus menjadi ketua terakhir Pengurus Besar organisasi yang telah melahirkan banyak tokoh-tokoh hebat pergerakan nasional Indonesia. Beberapa nama alumni JSB misalnya Adnan Kapau Gani, Bahder Djohan, Mohammad Amir, Mohammad Hatta, Sutan Takdir Alisjahbana, Tengku Mansur dan Muhammad Yamin sendiri.

Dalam pidatonya pada 1923 yang berjudul “De Maleische Taal in het Verleden, Heden en Toekomst (Bahasa Melayu di Masa Lampau, Sekarang, dan Masa Datang)” misalnya, ia mengemukakan idenya mengenai bahasa kebangsaan Indonesia. Menariknya, pidato tersebut justru ia sampaikan dalam bahasa Belanda (Safwan 1985: 44-45).  Pengaruh Yamin semakin menonjol di kalangan kaum pergerakan nasional sebagaimana terlihat dari perannya dalam Kongres Pemuda pertama dan kedua yang mampu menghapus sekat-sekat paham kedaerahan. Bahkan, seusai Kongres Pemuda kedua pada 1928, di bawah kepemimpinan Yamin, Jong Sumatranen Bond berganti nama jadi Pemuda Sumatra, sebelum akhirnya didorong oleh dia untuk mau berfusi dengan organisasi pemuda daerah lainnya menjadi organisasi Indonesia Muda. Menyusul pembentukan Indonesia Muda ini, Yamin lalu membubarkan Pemuda Sumatera pada 23 Maret 1930 di Jakarta.

Setelah itu, Yamin hampir tidak pernah meninggalkan aktivitasnya dalam organisasi politik kebangsaan, hingga Indonesia merdeka. Yamin pernah menjadi anggota Partindo, anggota Volksraad, anggota Dewan Penasehat Pusat Tenaga Rakyat (Putera), anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan serta anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Dalam perjuangan kepartaian dan politik praktisnya bagi kemerdekaan Indonesia, awalnya Yamin mendasarkan diri pada asas non-kooperasi. Ia dengan tegas memilih bergabung dengan Partindo (Partai Indonesia) yang tidak bersedia bekerjasama dengan pemerintahan Belanda. Kerasnya Yamin menolak bekerjasama dengan Belanda misalnya tercermin saat Kongres II Partindo yang diselenggarakan pada tanggal 23 April 1933 di kota Surabaya. Yamin dengan berkobar-kobar mengeluarkan semboyan yang keras, “Indonesia merdeka sekarang!” (Kutoyo 1986: 56). Akan tetapi pada saat pergerakan kaum nasionalis non-kooperatif mulai lumpuh karena kebijakan represif Belanda, Yamin mengubah taktik dengan berjuang secara kooperatif melalui Volksraad (Dewan Rakyat). Hal ini menuai kecaman dari rekan-rekan separtainya; ia dianggap berkhianat. Di Volksraad, Yamin tetap kritis dan radikal terhadap permasalahan yang dianggapnya tidak sesuai dengan cita-cita rakyat Indonesia (Gunawan 2005).

Pada masa pendudukan Jepang, Yamin berperan aktif sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia ikut merumuskan konsep dasar negara dan UUD 1945.

Setelah Indonesia merdeka, Yamin dipercaya memegang peran dan berbagai jabatan penting dalam pemerintahan, seperti anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan penasihat negara dalam Konferensi Meja Bundar. Selama dasawarsa 1950-an hingga kematiannya pada tahun 1962, ia dipercaya menjabat sebagai Menteri Kehakiman (1951) Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1952-1955), Ketua Panitia Pemilihan Umum (1955), Menteri Sosial (1959), Penasihat Lembaga Pembinaan Hukum Indonesia (1961), Ketua Dewan Pengawas LKBN Antara (1961-1962), Ketua Dewan Perancang Nasional atau Depernas (1962), Wakil Menteri Pertama Bidang Khusus sebagai koordinator Menteri Penerangan dan Ketua Depernas (1962), serta menjadi anggota Dewan Pertahanan Nasional dan Staf Pembantu Presiden Bidang Ekonomi, juga Ketua Penerangan Tertinggi Pembebasan Irian Barat (1962).

Yamin juga termasuk sosok yang bisa tetap bertahan dalam pentas politik nasional sebagai pejabat negara, sejak Indonesia merdeka.  Saat meninggal dunia, Yamin tengah menjabat sebagai Menteri Penerangan. Ia meninggal di Jakarta pada 17 Oktober 1962 di usia 59 tahun. Dimakamkan di Desa Talawi, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat, Yamin kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 1973. Penghargaan khusus yang diberikan kepada Yamin adalah gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputra RI. Selain itu, Yamin juga memperoleh Tanda Penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai pencipta lambang Gajah Mada dan Panca Dharma Corps; serta Tanda Penghargaan Panglima Kostrad sebagai pencipta Petaka Komando Strategi Angkatan Darat.

Penulis: Abdurakhman
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum


Referensi

Abdullah, Taufik. ed, Sejarah Sosial Daerah Sumatera Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984.

Adam, Asvi Warman. Menguak Misteri Sejarah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2010.

Curaming, Rommel. “Towards Reinventing Indonesian Nationalist Historiography”. Kyoto Review of Southeast Asia. “Issue 3: Nations and Other Stories”. Maret, 2003.

Feillard, Andree. NU vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. Yogyakarta: LKis. 1999.

Gunawan, Restu. Muhammad Yamin dan Cita-Cita Persatuan Indonesia. Yogyakarta: Ombak. 2005

Hatta, Mohammad, dkk., Uraian Pancasila Dilengkapi dengan Dokumen Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Jakarta : Penerbit Mutiara. 1977.

Kutoyo, Sutrisno. Prof. H. Muhammad Yamin S.H. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1986.

Manus, M.P.B., dkk. Tokoh-tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, vol. 1. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993.

Martamin, Mardjani, dkk. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah - Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1977.

Nas, Peter J.M.dan Martien de Vletter. Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2009.

Priyatmoko, Heri. “Bendera Indonesia, M Yamin, dan AMS”. Harian Kedaulatan Rakyat. 19 Agustus 2016.

Rahman, Jamal D. dkk. 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2014.

Rivai, Abdul. Student Indonesia di Eropa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2000

Safwan, Mardanas. Prof. Dr. Bahder Djohan: Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. 1985.

Soedarmanta, J.B. Jejak-Jejak Pahlawan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. 2007.

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah. 2008.