Soepomo
Prof. Mr. Dr. Soepomo merupakan tokoh nasional penting dalam dunia politik hukum Indonesia. Sekalipun fokus studinya adalah hukum adat, ia termasuk yang menggagas lahirnya UUD 1945. Soepomo juga merupakan sosok fenomenal yang mampu tampil dalam gelapnya langit penjajahan. Ketika pendidikan bagi warga bumiputra didiskriminasi, ia justru memperlihatkan pada dunia bahwa manusia Indonesia bukanlah bangsa dengan pengetahuan terbelakang. Ia lahir dari keluarga bangsawan Jawa. Kepribadiannya tenang dan santun, mencerminkan dirinya sebagai seorang berdarah bangsawan sekaligus akademisi sejati. Sejak era kolonial hingga masa kemerdekaan, berbagai jabatan ia emban. Mulai dari Ketua Pengadilan Negeri, menteri, hingga pimpinan lembaga internasional.
Soepomo lahir di Sukoharjo pada 22 Januari 1903. Kakeknya, Raden Tumenggung Reksowadono, Bupati Anom di Sukoharjo. Sedangkan ayahnya Raden Tumenggung Wignyodipuro, Bupati Anom Inspektur Hasil Negeri Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Soepomo anak pertama dari sebelas bersaudara.
Soepomo tetaplah seorang Jawa, yang dalam masa tumbuhnya sebagai keturunan bangsawan, dididik dalam lingkungan budaya tinggi Jawa. Nilai-nilai adat Jawa, tetap melekat dalam diri Soepomo. Apalagi, ia juga seorang seniman, penyanjung keindahan dan seni tradisional. Dikatakan, bahwa perasaan seninya ini bahkan tercermin pada cara Soepomo berpakaian : "perlente" dan rapi. Tutur katanya pun dikenal lembut, sepadu dengan perilakunya. Gambaran khas "Orang Solo (Wong Solo)” yang juga terpancar pada roman wajahnya yang simpatik (Sugito, 1980: 16).
Nilai-nilai adat Jawa ini kian melekat, manakala Soepomo menikahi seorang gadis keturunan bangsawan keraton, putri dari Pangeran Ario Mataram dan Gusti Kanjeng Ratu Alit dari Surakarta, Raden Ajeng Kushartati. Perempuan keraton memiliki keterikatan dengan tata nilai dan adat tradisi keraton·yang kala itu masih sangat konservatif. Pantangan dan tabu di masa itu bahkan masih wajib dijunjung tinggi oleh seorang gadis keraton. Bersama Kushartati, Soepomo dikaruniai tiga orang anak.
Saat memasuki usia sekolah, sebagaimana anak-anak kaum bangsawan lainnya, Soepomo memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) Solo. Di sekolah dasar yang diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan kalangan elit bumiputera tersebut, Soepomo tenar sebagai anak yang cerdas, terbukti Ketika lulus pada tahun 1917, ia memperoleh nilai memuaskan.
Soepomo langsung melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sama di kota Solo. Pada tahun 1920, Soepomo lulus dari MULO. Prestasinya yang sangat memuaskan membuat Soepomo bisa melanjutkan studi ke Rechtschool di Batavia. Soepomo lulus dari Rechtschool pada tahun 1923 dengan prestasi cemerlang. Setahun pasca kelulusannya, Soepomo diperbantukan pada Ketua Pengadilan Negeri di Sragen sebagai pegawai negeri. Karirnya sebagai calon cendekiawan terkemuka dalam ilmu hukum pun, dimulai.
Kepemahamannya mengenai adat tradisi dan masyarakat tempat ia bekerja, ditambah kebiasaannya yang tekun mempelajari berbagai literatur, membuat bakatnya sebagai seorang peneliti semakin terasah. Hukum·adat yang hidup subur di daerah Surakarta dan sekitarnya termasuk di Sragen sendiri, begitu menarik perhatian Soepomo muda. Maka selama setahun bertugas di Sragen, Soepomo menemukan realitas bahwa profesi hukum, dengan konsentrasi hukum adat, adalah bagian dari hidupnya. Kelak, ketika Soepomo melakukan studi di Belanda, pengalaman tugasnya ini akan banyak membantu dalam studi yang ia jalani.
Soepomo akhirnya memperoleh studieopdracht (tugas belajar) ke negeri Belanda di usianya masuk 21 tahun. Di Belanda, Soepomo dapat membandingkan bagaimana hidup di negeri merdeka dengan nasib bangsanya yang masih terjajah. Meskipun berada di negeri orang, nasionalisme dan patriotisme Soepomo justru semakin berkembang dan menguat. Ia malah ingin menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang terhormat dan berkebudayaan tinggi, bukan bangsa seperti yang dipropagandakan Belanda, yaitu bangsa Indonesia adalah bangsa yang berperadaban rendah. Baginya, memperdalam hukum adat, adalah bagian dari cara dirinya membuktikan itu.
Soepomo pandai menari serta memiliki keterampilan dalam seni karawitan Jawa. Guru seninya sejak kecil adalah seniman keraton, Pangeran Sumodiningrat. Melalui seni, Soepomo ingin menampilkan wajah keluhuran bangsa Indonesia pada dunia. Pada 1926, Soepomo bersama Wiryono Projodikoro, melakukan pagelaran tari di Paris,Seusai pagelaran, Duta Besar Belanda yang saat itu hadir menyatakan kekagumannya pada tarian Soepomo dan Wiryono, dan meminta agar pertunjukan mereka diulangi lagi pada tahun berikutnya (Sugito, 1980: 12-13).
Di Universitas Leiden Belanda, pada 1927, Soepomo berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr) dengan predikat summa cumlaude. Soepomo juga berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul "De Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Surakarta" dalam promosi gelar Doctor in de Rechtsgeleerdheid di Universitas Leiden, sekaligus meraih hadiah "Gajah Mada''. Dua gelar kesarjanaan ini pun ia raih pada usia muda, 24 tahun.
Pulang kembali dari Belanda ke tanah air, beragam tanggung jawab pekerjaan menanti Soepomo, terutama di bidang hukum dan dunia akademik. Ia langsung diperbantukan pada Ketua Pengadilan Negeri di Yogyakarta (1927); menjadi Ketua Luar Biasa Pengadilan Negeri di Yogyakarta (1928); diperbantukan pada Direktur Justisi di Jakarta dan mendapat perintah untuk mengadakan penyelidikan hukum adat (privaatrecht der lnheemse bevolking) di daerah hukum (rechtskring) Jawa Barat (1930-1932); menjadi Ketua Pengadilan Negeri, di Purworedjo (1932-1938); diperbantukan pada Direktur Justisi di Jakarta (1938); diangkat sebagai Dosen dalam Hukum Adat pada Rechts Hoge School dan Bestuursacademie di Jakarta (1939); menjadi Guru Besar Luar Biasa pada Rechts Hoge School di Jakarta (1941); dan akhirnya pada tahun yang sama diangkat sebagai Guru Besar dalam Hukum Adat pada Rechts Hoge School di Jakarta (1941).
Mendiskusikan pemikiran Soepomo, maka yang paling sering mengemuka di kalangan akademisi adalah pembicaraan yang berkait dengan pidatonya pada rapat Badan Persiapan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) 31 Mei 1945, mengenai gagasan “negara integralistik” bagi Indonesia jika merdeka. Gagasannya ini justru kemudian menjadi inspirasi pada saat UUD 1945 disusun.
Persoalannya, model negara integralistik yang ditawarkan Soepomo lebih mirip sebagai model negara fasis sebagaimana diterapkan Jepang dan Jerman pada masa itu. Dalam pandangan Soepomo, model negara integralistik cocok dan sesuai dengan watak masyarakat Indonesia yang dilandasi semangat dan budaya kekeluargaan. Dalam khazanah pemikiran kebangsaan sejak era kebangkitan nasional hingga perdebatan di BPUPK, kerangka pemikiran model Soepomo ini bisa dianggap sebagai “keluar jalur” dari arus perdebatan kalangan intelektual mengenai bentuk Indonesia. Kalangan kaum pergerakan nasional Indonesia pada masa itu, umum mendapat pengaruh dari gagasan-gagasan sociaal-democratische, dan gagasan-gagasan mengenai negara Islam.
Menelusuri genealogi pemikiran Soepomo, terutama gagasannya mengenai negara integralistik, memang cukup sulit. Bahkan dalam studinya yang sangat impresif dan menarik mengenai pemikiran negara integralistik Soepomo, Marsillam Simanjuntak “menemukan” bahwa istilah “integralistik” sendiri sebelumnya tidak pernah ia temukan dalam karya-karya Soepomo baik sebelum dan sesudah pidatonya tersebut. Menurut Simanjuntak, istilah tersebut bahkan tidak pernah lagi digunakan oleh Soepomo setelah sidang-sidang BPUPK (Simanjuntak, 2003: 65-67).
Lantas, bagaimana Soepomo bisa mengajukan usulannya tersebut? Sangat mungkin konteks ini berkait dengan latar belakang atau situasi saat ia melahirkan pemikiran tersebut, yaitu realitas bahwa ada kekuatan Pemerintah Balatentara Jepang yang mengawasi jalannya sidang, sebagaimana pernah digambarkan Sukarno bahwa proses pembuatan UUD 1945 dilakukan “di bawah todongan bayonet tentara pendudukan”.
Soepomo dalam pidatonya, beberapa kali memang tampak berupaya merujuk pada anjuran-anjuran dari pemerintah balatentara Jepang. Rujukan Soepomo ini bisa menguatkan argumen bahwa gagasan yang ditawarkan Soepomo dalam sidang BPUPK lebih merupakan upaya komprominya terhadap situasi dan kondisi kekinian waktu itu, di mana BPUPK merupakan badan bentukan Pemerintah Balatentara Jepang menyusul “janji kemerdekaan” yang telah ditawarkan.
Selain mengusulkan konsep negara integralistik yang mengadopsi watak “totalitarian” sebagaimana dijalankan Jepang dan Jerman di bawah rezim Nazi, Soepomo juga membicarakan tentang kesesuaian antara konsep tersebut dengan watak, kultur, struktur sosial dan suasana kebatinan masyarakat Indonesia, termasuk prinsip kebatinan manunggaling kawula gusti. Untuk hal yang kedua, pemikiran Soepomo bisa jadi lahir karena pengaruh latar belakang pergumulannya dengan dunia hukum adat yang menjadi wilayah keahlian studinya dan juga karena pergumulannya dengan pemikiran Teosofi.
Akan tetapi lepas dari latar belakang pemikiran Soepomo mengenai konsep negara Indonesia yang kemudian menjadi polemik dikalangan akademisi, intelektual dan ahli hukum, nama Soepomo pada akhirnya tetap tercatat dalam sejarah sebagai Bapak Bangsa yang memiliki peran penting bagi lahirnya konstitusi negara Indonesia. Ia mungkin tidak pernah menyangka, bahwa pemikiran yang dirinya sampaikan dalam sidang BPUPK, suatu ketika nanti akan melahirkan polemik.
Soepomo bukanlah tipe orang yang riuh dalam perdebatan, apalagi bermusuhan. Sikap radikal bukan kepribadiannya. Soepomo lebih terlihat sebagai seorang yang moderat, kekeluargaan dan mengedepankan kegotongroyongan. Karenanya, Soepomo lebih cocok dengan politik dan gerakan sosial seperti yang dilakukan oleh Budi Utomo (Soegito, 1980: 20). Ketika Budi Utomo berfusi ke dalam Partai Indonesia Raya (Parindra) yang tetap bersikap kooperatif dengan Belanda, Soepomo tetap berada di dalamnya hingga tahun 1957 (Soegito, 1980: 28).
Pada masa pendudukan Jepang, Soepomo diminta untuk mengisi beberapa jabatan pemerintahan. Semua berkait dengan bidang hukum. Ia juga menjadi anggota BPUPK dan PPKI pada masa akhir pendudukan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, Soepomo diangkat menjadi Menteri Kehakiman. Setelah itu, hingga akhir hayatnya, Soepomo dipercaya untuk memegang berbagai jabatan dan tugas pemerintahan, serta berbagai jabatan dalam dunia akademik.
Di luar kiprah jabatan dalam negerinya, Supomo juga pernah menjabat sebagai pimpinan lembaga-lembaga internasional, seperti Wakil Presiden International Institute of Differing Civilization di Brussel; serta International Commission for a scientific and Cultural History of Mankind & Indonesian Institute of World Affairs (Soegito, 1980: 32).
Karya Supomo sebagian besar adalah tulisan ilmiah ilmu hukum, terutama hukum adat, diantaranya Het Adatrecht van West Java (1933); Sedikit Tentang Hidoep Hoekoem Bangsa Indonesia (1937); De Aansluiting van de Dorps Justitie Aan de Gouvernements Rechtspraak (1940); De Verhouding van Individu en Gemeenschap in het Adatrecht (1941); Kedudukan Hukum Adat di Kemudian Hari (1947); Sejarah Politik Hukum Adat (1950); Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (1950); Statut Uni Indonesia - Belanda (1950); Sistim Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II (1952); Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (1958); Indonesia Facing Problems of New Life and Re-integration (1958); Bab-Bab Tentang Hukum Adat (1958).
Perjuangan berkontribusi dalam pembangunan negara diawali ketika Supomo diangkat sebagai Menteri Kehakiman dalam kabinet Indonesia yang pertama. Ia menjadi Menteri Kehakiman Indonesia yang pertama. Supomo tidak lama menduduki jabatan tersebut karena kabinet pimpinan Presiden Sukarno ini diganti dengan Kabinet Syahrir I yang dipimpin Perdana Menteri Sutan Syahrir. Soepomo diangkat kembali menjadi menteri pada masa Kabinet RIS pada 1949 dengan jabatan yang sama, yaitu Menteri Kehakiman.
Selama empat tahun masa perang kemerdekaan (1945-1949) memang terjadi pergantian kabinet hingga beberapa kali. Selama empat tahun itu pula Supomo berperan aktif dalam perjuangan di bidang diplomatik sebagai anggota delegasi Indonesia dalam perundingan-perundingan dengan Belanda, meskipun ia tidak menjabat sebagai menteri. Peran ini terus berlanjut hingga terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, untuk menindaklanjuti hasil Konferensi Meja Bundar (KMB).
Pentingnya peran Soepomo dalam perjuangan diplomatik karena dalam setiap perundingan selalu terdapat aspek hukum yang menyertai hasil perundingannya. Alasan ini pulalah yang menjadikan Soepomo kerap mendapat tugas negara dalam banyak perundingan lain yang tidak selalu berhubungan dengan persoalan Indonesia-Belanda. Peran ini bisa dikatakan terus berlangsung hingga kematiannya yang mendadak pada 1958.
Di luar perjuangan diplomasi, bersama dua founding fathers lain Sukardjo Wirjopranoto dan Pangeran M. Noor, Soepomo juga menerbitkan mingguan “Mimbar Indonesia”. Misi mingguan yang mereka terbitkan berkait dengan perjuangan dalam bentuk infiltrasi politik melalui media massa disaat Belanda sedang berupaya memecah Indonesia, yaitu menyuarakan persatuan kembali daerah federal Bijenkomst Federaal Overleg (BFO) dengan RI, atau dengan kata lain lain, memulihkan kembali Negara Kesatuan Republik lndonesia (Zuhri ed., 1981: 31-32).
Sewaktu menjadi Menteri Kehakiman pada masa Kabinet RIS yang dipimpin oleh Mohammad Hatta, Supomo memiliki peran penting manakala negara serikat yang dibentuk setelah Konferensi Meja Bundar tidak sampai satu tahun kemudian berubah kembali menjadi negara kesatuan. Perubahan bentuk negara yang ditempuh secara konstitusional ini tentu memerlukan peran dari orang-orang yang ahli dan berpengalaman di bidang hukum.
Setelah Indonesia kembali secara resmi menjadi negara kesatuan dengan sistem pemerintahan parlementer, Supomo mendapat tugas sebagai Rektor Universitas Indonesia (UI), yang jabatannya kala itu masih dinamakan Presiden Universiteit Indonesia. Sebagai rektor, Supomo tampil progresif dalam menafsirkan peraturan perguruan tinggi agar sesuai dengan kebutuhan bangsanya. Supomo misalnya melihat bahwa dari 107 Guru Besar yang dimiliki Universitas Indonesia pada tahun 1951, hanya 26 orang saja atau 24.3% yang merupakan orang Indonesia. Selebihnya, yakni 81 orang atau 75.7% berasal dari bangsa asing. Supomo pun segera saja meningkatkan jumlah pengajar muda di UI (Asshiddiqie dkk, 2015: 55).
Seusai menjadi Rektor UI, Supomo ditugaskan sebagai Duta besar Indonesia untuk Inggris, dan inilah jabatan terakhirnya dalam pemerintahan. Dari Inggris, Supomo kembali mengajar. Soepomo meninggal secara mendadak pada 12 Desember 1958, dimakamkan di Solo (lihat, Sugito, 1980: 21-22). Atas perannya, berbagai penghargaan dan tanda saja diberikan oleh pemerintah dan pada 1965, diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Penulis: Abdurakhman
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Asshiddiqie, Jimly, dkk, Soepomo: Pergulatan Tafsir Negara Integralistik; Biografi Intelektual; Pemikiran Hukum Adat dan Konstitusionalisme. Yogyakarta: Thafamedia. 2015.
Adams, Cindy. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta : Haji Masagung, 1988.
Anderson, Ben. Revolusi Pemuda. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988.
Ibrahim, Julianto. Propinsi Daerah Istimewa Surakarta. Yogyakarta : Darmakarta. 2011.
Legge, John D. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan : Peranan Kelompok Sjahrir. Jakarta: Grafiti, 1993
Poeze, Harry A. Poeze, dkk. Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Jakarta: KPG-KITLV. 2008.
Rivai, Abdul. Student Indonesia di Eropa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2000.
Santosa, Sri Juari. Suara Nurani Keraton Surakarta: Peran Keraton Surakarta dalam Mendukung dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yogyakarta: Komunitas Studi Didaktika. 2002
Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.
Simajuntak, Marsillam. Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945. Jakarta: Grafiti. 2003.
Soegito, Prof. Mr. Dr. R. Supomo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. 1980.
Zuhri, Asikin, ed. lr. P.M. Noor: Teruskan Gawi Kita Balum Tuntung. (Kerja Kita Belum Selesai). Banjarmasin: Badan Penggerak Pembina Potensi Angkatan ‘45 Kalimantan Selatan. 1981.