Kauman, Yogyakarta: Difference between revisions
No edit summary |
m (Text replacement - "Category:Tempat" to "{{Comment}} Category:Tempat") |
||
Line 25: | Line 25: | ||
Surjomihardjo, Abdurrachman. 2008. ''Kota Yogyakarta Tempo Doeloe. Sejarah Sosial 1880-1930.'' Depok: Komunitas Bambu. | Surjomihardjo, Abdurrachman. 2008. ''Kota Yogyakarta Tempo Doeloe. Sejarah Sosial 1880-1930.'' Depok: Komunitas Bambu. | ||
{{Comment}} | |||
[[Category:Tempat]] | [[Category:Tempat]] |
Revision as of 16:25, 7 August 2023
Kauman adalah nama sebuah kampung di Yogyakarta yang terletak di kelurahan Ngupasan, sebelah utara Keraton Yogyakarta. Ciri khas Kampung Kauman berupa jalan sempit lurus dengan tembok berkapur putih di kanan-kiri. Antar tembok satu rumah dengan rumah lainnya saling menempel. Kampung Kauman berada di wilayah kraton dan termasuk kampung njeron benteng (kawasan dalam kompleks keraton Yogyakarta) karena masyarakat yang tinggal di kampung tersebut adalah abdi dalem. Mereka ditugaskan oleh sultan untuk mengurusi persoalan agama (Darban 2001: 2).
Nama Kauman berasal dari kata qoimmuddin (bahasa Arab) yang berarti penegak agama. Masyarakat yang tinggal di sana adalah para keluarga ulama berpengetahuan dan memiliki pemahaman agama. Pada 29 Mei 1773 dibangun Masjid Gedhe Kesultanan. Ketika masjid itu selesai, Sri Sultan Hamengku Buwono I mengangkat abdi dalem untuk mengaktifkan kegiatan di masjid. Mereka memegang jabatan keagamaan dan mendapatkan tanah di Kauman dari sultan (Pijper 1987:1).
Salah satu tokoh penting dari Kampung Kauman adalah K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Nama Ahmad Dahlan diperoleh setelah menunaikan ibadah haji. Nama sebelumnya adalah Muhammad Darwis. Ia lahir pada 1 Agustus 1868 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Ayahnya adalah Kyai Haji Abu Bakar bin Haji Sulaiman, seorang abdi dalem Kesultanan Yogyakarta yang bertugas menjadi khatib di Masjid Gedhe (Khozin dan Isnudi 2015:181).
Pada 1883 Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu ke Mekkah. Menjelang kepulangannya, ia menemui Imam Syafi’i Sayyid Bakri Syatha untuk mengubah nama. Saat itu ada tradisi, mereka yang akan pulang ke tanah air usai menunaikan ibadah haji menemui seorang ulama untuk memberikan nama Arab yang di depannya ditambah kata Haji sebagai pengganti nama lama. Muhammad Darwis mendapat nama baru Haji Ahmad Dahlan (Khozin dan Isnudi 2015:184).
Sekembali dari Mekkah, Haji Ahmad Dahlan ditugasi mengajar anak-anak pada siang dan sore hari. Terkadang ia menggantikan ayahnya mengajar. Kegiatan ini menyebabkan Ahmad Dahlan dipanggil sebagai kyai. Selain mengajar dan berdakwah, dengan modal 500 gulden dari ayahnya, Kyai Haji Ahmad Dahlan berdagang batik.
Pada 1903 Kyai Haji Ahmad Dahlan berangkat ke Mekkah. Ia pergi bersama putranya Muhammad Siradj yang masih berusia enam tahun. Kyai Haji Ahmad Dahlan mengkaji pemikiran para tokoh pembaruan seperti Jamaluddin Al-Afghani, Ibnu Taimiyah. Bahkan secara khusus, ia menemui Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Ia juga belajar dari Ali Soorkati seorang ulama keturunan Sudan yang sudah lama bermukim di Jawa. Pada 1906 Kyai Haji Ahmad Dahlan kembali ke tanah air. Ia diangkat oleh sultan menjadi khatib tetap di Masjid Gedhe. Selain menjadi pengajar untuk masyarakat Kauman, ia juga menjadi pengajar Kweekschool (sekolah guru) di Yogyakarta dan OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren)- sekolah pegawai bumiputra di Magelang.
Pada 8 November 1912 Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Pada 20 Desember 1912 ia mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia-Belanda supaya Muhammadiyah diakui sebagai organisasi berbadan hukum yang disetujui pada 22 Agustus 1914 tapi hanya berlaku di Yogyakarta. Lahirnya organisasi Muhammadiyah membuat Kauman di Yogyakarta menarik perhatian masyarakat dan pemerintah Hindia-Belanda (Surjomihardjo 2008:36).
Penulis: Achmad Sunjayadi
Referensi
Khozin, Nur dan Isnudi. 2015. Biografi Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam Djoko Marihandono (ed). K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923). Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Darban, Adaby. 2001. Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang.
Pijper, Guillaume Frédéric. 1987. Fragmenta Islamica: Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX. Jakarta: Universitas Indonesia.
Surjomihardjo, Abdurrachman. 2008. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe. Sejarah Sosial 1880-1930. Depok: Komunitas Bambu.