Princen, Johannes Cornelis (Haji Princen/Poncke)

From Ensiklopedia
Revision as of 02:09, 17 September 2024 by Admin (talk | contribs)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Princen, Johannes Cornelis. Sumber: Arsip Keluarga Princen


Johannes Cornelis Princen, atau yang sering dipanggil dengan sebutan “Poncke”, lahir pada 21 November 1925 di Hobbema, Den Haag, Belanda. Di usia remajanya, Princen tertarik menjadi seorang rohaniwan dan menempuh pendidikan seminari di Weert, Belanda. Tetapi, minatnya itu lambat laun semakin meredup sehingga ia menghentikan studinya pada tahun 1943 (Pamungkas, 1995: 2). Ketika Jerman menginvasi Belanda pada tahun 1940-1945, Princen mencoba kabur ke Inggris, namun ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh pasukan Jerman (Houben, 1997: 49). Dalam masa penahanannya, ia sering membacakan teman-teman satu selnya mengenai isi buku Pastor Poncke karya J.H. Eekhout. Bermula dari kebiasaannya itu, Princen kemudian sering dipanggil Poncke (Pamungkas, 1995: 2).

Setelah Belanda terbebas dari belenggu pasukan sekutu, pada tahun 1946 Princen khawatir jika dikirim ke Indonesia. Oleh sebab itu, sekali lagi ia melarikan diri. Prancis menjadi tujuan pelariannya. Namun ketika dalam perjalanan kembali ke Belanda setelah mendengar kabar bahwa ibunya sedang sakit, Princen ditangkap dan didakwa sebagai pelarian. Princen dijatuhi hukuman menjadi pasukan paksaan yang dikirim ke Indonesia (Pamungkas, 1995: 2). Pada 24 Januari 1947, Princen tiba di Indonesia melalui Tanjung Priok bersama barisan kesehatan pasukan Belanda. Selama berada di Indonesia, Princen berkali-kali terkena sanksi disiplin. Bahkan, Mahkamah Militer Belanda harus membuka kembali kasus desersi yang pernah dilakukannya pada masa perang Belanda-Jerman. Pada akhirnya, Princen dijatuhi hukuman 12 bulan kurungan penjara.

Belum genap satu tahun, Princen dibebaskan pada 19 Februari 1948 dan kemudian segera dikirim ke Purwakarta sebagai pasukan urusan perlengkapan Brigade Infanteri II Belanda. Pada tahun ini pula, keberpihakan Princen diuji setelah ia menjalin komunikasi secara intens dengan kaum nasionalis dan intelektual muda Indonesia, yang akhirnya mempengaruhi minatnya untuk mendukung perjuangan pemertahanan kemerdekaan Indonesia. Alasan Princen berpindah haluan ialah karena ia tidak sepakat dengan cara penerapan politik Belanda di Indonesia. Menurutnya, serangan yang dilancarkan oleh Belanda terhadap Indonesia serupa dengan yang dilakukan Jerman terhadap Belanda ketika tahun 1940-1945 (Pamungkas, 1995: 2).

Sejak bergabung dengan pasukan Divisi Siliwangi di bawah komando Kemal Idris pada Oktober 1948, Princen mendapat kepercayaan untuk melaksanakan beberapa operasi perampasan senjata dari pasukan Belanda. Serangan-serangan gerilya di sekitar Sukabumi dari awal hingga pertengahan tahun 1949, Princen bersama Pasukan Istimewa telah memberikan ancaman nyata terhadap Belanda. Untuk meredam perang gerilya itu, pasukan KNIL yang dipimpin oleh Henk Ulrichi menyerang tempat persembunyian Pasukan Istimewa di hutan Clutung Gerang pada 9 Agustus 1949. Sebagai akibat dari serangan itu, istri dan sejumlah pasukannya meninggal. Atas jasa dan pengorbanannya semasa perang gerilya tersebut, Princen mendapat Bintang Gerilya oleh Presiden Sukarno (Pamungkas, 1995: 11).

Setelah perang pemertahanan kemerdekaan Indonesia 1949, Princen memilih tetap tinggal di Indonesia. Sepanjang pemerintahan Sukarno, Princen terlibat aktif dalam urusan politik dan sejak 1956 menjadi anggota parlemen. Meski telah menyatakan keberpihakannya terhadap Indonesia, berbagai protes tentang perjuangan hak asasi manusia yang dilayangkannya kepada pemerintah yang tengah berkuasa, membawanya ke dalam sel penjara. Dari 1958 hingga 1960, ia dipenjara karena aksi protesnya terhadap peredaman pemberontakan Permesta. Dua tahun kemudian, Princen bergabung dengan Liga Demokrasi dan menentang pembubaran parlemen. Tersebab aksinya ini, lagi-lagi ia ditangkap dan dipenjara. Pada tahun 1966, Princen dibebaskan. Bersama dengan tokoh-tokoh pejuang hak asasi manusia, Princen terlibat dalam berdirinya Lembaga Pembela Hak-Hak Asasi Manusia dan Lembaga Bantuan Hukum (Houben, 1997: 50).

Penulis: Florentinus Galih Adi Utama
Instansi: Program Studi Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.


Referensi

Houben, Vincent J.H. (1997). “A Torn Soul: The Dutch Public Discussion on the Colonial Past in 1995”, dalam Indonesia. Cornell University Press: Southeast Asia Program Publications at Cornell University, hlm. 47-66.

Pamungkas, S.B. (1995). H.J.C. Princen 70 Tahun: Gerilya Yang Tak Pernah Selesai. Jakarta: Panitia 70 Tahun HJC Princen.