Kemal Idris

From Ensiklopedia
Kemal Idris. Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L.7187


Achmad Kemal Idris atau juga dikenal dengan nama Kemal Idris adalah tokoh penting dalam kemiliteran di Indonesia. Ia lahir pada tanggal 10 Februari 1923 di Singaraja, Bali. Kemal Idris adalah seorang Jenderal TNI AD yang berani menentang penguasa apabila penguasa itu memang dianggapnya salah. Dua kali ia menentang presiden selama karirnya, yaitu Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto. Kemal Idris menjabat sebagai Pangkostrad pada akhir masa pemerintahan presiden Sukarno, tepatnya pada tahun 1967. Ia berperan besar dalam mendukung gerakan mahasiswa yang menentang presiden Sukarno. Kemal Idris juga berperan besar dalam lahirnya Orde Baru yang pada akhirnya ia tentang juga. Ia ikut menandatangani Petisi 50 yang memprotes Presiden Soeharto.

Kemal Idris sempat menjadi kambing hitam dalam sebuah peristiwa menegangkan di Jakarta pada tahun 1952. Kala itu ia diberi perintah oleh A.H. Nasution untuk mengarahkan moncong meriam ke Istana Negara. Kemal Idris saat itu menjabat sebagai Komandan Resimen ke-7 Divisi Siliwangi. Pada peristiwa tersebut, elemen tentara dan mahasiswa melakukan protes menuntut pembubaran parlemen. Akar permasalahan peristiwa ini sendiri terletak pada usaha reorganisasi TNI. Konflik semakin meluas dan sebagai puncaknya, demonstrasi terjadi di depan Istana. Pada peristiwa itulah Kemal Idris melaksanakan perintah A.H. Nasution, yang justru cuci tangan atas peristiwa tersebut. Sebagai akibatnya, setelah peristiwa itu Kemal Idris dikucilkan oleh Presiden Sukarno dan lingkaran politik Istana (Nordholt, Purwanto dan Saptari, 2008).

Memang jika dilihat dari sikap politik, Kemal Idris adalah seorang anti-komunis dan pengalaman pahitnya dengan Presiden Sukarno membuatnya menjadi anti-Sukarno. Ketika terjadi pergeseran opini publik dan arus politik Istana, Kemal Idris mendukung Mayjen Suharto untuk menggantikan Presiden Sukarno. Ia turut andil dalam penandatanganan Supersemar. Oleh Suharto, Kemal Idris diberikan jabatan sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).

Presiden Soeharto yang kenal betul watak dan tabiat Kemal Idris kemudian merasa bahwa Kemal Idris berpotensi menjadi lawannya dalam politik. Secara bertahap Kemal Idris kemudian dipreteli wewenangnya. Awalnya Kemal Idris dicopot dari jabatan Pangkostrad, kemudian dikirim ke Makassar sebagai Panglima Komando Wilayah Pertahanan. Dengan demikian, Kemal Idris semakin diasingkan dari kancah politik dalam negeri oleh Presiden Suharto. Puncaknya terjadi pada tahun 1972 saat ia ditugaskan menjadi Duta Besar RI untuk Yugoslavia dan Yunani. Setelah pulang dari tugasnya di Eropa, Kemal Idris menyuarakan ketidakpuasannya dengan ikut menandatangi Petisi 50 bersama tokoh-tokoh negara yang lain. Sejak itu, Kemal Idris mundur perlahan dari perpolitikan. Petisi 50 gagal sebab parlemen dan kancah politik Indonesia kala itu benar-benar telah dikuasai oleh Presiden Soeharto (Ricklefs, 2005).

Lepas dari perpolitikan, Kemal Idris aktif menjadi pengusaha. Ia mendirikan PT Sarana Organtama Resik (SOR) yang mengelola sampah di Jakarta. Oleh sebab itu muncullah julukan “Jenderal Sampah”. Kemal Idris meninggal dunia pada usia 87 tahun pada tanggal 28 Juli tahun 2010. Atas permintaannya sendiri, Kemal Idris dimakamkan di Taman Makam Majelis Taklim Raudatus Salihin, Citapen, Bogor. Walaupun tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, pemakaman Kemal Idris dilakukan secara militer (Tempo.co, 28 Juli 2010).

Penulis: Muhammad Asyrafi
Instansi: Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.


Referensi

Idris, Kemal A., and H. Rosihan Anwar. Kemal Idris: Bertarung Dalam Revolusi. Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Nordholt, Henk Schulte, Bambang Purwanto, and Ratna Saptari. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi, 2005.

Asih, Ratnaning. 2010. Kemal Idris Dimakamkan Secara Militer. Tempo.co. 28 Juli 2010.