Supeno

From Ensiklopedia
Revision as of 16:50, 10 August 2023 by Admin (talk | contribs) (Text replacement - "Penulis: Nina Witasari↵" to "{{Penulis|Nina Witasari|Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Unnes|Dr. Endang Susilowati, M.A}}")

Supeno adalah politisi yang aktif dalam pergerakan nasional dan juga pahlawan nasional Indonesia. Ia dilahirkan di Pekalongan pada 12 Juni 1916 dari keluarga sederhana. Ayahnya bernama Soemarno bekerja sebagai pegawai rendahan di perusahaan transportasi kereta api milik pemerintah kolonial Belanda. Meski bukan dari kalangan berada, tetapi Supeno cukup beruntung karena mendapat pendidikan yang baik di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Pekalongan dan menamatkan pendidikannya tersebut selama tujuh tahun. Ia termasuk murid yang cukup cemerlang sehingga dapat melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Pekalongan. Sebagai remaja yang kritis, Supeno banyak mengkritik berbagai kebijakan pemerintah Belanda yang dirasanya tidak adil dan semena-mena. Hal itu membuatnya dikeluarkan dari MULO Pekalongan dan terpaksa melanjutkannya di Tegal (Ferdianto, 2019: 2).

Di Tegal, Supeno aktif dalam berbagai forum yang menyerukan kemerdekaan Indonesia. Lahirnya perkumpulan pemuda yang berasaskan kebangsaan Indonesia Muda, di mana ia menjadi ketuanya, seolah menjadi panggung yang lebih besar baginya untuk menentang pemerintah kolonial Belanda. Aktivitasnya ini tidak lepas dari pengawasan pemerintah dan berulang kali ia mendapatkan teguran keras. Setelah lulus dari MULO pada tahun 1934 Supeno pun memutuskan masuk ke  Algemeene Middelbare School (AMS) atau setingkat SMA di Semarang dan lulus pada tahun 1937. Selanjutnya  ia meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Technische Hogeschool (THS) Bandung yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung (Ferdianto, 2019: 3).

Di THS Bandung Supeno hanya bertahan dua tahun. Ia memutuskan untuk keluar dan melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Selama empat tahun bersekolah di Batavia inilah Supeno makin aktif dalam pergerakan nasional. Aktivitasnya dalam pergerakan nasional memungkinkannya berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Mr Sumarwan, Sujoko Hadipranoto, dan Subadio Sastrosatomo, yang merupakan tokoh-tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Supeno juga bertemu dengan Moh. Hatta dan banyak belajar darinya. Semasa di Batavia Supeno bergabung dengan Perkumpulan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), lalu terpilih sebagai ketua. Ia juga memimpin Badan Permusyawaratan Pelajar-Pelajar Indonesia (Baperpi) sejak 1941 (Said, 1995: 50) Selama di Jakarta, Supeno tinggal di asrama PPPI di Jalan Cikini Raya 71. Di asrama itulah untuk pertama kalinya Supeno bertemu langsung dengan Mohammad Hatta. Kelak, Bung Hatta menunjuk Soepeno untuk turut mengisi kabinetnya sebagai Menteri Pembangunan dan Pemuda (Sudarso, 2002: 36) Ia adalah satu-satunya anggota sayap kiri yang duduk di Kabinet Hatta I atas nama perseorangan. Selain itu, ia adalah menteri yang paling muda dalam pemerintahan Mohammad Hatta (Anwar, 2002: 135).

Pada Agustus 1943 Supeno menikah dengan Kamsitin Wasiyatul Chakiki Danoesiswoyo. Pasangan ini dikaruniai seorang putri bernama Supeni Rokutiningayu Yudianingsih. Karena kesibukan Supeno di pergerakan nasional, ia terpaksa harus sering berjauhan dengan keluarga kecilnya yang menetap di Semarang. Tentang pribadinya, jurnalis senior Rosihan Anwar mengenang Supeno sebagai sosok yang tangguh dan sederhana, orang yang suka bekerja keras. Di asrama Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Purworejo, Supeno makan apa adanya, tidur di atas tikar, hidup sederhana. Dia bagaikan keranjingan dengan kerja sehingga kadang-kadang melupakan keluarganya (Anwar, 2002: 135).

Menjadi menteri pada masa revolusi tentu beresiko tinggi. Kondisi Republik yang tidak menentu karena terjadi Agresi Militer memaksa para pemimpin Republik bergerilya hingga ke pelosok negeri. Tidak jarang pada saat bergerilya mereka kurang beruntung sehingga tertangkap patroli Belanda. Demikian juga yang terjadi pada Supeno, setelah berbulan-bulan bergerilya. Supeno dan rombongannya tertangkap Belanda di Desa Ganter, Dukuh Ngliman, Nganjuk. Meskipun Supeno mengaku bahwa ia adalah penduduk setempat namun Belanda tidak percaya. Supeno diinterogasi dan kemudian ditembak pada pelipisnya hingga tewas seketika. Rombongan Supeno yang terdiri dari enam orang juga dieksekusi, termasuk ajudan Supeno, Mayor Samudro. Karena kondisi perang, informasi mengenai wafatnya Supeno baru diterima pihak keluarganya sebulan kemudian.

Makam Menteri Supeno berada di sisi kanan tempat peristirahatan terakhir Jenderal Oerip Soemohardjo yang berdampingan dengan nisan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Sesuai Surat Keputusan Presiden RI No. 039/TK/Th. 1970 tgl. 13 Juli 1970, pada pertengahan tahun 1970, atas segala pengorbanan yang telah dia berikan kepada perjuangan kemerdekaan, Supeno ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. la dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Kelas III secara anumerta, yakni sebagai penghargaan atas sifat-sifat kepahlawanannya serta atas keberanian dan ketebalan tekad melampaui dan melebihi panggilan kewajiban dalam pelaksanaan tugasnya yang telah disumbangkan terhadap Negara dan Bangsa Indonesia. Rekan seperjalanannya, Mr. Soesanto Tirtoprodjo, tidak dapat melupakan peristiwa sedih itu dan kemudian menceritakan pengalamannya bergerilya dalam sebuah buku kecil, ditulis dalam bahasa Jawa, berjudul Nayoko Lelono. Ia merekam eksekusi tersebut dan melukiskan pendapat serta perasaannya dalam sebuah syair yang digubah menjadi sepuluh pupuh tembang Jawa, Durma (Durmo), yang dalam terjemahan Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut. "Pada waktu itu, Pak Soepeno dengan sengaja telah berkorban, sebagai layaknya seorang pahlawan dengan budi luhur. Selain itu, sebagai kusuma bangsa, beliau rela mengorbankan nyawanya dengan tidak pernah mengaku (sebagai menteri) karena bisa membahayakan jiwa rekan-rekannya. Dengan demikian namanya tetap harum dan abadi, untuk dikenang..." (Pour, 2009: 158).

Penulis: Nina Witasari
Instansi: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Unnes
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A

Referensi

Anwar, Rosihan. (2002). In Memoriam: Mengenang yang Wafat, Jakarta: LIPI.

Fardianto. Fariz, (2019). “Kisah Supeno, Sang Gerilyawan yang Jadi Menteri Termuda di Indonesia”. Diakses dari  https://jateng.idntimes.com/news/ jateng/fariz-fardianto/kisah-supeno-sang-gerilyawan-yang-jadi-menteri-termuda-di-indonesia.

Pour, Julius. (2009). Doorstoot naar Djokja: pertikaian pemimpin sipil-militer. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Said, Julinar dkk. (1995). Ensiklopedi Pahlawan Nasional, Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.

Salam, Solichin. (1963). Djenderal Soedirman Pahlawan Kemerdekaan. Djakarta: Djaja Murni.

Sudarso, Yus. (2002).   Pribadi Manusia Hatta, Orang Besar Perhatian Besar. Jilid 3. Jakarta: Yayasan Hatta.