Willibrordus S. Rendra

From Ensiklopedia
Revision as of 15:43, 25 August 2023 by Admin (talk | contribs) (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh")

W.S. Rendra adalah sastrawan dan dramawan yang terkemuka tidak saja di Indonesia tetapi juga di luar negeri, dan tentu saja salah satu yang terbaik di negara ini. Rendra sendiri lebih suka mendeskripsikan dirinya dalam satu kata “penyair’ (Gamma: 21 Nov, 1999 dalam Sumanto, 2000).

Rendra yang dipanggil Mas Willy mulai menulis pada dekade 1950-an di majalah Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, Siasat Baru,  dan Minggu Pagi. Media yang disebut terakhir ini menjadi ruang Rendra berjumpa  para penulis muda seperti Nasjah Djamin, Motinggo Boesje, Jussac hingga Kirjomulyo.  Rendra juga tercatat ikut andil dalam perlawanan jilid II dekade 1950-an, yang sering menganggap seni kreasi anak-anak Malioboro menjadi minoritas dalam peringkat sosial sekaligus sejarah sastra (Yuliantri, 2007).

W.S. Rendra pernah belajar sastra di UGM, dan memperdalam wawasan di American Academy of Dramatic Arts di Amerika Serikat (1964-1967). Pengalaman Rendra mendorongnya membuat “Bengkel Teater” yang dibentuk tanpa upacara apapun (Bakdi Sumanto, 2000). Bengkel Teater dibentuk Rendra karena salah satu kegelisahannya tentang belum hadirnya tradisi menyiapkan aktor-aktor di Indonesia. Kegelisahan Rendra adalah keinginan untuk membenahi calon-calon aktor Indonesia dengan ketiadaan “rombongan drama professional di Indonesia”. Bagi Rendra, “meskipun tradisi aktor modern tidak memiliki akar kebudayaan di Indonesia tetapi ia tetap memiliki hak hidupnya” (Sumanto, 2020).

Aktivitas “Bengkel Teater” adalah buah keresahan Rendra. Bengkel teater digunakan untuk latihan dan improvisasi oleh tubuh dan batin yang tidak dikenal sebelumnya untuk calon aktor. Calon aktor diasah lima indranya supaya lebih dikuasai dan dikendalikan ke arah konsentrasi di samping diasah kemampuannya menangkap gejala serta situasi di sekitar lingkungannya selain itu ditekankan pentingnya integrasi antara kreativitas pribadi, keterlibatan dengan masyarakat, dan kereligiusan yang kosmis-mistik. (A. Teeuw dalam Rendra, 1980). Dalam hal ini Rendra dapat dikategorikan sebagai salah satu perintis pendidikan non-formal dalam bidang seni panggung. Rendra mampu meletakkan jenis teater baru sebagai pondasi dari tradisi teater non-verbal.

Teeuw (1980) menelaah Rendra dan karyanya sebagai seorang  hanyut dalam eksperimen simbolis dan surealis:

… Dia tidak menulis untuk dibaca tetapi untuk didengar; dia tidak menghidangkan teka-teki tetapi menulis untuk dimengerti…Rendra sangat memahami, bahwa dia tidak dapat mengungkapkan kehampaan dan arti ganda kata-kata resmi Indonesia yang formulais-ritual itu, kecuali dengan "membiarkannya bicara sendiri," yaitu dengan cara memasukkannya ke dalam konteks puisinya, ke dalam dunia pengertian (atau: konsep) profetisnya dan di dalam retorik lyrisnya. Dengan demikian beberapa di antara sajak-sajak ini sepintas-kilas memang nampak hampir anti puitis. Sajak-sajak itu terbaca "seperti koran," tetapi efek ini sengaja dipilih, sehingga suara Rendra yang benar-benar lyris,.. -semakin memperkuat imajinasi visioner atau gugatan profetisnya.

Karakter lain yang dimiliki Rendra dalam berkesenian adalah kepeduliannya terhadap lingkungan sekitarnya. Ia berjuang dengan karya-karyanya tetapi perjuangan yang tidak untuk mendapat posisi tertentu. Perjuangan Rendra adalah kepedulian. Bersama Bengkel Teater dan ratusan pengunjuk rasa memprotes pemberedelan atau pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) tiga media massa, Tempo, Detik, dan Editor pada 27 Juni 1994. Rendra bersama beberapa pengunjuk rasa ditangkap oleh polisi (Kompas, 2009). Dalam setiap periode Sukarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur (Abdurrahman Wahid), dan Megawati ia begitu “galak” dan kritis. Sebagaimana Rendra melihat terhadap situasi demokrasi tiap periode itu “ternyata demokrasi kita adalah demokrasi elite politik, bukan demokrasi rakyat. Demokrasi elite politik dalam praktiknya menjajah daulat rakyat. Tanpa daulat hukum tak ada daulat rakyat, dan tanpa daulat rakyat tak ada kontrol terhadap keadilan hukum," (Kompas, 2009).

Karya-karya Rendra telah diapresiasi dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India. Banyak festival-festival yang diikuti oleh Rendra, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), dan Tokyo Festival (1995) (Kumpulan Puisi Pilihan, W. S. Rendra). Banyak penghargaan yang diterima oleh Rendra diantaranya  Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954); Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi Jakarta (1975); The S.E.A. Write Award (1996) (Eneste [ed.], 2001).

Sebagai seorang sastrawan karya-karya Rendra yang memiliki “kepribadian dan kebebasan diri”, menurut  Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an (www.badanbahasa.kemdikbud.go.id). Rendra juga tidak masuk dalam pola-pola sastra Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) (Teeuw dalam Rendra, 1980). Buruk Merak terbang selama-lamanya pada 6 Agustus 2009 (Kompas, 2009).

Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri


Referensi

Sumanto, Bakdi, “Si Burung Merak”, Kompas, 1 Januari 2000.

“Burung Merak Itu Terbang Selamanya”, Kompas 7 Agustus 2009.

Yuliantri, Rhoma Dwi Aria. “Dua Jilid Perlawanan Seniman Malioboro”, Seabad Pers Kebangsaan, 2007, Jakarta: I: Boekoe, 2007.

Eneste, Pamusuk [ed.], Buku Pintar: Sastra Indonesia, 2001, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

W.S Rendra, “Potret Pembangunan dalam Puisi” kata pengantar Prof. A. Teeuw, 1980, Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan.

W. S. Rendra, www. badanbahasa.kemdikbud.go.id.