Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA)

From Ensiklopedia

Lembaga Kebudayaan Rakyat atau LEKRA adalah sebuah organisasi kebudayaan yang didirikan pada 17 Agustus 1950 tokoh pimpinan PKI, DN. Aidit dan Njoto, bersama dengan penulis MS Ashar dan AS Dharta. Organisasi kebudayaan ini merupakan respon terhadap kelompok budaya “Gelanggang” yang di awal tahun 1950 menerbitkan sikap kebudayaan mereka dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang” sebagai pewaris kebudayaan dunia. Berbeda dengan Seniman Gelanggang, Lekra mengusung konsep kebudayaan kerakyatan seperti dijelaskan dalam pernyataan sikap yang mereka sebut Mukadimah: “Menjadari bahwa rakjat adalah satu-satunja pentjipta kebudajaan, dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia baru hanja dapat dilakukan oleh rakjat, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 didirikan Lembaga Kebudajaan Rakjat yang disingkat Lekra”. Lebih jauh lagi, kebudayaan rakyat ini untuk merombak kebudayaan penjajahan yang “…mewariskan kebodohan, rasa rendah serta watak lemah pada bangsa kita”.

Mukadimah kemudian direvisi pada Konferensi Nasional Pertama bulan Juli 1955, dan selanjutnya diresmikan pada Kongres di Solo tahun 1957. Untuk Kongres Nasional pertama Lekra, yang memilih susunan pengurus, diadakan pada tahun 1959. Pada tahun-tahun 1950-an awal, Lekra telah memiliki 21 cabang (Foulcher 1987: 86). Pada tahun 1963 Lekra tercatat telah memiliki 200 cabang dengan anggotanya mencapai 100.000 orang (Cribb, Kahin, 2004: 242). Sejak tahun 1952, Lekra telah secara aktif mengulas berbagai tema kebudayaan di koran Harian Rakjat, koran resmi PKI, dalam “Ruangan Kebudayaan” dan majalah bulanan Zaman Baru yang terbit tahun 1956. Sementara itu penerbitan buku dan pamflet baru dimulai belakangan yaitu pada 1959 (Foulcher 1987: 86). 

Dalam merumuskan konsep kebudayaannya, Lekra mengetengahkan metode 1-5-1 yang artinya meluas meninggi, tinggi mutu dan ideologi, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kearifan massa, realisme sosial dan romantis revolusioner. Dalam konsep “meluas meninggi”, meluas maksudnya memperluas kegiatan kesenian kebudayaan seniman Lekra ke berbagai daerah di Indonesia; Meninggi maksudnya peningkatan kualitas seni budaya yang dihasilkan oleh seniman Lekra.

Di bidang senirupa, terdapat sejumlah seniman Lekra Indonesia yang menonjol seperti Basuki Resobowo (1916-1999), pelukis dari era revolusi 1945; Sudjojono (1913-1985), pelopor seni rupa modern Indonesia; Henk Ngantung (1921-1991), pelukis dan juga gubernur DKI (1964-1965); dan Hendra Gunawan (1918-1983) pelukis dari era revolusi 1945 (Foulcher 1987: 87). Dalam bidang seni sastra, seniman Lekra yang terkemuka antara lain Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), Utuy Tatang Sontani (1920-1979), S. Rukiah Kertapati (1927-1996). Dalam bidang film adalah Bachtiar Siagian (1923-2002). Dalam bidang musik adalah Sudharnoto (1925-2000), penggubah lagu mars Garuda Pancasila.

Seniman Lekra dikenal dekat dengan Presiden Sukarno sebagai seorang pencinta seni. Seniman Lekra juga tercatat berpartisipasi dalam kunjungan misi budaya ke Cekoslovakia, Polandia, Hungaria, Uni Sovyet dan Mesir pada bulan Agustus-November 1957.

Pada tahun 1962, para penulis Lekra dalam kolom budaya di Harian Rakjat dan Bintang Timur terlibat polemik kebudayaan dengan seniman non-Lekra yang menulis dalam Sastra, yang berpendapat sastra harus bebas dari politik. Polemik berikutnya dengan para penandatangan Manifes Kebudayaan tahun 1963. Setelah Peristiwa 1965, Lekra dibubarkan penguasa Orde Baru.

Penulis: Yerry Wirawan
Instansi: Universitas Sanata Dharma
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.

          

Referensi

Cribb, Robert dan Audrey Kahin (2004) Historical Dictionary of Indonesia (second edition). Lanham, Maryland: Scarecrow Press, 2004, hal. 241-242.

Foulcher, Keith (1987) “Politics and Literature in Independent Indonesia: The View from the Left”, Southeast Asian Journal of Social Science, Vol. 15, No. 1, Social and Political Change in Contemporary Indonesia, hal. 83-103.