Usman dan Harun

From Ensiklopedia
Revision as of 03:27, 17 September 2024 by Admin (talk | contribs)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Usman dan Harun. Sumber: Arsip Singapore Strait Times


Usman Harun seolah-olah satu orang yang disematkan pada nama Kapal Republik Indonesia (KRI) dengan nomor 359 tahun 2014. Penamaan KRI Usman Harun diprotes oleh pemerintah Singapura karena penilaian berbeda atas tindakan Usman Janatin, Harun Thohir, dan Gani bin Aroep (berhasil meloloskan diri) di Singapura pada 10 Maret 1965. Aksi mereka mengingatkan peristiwa meledaknya bom di The Hongkong and Shanghai Bank (atau Gedung McDonald House) yang mengakibatkan tewas dan cedera beberapa orang. Pada peristiwa ini, Singapura masih menjadi bagian negara Malaysia ketika terjadi ketegangan antara Indonesia dan Malaysia tahun 1962-1966. Sementara itu, pelaku pengeboman dari sudut pandang Indonesia adalah pionir pejuang konfrontasi yang membuktikan diri sebagai patriot pengemban tugas negara. Landasan dari tindakan adalah Surat Tugas resmi SP KKO Nomor 05/Sp/KKO/64 dan SPD KOTI Nomor 288/KOTI/8/64, tanggal 27 Agustus 1964 (Saefudin, 2019).

Usman Harun pada akhirnya tertangkap pada hari berikutnya. Pada proses peradilan tanggal 20 Oktober 1965, mereka dijatuhi hukuman mati yang pelaksanaannya dilakukan pada 17 Oktober 1968. Jasad dipulangkan ke Indonesia dan dimakamkan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Upaya hukum sesungguhnya telah dilakukan, bahkan pemerintah secara terbuka memintakan pengampunan hukuman mati, tetapi hal ini tetap ditolak. Sebagai reaksi dan bentuk tanggung jawab negara, maka bersamaan dengan hari kematian mereka, pemerintah menetapkan gelar pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50/TK/1968 tanggal 17 Oktober 1968. Penghargaan penamaan pada kapal republik Indonesia merupakan kelaziman untuk mengenangnya sebagai pejuang.

Usman Janatin adalah anak kedelapan dari suami istri H. Mochammad Ali dan Siti Rukijah. Usman sebagai nama ketika menjalankan misi, sedangkan Janatin adalah nama kecil penyebutan dari orang tua. Ia dilahirkan pada 18 Maret 1943 di desa Jatisaba, kabupaten Purbalingga (Sudarmanto, 2007; Saefudin, 2019). Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah pertama, Usman mendaftar di Sekolah Calon Tamtama Korps Komando Angkatan Laut di Malang dan lulus pendidikan militer pada 1 Juni 1962. Ketertarikannya pada kemiliteran tentu dipengaruhi secara tidak langsung oleh tiga saudara tua (Ahmad Kusni, Ahmad Chuneni, dan Ahmad Matori) yang juga menjadi anggota militer dan situasi politik negara yang saat itu sedang membutuhkan tenaga-tenaga untuk dididik secara militer.

Dalam waktu yang relatif tidak lama setelah bergabung di militer, Janatin ditugaskan di Irian Barat (kini Papua) dalam proses pemulangan pasukan Belanda tahun 1962. Pada saat itu, berdasarkan Persetujuan New York, wilayah Irian Barat diserahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kepada pemerintah Indonesia pada 1 Mei 1963. Setelah menjalankan tugas ini, Janatin dianugerahi tanda jasa Satya Lencana Trikora (Saefudin, 2018). Kemudian, Janatin dilibatkan dalam operasi militer dalam konfrontasi dengan Malaysia. Slogan populer saat itu “Ganjang Malaysia” membangkitkan semangat ketika berlangsungnya konfrontasi yang kemudian memunculkan serangkaian latihan operasi khusus, seperti infiltrasi, demolisi, sabotase, gerilya, intelijen, dan perang hutan (Saefudin, 2019). Sampai hari kematiannya, ia berusia 25 tahun 7 bulan dan pangkat militer terakhirnya adalah Sersan Satu Anumerta KKO-AL. Selain penganugerahan pangkat, untuk mengenang dan mendekatkan namanya pada masyarakat di tanah kelahirannya, nama Usman Janatin digunakan untuk nama taman kota Usman Janatin City Park di Purbalingga.

Operasi militer terkait dengan konfrontasi adalah Komando Mandala Siaga (Kolaga) yang dibentuk pada 28 Februari 1965 berdasar Surat Keputusan Presiden Nomor 9/KOTI/1965. Kolaga merupakan kelanjutan atau penyempurnaan dari Komando Gabungan Siaga (Koga) dan Komando Siaga (Kosiaga). Hal ini sebagai realisasi dari Operasi Dwikora yang ditetapkan pada 3 Mei 1964 (Hadiningrat, 1971; Arsana, et al., 2014). Operasi militer Komando Mandala Siaga (Kolaga) dipimpin oleh Omar Dhani yang juga menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Udara yang ditunjuk oleh presiden sebagai pengganti Soerjadi Soerjadarma (Said, 2013). Dalam struktur di kesatuan tugas operasi militer ini, Usman Janatin menjalankan tugasnya sebagai pemimpin di lapangan bersama Harun Thohir dan Gani.

           Harun atau Harun Thohir sebagai anak ketiga dari suami-istri Mahdar dan Asnawi. Sama dengan koleganya seperti disebutkan di atas, Harun merupakan nama ketika melakukan misi dan Thohir sebagai nama kecil dari orang tua. Ia dilahirkan pada 4 April 1947 di Desa Diponggo, Kecamatan Tambak, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Tahun kelahiran ini menunjukkan Thohir lebih muda empat tahun dibandingkan Janatin. Harun Thohir berusia 21 tahun 6 bulan sampai di hari kematiannya. Pangkat terakhir di militer adalah Kopral Satu Anumerta. Keputusan bergabung di militer merupakan pilihan berasal dari keinginan dan kemauan diri. Thohir telah terdaftar sebagai siswa sekolah menengah atas pada tahun 1962, tetapi pendidikan di sekolah ini tidak diselesaikan karena tertarik dan diputuskan untuk mendaftar di Tamtama KKO-AL. Ketika Thohir mengikuti pendidikan, dia dinyatakan lulus dengan pangkat kopral dua pada 1 November 1964, kemudian dikirim ke Pulau Sambu. Di tempat ini, dia bertemu dengan Janatin yang selanjutnya menjalankan misi operasi.

Pulau Bawean secara administratif hanya dibagi dalam dua kecamatan Sangkapura dan Tambak yang tergabung di wilayah kabupaten Gresik. Pulau ini dapat ditempuh menggunakan kapal cepat selama kurang lebih tiga jam dari Pelabuhan Gresik dan kapal barang (logistik) dari Pelabuhan Lamongan selama 8 jam. Selain dengan kapal, Pulau Bawean juga dapat ditempuh dengan pesawat terbang ringan. Bandara udara di Bawean dengan nama Harun Thohir diresmikan pada 30 Januari 2016. Melalui pelabuhan atau bandara, desa kelahiran Thohir relatif mudah dijangkau karena hanya memiliki satu jalan poros utama yang melingkar di tepian Pulau Bawean dan Desa Diponggo juga terdapat situs religi makam waliyah Zainab yang sering dikunjungi oleh peziarah.

Usman Janatin dan Harun Thohir merupakan dua orang yang lahir dari latar belakang budaya berbeda. Janatin hidup dalam keluarga Jawa di lingkungan agraris berdasarkan bukti letak geografis Desa Jatisaba jauh dari laut dan profesi orang tua yang bermata pencaharian sebagai petani, sedangkan Thohir hidup dalam keluarga Bawean di Desa Diponggo terletak di pesisir yang tentunya mengenal kehidupan bahari. Mereka disatukan dalam misi demolisi (proses menghancurkan), sabotase (perusakan fasilitas), dan kesiapsiagaan tugas kemiliteran. Oleh karena itu, kesamaan mereka adalah semangat nasionalisme dan aksi nyata bela negara. Mengutip filsuf Marcus Tullius Cicero, "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang kau berikan kepada negaramu", yang didengungkan lagi oleh J.F. Kennedy atau Sukarno telah dibuktikan oleh Usman Janatin dan Harun Thohir dengan jiwa mudanya.

Penulis: Samidi
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum


Referensi

Arsana, Nyoman, et al. 2014. Sejarah Operasi Dwikora 1962-1966. Jakarta: Markas Besar           Tentara Nasional Indonesia/Pusat Sejarah.

Hadiningrat, Kusumah. 1971. Sedjarah Operasi-Operasi Gabungan Dalam Rangka Dwikora. Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sedjarah ABRI.

Saefudin, Arif. 2018. Usman Janatin & Harun Thohir: Kisah Perjuangan Pahlawan Dwikora. Yogyakarta: Deepublish.

-----------------. 2019. Patriot Bangsa Dari Kota Perwira: Biografi Usman Janatin, 1943-1968. Surakarta: Oase Pustaka.

Said, Salim. 2013. Dari Gestapu Ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian. Bandung: Mizan.

Sudarmanto, J. B. 2007. Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. Jakarta: Grasindo.