Abangan
Istilah “abangan”, berarti “si merah”, berakar dari bahasa Jawa ngoko “abang” (merah) yang bermakna “tidak murni”, bertentangan dengan “putih” yang diasosiasikan dengan murni. Istilah wong abangan, atau abangan––bersama dengan santri dan priyayi––menjadi sangat populer bagi mereka yang mengkaji identitas keagamaan masyarakat Jawa. Mengacu pada karya seminal Clifford Geertz The Religion of Java (1960), secara umum abangan merepresentasikan jenis masyarakat Jawa yang penghayatan kehidupan keagamaannya menekankan aspek animistis dan sinkretisme yang eksis pada kelompok petani (Geertz 1960, 6). Mereka umumnya melakukan ritual-ritual keagamaan yang masih bisa ditemukan sampai sekarang seperti slametan, mulai dari slametan untuk merayakan kelahiran, khitanan, perkawinan, hingga kematian, dan hal-hal magi lainnya seperti menghormati keberadaan makhlus halus. Semua ritual tersebut sudah menjadi tradisi yang dilakukan turun-temurun oleh kaum abangan.
Perlu ditekankan bahwa istilah abangan tidak muncul secara tiba-tiba. Istilah tersebut sudah lama eksis di Jawa, yang terkait dengan perubahan sosial menyusul proses Islamisasi masyarakat di wilayah tersebut. Dalam proses konversi masyarakat setempat menjadi Islam, ada golongan masyarakat Jawa yang masih berpegang kuat pada tradisi-tradisi lama, dan pada titik tertentu menjadikan Islam di Jawa tampak kehilangan beberapa aspek ritual dan doktrinalnya (Muchtarom 1975, 47).
Tidak ada bukti tertulis yang memperlihatkan sejak kapan istilah abangan ini muncul di masyarakat. Studi Ricklefs (2006) menunjukkan bahwa istilah ini baru muncul sekitar pertengahan abad 19. Istilah “abangan” atau “abritan” muncul pertama kali pada sebuah kamus berjudul Javaansch-Nederduitsch woordenboek (Gericke dan Roorda 1901, I: 197-8), meski tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai istilah tersebut. Namun, istilah tersebut umum digunakan sebagai kategori masyarakat yang berseberangan dengan kaum “putihan”, kelompok yang taat pada kewajiban agama.
Masih berdasarkan pada pelacakan Ricklefs, salah satu rujukan paling awal yang menjelaskan istilah abangan muncul setidaknya pada 1855, berupa catatan yang dibuat oleh Hoezoo. Dia menerjemahkan istilah abangan sebagai orang yang profan ataupun sekuler. Dengan diposisikan sebagai lawan dari kelompok putihan, maka penggunaan istilah tersebut, khususnya di Semarang, tidak terlepas dari gerakan kebangkitan Islam yang menonjol pada saat itu. Sebab, istilah abangan memang digunakan oleh kelompok-kelompok putihan (mereka yang membanggakan kesalehan dan puritanisme agama Islam) untuk menyindir kelompok abangan yang kurang saleh dalam menjalankan Islam (Ricklefs 2006, 45).
Penduduk Jawa kala sejak kisaran 1870-1900-an membagi dirinya menjadi dua kelompok, kaum putihan dan kaum abangan (Poensen 1886:7). Bila kaum putihan identik dengan mereka yang sering shalat di masjid, rajin membaca Qur’an, dan rajin beribadah, maka kaum abangan adalah sebaliknya. Dalam laporan Poensen, kaum abangan adalah mereka yang jarang beribadah, lebih senang mempelajari bahasa Jawa daripada Qur’an, dan lebih mendalami tradisi Jawa.
Dari sisi ekonomi, kaum putihan dianggap lebih kaya, aktif dalam bisnis, berpakaian lebih baik, memiliki rumah yang lebih mewah, tampak lebih halus dalam sopan santun, menghindari candu dan perjudian, dan lebih banyak memberi anak-anak mereka pendidikan kedisiplinan. Sementara itu, kaum abangan berbeda pendapat dalam hal ini. Mereka dikesankan jauh lebih miskin, tidak terlibat dalam perdagangan, dan tidak menyekolahkan anak-anak mereka. Abangan masih melakukan beberapa kegiatan keagamaan, tetapi melakukannya atas nama solidaritas desa. Sementara kaum putihan membaca karya-karya Arab dan mendiskusikan urusan dunia Islam, kaum abangan menonton pertunjukan wayang dan menghadiri hiburan-hiburan khas Jawa seperti wayang.
Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. First Edition. London: Free Press of Glencoe.
Gericke, J.F.C., dan T. Roorda. 1901. 1 Javaansch-Nederlandsch Handwoordenboek. Vermeerderd en verbeterd door A.C. Vreede met medewerking van J.G.H. Gunning. Leiden: Brill.
Muchtarom, Zaini. 1975. “Santri and Abangan in Java.” MA Thesis. McGill University.
Ricklefs, Merle C. 2006. “The Birth of the Abangan.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 162(1): 35–55.