Abdullah Ahmad

From Ensiklopedia

Abdullah Ahmad adalah tokoh ulama kaum muda Minangkabau, dikenal karena menjalankan sebuah majalah modernis bernama Al-Munir serta mendirikan sekolah Adabiyah di Padang. Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878. Ia berasal dari keluarga ulama-pedagang. Ayahnya bernama Haji Ahmad, biasa mengajar di surau-surau sembari berjualan kain Bugis sedangkan ibunya berasal dari Bengkulu (Noer, 1982: 45).

Haji Ahmad adalah seorang ulama yang progresif serta berwawasan luas. Karena itu Ahmad menyekolahkan Abdullah di sekolah umum (Volkschool) pada pagi hari, namun tetap mengaji pada ayahnya pada malam hari.  Setelah berumur 17 tahun, Abdullah Ahmad dikirim ke Makkah oleh ayahnya (Yunus, 1980: 33-52). Abdullah berangkat pada tahun 1895 dan belajar pada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang ulama penganut Madzhab Syafii, namun juga menganjurkan murid-muridnya untuk belajar Madzhab apapun. Selain kepada Syekh Ahmad Khatib, Abdullah juga belajar pada Syekh Jamil Jambek, Syekh Taher Jamaluddin dan ulama lokal lainnya (Media Roza, 2001: 17).

Berkat pola pengajaran Syekh Ahmad Khatib, ide-ide perubahan dan modernitas menginspirasi pemikiran Abdullah Ahmad, terlebih setelah ia membaca majalah Urwatul-Wustqa dan tafsir Al-Manar yang berisi pemikiran Muhammad Abduh. Selain itu Abdullah juga adalah pelanggan beberapa majalah modernis seperti Al-Manar dan Al-Ittihad terbitan Mesir serta Al-Imam terbitan Singapura. Pada tahun 1899, setelah belajar selama empat tahun di Makkah Abdullah Ahmad kembali ke Padang Panjang. Masyarakat menyambut meriah kepulangannya dan mengangkat dia sebagai guru agama. Ia pertama kali mengajar di Surau Jembatan Besi tempat ayahnya mengajar. Karena kedalaman ilmunya, murid-muridnya semakin banyak dan berasal dari berbagai wilayah. Saat itulah ia lebih dikenal dengan panggilan Tuan Dullah (Media Roza, 2001: 20).

Selama tujuh tahun Abdullah Ahmad mengajar dan aktif berkeliling berdakwah kepada masyarakat. Selama itu pula ia kerap mengkritik praktik-praktik kepercayaan masyarakat setempat yang menurutnya bid’ah dan khurafat seperti beberapa amaliah Tarekat dan kepercayaan pada Azimat. Meski mengkritik kepercayaan tersebut, dalam dakwahnya Abdullah Ahmad tetap menggunakan cara yang baik dan halus sehingga anjurannya cenderung diterima dengan tangan terbuka (Yunus, 1992: 157). Namun pada tahun 1901 kehidupan keberagamaan di Minangkabau berubah setelah Haji Abdul Karim Amrullah pulang dari tanah suci. Tidak seperti Abdullah Ahmad, Abdul Karim menentang lebih keras dan lantang atas praktik yang dilakukan kaum Tarekat sehingga permasalahan itu semakin hangat dibicarakan (Hamka, 1962: 61)

Polemik ini membuat Abdullah Ahmad mempunyai ide untuk mengirimkan surat yang berisi lima pertanyaan seputar amalan yang biasa dilakukan pengikut Tarekat Naqsyabandiyah kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi di Mekkah pada tahun 1906. Syekh Ahmad Khatib membalas surat Abdullah Ahmad dengan menulis buku yang cukup tebal berjudul “Izhar” yang berisi kritik terhadap amalan tarekat yang tidak sesuai ajaran Islam (Al-Minangkabawi, 1909: 3).

Buku ini kemudian diperbanyak oleh Abdullah sehingga menuai pro dan kontra. Ulama pendukung Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi biasa disebut sebagai Kaum Muda sedangkan ulama tarekat yang menolak fatwa itu disebut sebagai Kaum Tua (Putra, 2017: 136). Jawaban dari Syekh Ahmad Khatib ini semakin memperkuat pendirian Abdul Karim agar menentang amaliyah kaum Tarekat. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi awal mula persahabatan antara Abdullah Ahmad, Abdul Karim serta Muhammad Jamil Jambek untuk menjadi pelopor penggerak reformasi keagamaan di Minangkabau (Media Roza, 2001: 22)

Pada 1906, paman Abdullah yang bernama Syekh Abdul Halim wafat. Akan tetapi sebelum wafatnya, Syekh Abdul Halim sempat berpesan agar Abdullah bersedia menggantikannya mengajar di Masjid Ganting, Kota Padang. Wasiat sang paman diperkuat dengan banyaknya permintaan dari masyarakat dan para tokoh di kota itu. Akhirnya, pada tahun itu juga Abdullah Ahmad pindah dari Padang Panjang ke Kota Padang. Pada 1909, Abdullah Ahmad mendirikan sekolah Adabiyah serta Yayasan Sarekat Usaha untuk menunjang keuangan sekolah Adabiyah dan mendirikan tempat penampungan bagi anak yatim dan terlantar (Media Roza, 2001: 24).

Pada April 1911, Abdullah Ahmad mendirikan majalah Al-Munir. Majalah ini terinspirasi dari majalah Al-Imam asuhan Tahir Jalaluddin Al-Azhari di Singapura yang berhenti terbit pada 1909. Majalah ini sangat digandrungi oleh kaum modernis, bahkan saat majalah Al-Imam berhenti terbit, Abdullah Ahmad sendiri segera berangkat ke Singapura untuk menemui para pengurus majalah itu dan menyampaikan niatnya untuk menerbitkan majalah dengan model serupa. Di dalam kepengurusan Al-Munir, Abdullah menjabat sebagai pimpinan umum, selain Abdullah Ahmad, diantara tokoh kaum muda yang menjadi pengurus majalah Al-Munir adalah Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji Muhammad Thaib Umar (Hamka, 1962: 99-100). Majalah Al-Munir berhenti terbit pada tahun 1915, sebabnya antara lain karena kekurangan dana dan pengelolaan yang kurang profesional (Daya, 1990: 119)

Selain berdakwah Abdullah Ahmad juga aktif menulis, diantara tulisannya yang diterbitkan menjadi buku adalah: “Ilmu Sejati” yakni kumpulan tulisan dalam bidang tauhid; Tadzkirotoel Hoedjdjad, buku tentang tuntunan ibadah haji; dan Titian ke Syorga, buku yang membahas tentang adab dan akhlak (Putra, 2017: 142). Ia juga membuka usaha percetakan dan penerbitan buku. Kebanyakan buku yang diterbitkannya adalah untuk memperbaharui buku-buku pegangan madrasah dan surau yang telah ketinggalan zaman atau usang, selain itu ada pula buku terjemahan dari Timur Tengah semisal Kitab “Bidayatul Mujtahid” karya Ibnu Rusyd yang diterjemahkan oleh Muhammad Thaib Umar (Hamka, 1962: 104)

Dalam bidang pendidikan, Abdullah Ahmad mendirikan organisasi Persatoean Goeroe2 Agama Islam (PGAI) pada tahun 1918. Organisasi ini kemudian menerbitkan majalah berjudul Al-Ittifaq wal-Iftiraq (Persatuan dan Perpecahan) untuk mensosialisasikan gagasannya mengenai pendidikan. Pada 1922, Abdullah sempat menerbitkan sebuah majalah yang berumur singkat, berjudul “Buka Mata'' yang diterbitkan khusus untuk membendung pengaruh ajaran Ahmadiyah yang kala itu masuk ke Padang. Selain itu, Abdullah juga sempat menjadi redaktur majalah Al-Islam milik Sarekat Islam yang terbit di Surabaya pada tahun 1916 (Media Roza, 2001: 49).

Pada tahun 1926, terjadi Konferensi Khilafah di Kairo. Abdullah Ahmad bersama Abdul Karim Amrullah menjadi pembicara dalam konferensi itu sehingga menarik perhatian para ulama Al-Azhar. Para ulama itu kemudian membentuk suatu panitia untuk menyelidiki latar belakang, kedalaman ilmu serta sepak terjang mereka. Pada akhirnya panitia itu sepakat memberikan keduanya gelar Doktor Honoris Causa di bidang Ilmu Agama Islam. Penyerahan gelar diberikan oleh Syekh Husain Wali sebagai Guru Besar Al-Azhar dan Ketua Konferensi Khilafah (Media Roza, 2001: 27).

Diketahui bahwa Abdullah pernah menikah sekali namun tidak memiliki keturunan. Sepulangnya dari Kairo, Abdullah sebenarnya sudah sakit-sakitan dan pernah berobat di Jakarta dan Bandung (Media Roza, 2001: 28). Lantaran penyakitnya itu, pada bulan November 1933 Abdullah Ahmad wafat pada usia 55 tahun dan dimakamkan di Padang. Pemakamannya dihadiri oleh ratusan orang, para tokoh, pemimpin, dan berbagai kelompok organisasi (Harian Tjamboet, 29 November 1933).

Penulis: Muhamad Mulki Mulyadi Noor
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Referensi

Putra, Apria “Ulama dan Karya Tulis: Diskursus Keislaman di Minangkabau Awal Abad 20”, Jurnal Fuaduna Vol I No 2. Desember 2017.

Yunus, Mahmud (1992) Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.

Noer, Deliar (1982) Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES 1982

Al-Minangkabawi, Ahmad Khatib (1909) Izhar Zaghlil Kadzibin fi-tasyabbuhihim bi al-shadiqin. Mesir: Mathba’ah Al-taqaddum Al-Ilmiyah.

Hamka (1962) Ayahku: Riwayat Hidup DR. H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Uminda.

Daya, Burhanuddin (1990) Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam. Jakarta: Tiara Wacana.

Media Roza, Adek (2001) Dr. Syekh Abdullah Ahmad: Riwayat Hidup, Perjuangan dan Sumbangannya terhadap Pembaharuan Islam di Sumatera Barat, Depok: Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia

Harian Tjamboet, “Dr. H Abdullah Ahmad, Meninggal dalam Tjita-tjita jang baik. Pengantarnja sangat ramai”, 29 November 1933