Aboebakar Atjeh

From Ensiklopedia
Aboebakar Atjeh. Sumber: ANRI. Daftar Arsip Foto Personal.

Aboebakar Atjeh adalah intelektual public terkemuka asal Aceh dengan berbagai karya penting terkait keagamaan, filsafata, dan kebudayaan.  Ia Atjeh lahir di Peureumeu, Aceh Barat pada 28 April 1909 dan meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 18 Desember 1979. Aboebakar berasal dari keluarga yang memiliki kultur keagamaan yang cukup kuat. Ayahnya bernama Teungku Haji Sjah Abdurahman merupakan Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, dan ibunya Hajjah Na’in berasal dari perkampungan Peulanggahan, Banda Aceh. Sebenarnya nama aslinya hanya Aboebakar saja. Adapun tambahan kata “Atjeh” di belakang namanya adalah pemberian Presiden Sukarno kepadanya karena kagum terhadap keluwesan ilmu yang dimilikinya. Bahkan, Aboebakar Atjeh juga termasuk di antara seratus tokoh Islam paling berpengaruh di Indonesia (Hamid & Ahza, 2003: 27).

Sebagai anak yang berasal dari lingkungan ulama Aceh, Aboebakar mendapat pendidikan dasar agama di beberapa dayah (lembaga pendidikan non-formal/tradisional khas Aceh) yang terkenal di Banda Aceh, seperti Dayah Teungku Haji Abdussalam Meuraxa dan Dayah Manyang Tuanku Raja Keumala di Peulanggahan, Banda Aceh. Selain mendapat pendidikan keagamaan, ia juga mengenyam pendidikan Belanda di Volkschool (Sekolah Rakyat) Meulaboh dan Kweekschool Islamiyah (Sekolah Guru Islam) di Padang. Setelah itu ia bertolak ke Yogyakarta untuk memperdalam pengetahuannya, namun tak berselang lama ia pindah ke Jakarta. Selama berada di Jakarta Aboebakar belajar bahasa Arab, Belanda, Inggris, Jepang, Prancis, dan Jerman. Ia juga menguasai bahasa Aceh, Gayo, Minangkabau, Jawa, dan Sunda (Kaifahmi, 2017: 18). Selain itu Aboebakar juga pernah menimba ilmu di Makkah selama beberapa waktu. Karena kegemilangan dan keluwesan ilmunya tersebut, Aboebakar kemudian mendapat julukan “Ensiklopedia Berjalan” dari teman-teman sejawatnya.

Semasa hidupnya, Aboebakar Atjeh menikahi dua orang perempuan, pertama bernama Soewami dan yang kedua bernama Soekarti. Dari pernikahan pertama Aboebakar tidak mendapatkan keturunan. Namun dari pernikahannya yang kedua, ia memperoleh enam orang anak, yaitu: Umarah Sri Angsani, Inayah Sri Soewami, Muhammad Furqan, Maisarah Sri Widari, Rahmah Sri Wardani, dan Farhan A.

Aboebakar aktif mengikuti berbagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan semasa mudanya di Aceh. Ia pernah menjadi aktivis Sarekat Islam di wilayah Aceh sekitar tahun 1923. Setelah itu, ia juga menjadi salah satu tokoh pendiri organisasi Muhammadiyah di Aceh pada tahun 1924. Sepak terjangnya dalam berorganisasi di kemudian hari membawanya ke pulau Jawa. Di Jawa, dia banyak bertemu dengan tokoh-tokoh besar dalam pergerakan Indonesia.

Aboebakar Atjeh juga pernah menjadi salah satu pegawai di masa Hindia-Belanda Ia bekerja sebagai pustakawan dan editor pada Kantor Urusan Dalam Negeri sejak tahun 1930 sampai takluknya Belanda kepada Jepang. Di masa pendudukan Jepang, Aboebakar menjadi kepala asrama dan pegawai perpustakaan pada Shumubu Nito Syoki (1944). Selain itu ia juga menjadi guru kursus dai. Setelah Indonesia merdeka, Aboebakar menjadi pegawai di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (1945). Setahun kemudian,  dia diangkat menjadi Kepala Perpustakaan Islam yang berada di bawah Kementerian Agama dan menjadi pimpinan Partai Masyumi di Yogyakarta (Kaifahmi, 2017: 22).

Pada tahun 1948, Aboebakar bersama Menteri Agama pada masa itu, K.H. Masjkur, memelopori penulisan Al-Quran pusaka (Hamid & Ahza, 2003: 382). Selanjutnya pada tahun 1950, ia memimpin majalah Mimbar Agama yang menjadi majalah resmi Departemen Agama. Ia juga tercatat sebagai anggota penulisan sejarah Monumen Nasional (Monas) dan panitia pembangunan Masjid Istiqlal Jakarta, serta ikut mendirikan Perpustakaan Kutub Khanah Iskandar Muda di Banda Aceh.

Sejak bekerja di Departemen Agama dan mengurusi bidang penataan pelayanan haji, Aboebakar mulai memiliki kedekatan emosional dengan Menteri Agama pada masa itu, yaitu K.H. Wahid Hasyim. Pada tahun 1953 Aboebakar mendampingi jamaah haji asal Indonesia ke Makkah (Fealy, 2009: 131). Karena keluwesan ilmu dan keahliannya dalam menulis, ia kemudian mengelola bidang publikasi Departemen Agama dan nantinya menjadi staf ahli Menteri Agama.

Pasca wafatnya K.H. Wahid Hasyim pada 18 April 1953, Aboebakar berinisiatif untuk menuliskan sebuah buku biografi dari K.H. Wahid Hasyim sebagai wujud penghormatan kepada beliau. Aboebakar dikenal sangat tekun dalam menggarap penulisan biografi tersebut. Ia bekerja siang dan malam, menghubungi keluarga besar K.H. Wahid Hasyim, mengumpulkan foto dan tulisan-tulisan beliau yang pernah dimuat di berbagai media. Salah seorang yang dijumpai oleh Aboebakar untuk memperkaya bahan dari buku biografi tersebut ialah K.H. Abdul Karim Hasyim (adik kandung K.H. Wahid Hasyim).

Aboebakar memerlukan waktu kurang lebih satu tahun dalam mengumpulkan semua bahan-bahan untuk penulisan buku tersebut. Setelah empat tahun berlalu, akhirnya buku biografi KH. Wahid Hasyim yang diberi judul Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar diluncurkan di Jakarta pada tahun 1957 (Aceh, 1957: 3). Buku ini menjadi pembuktian akan keluasan dan kedalaman ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Buku ini juga menjadi awal kedekatan Aboebakar dengan kalangan pesantren yang ada di Indonesia. Kedekatan dan keakrabannya dengan kalangan reformis-modernis Islam selama berada di Yogyakarta, tidak menghalanginya untuk membangun hubungan yang harmonis dengan komunitas pesantren. Bahkan dalam sejumlah tulisannya, Aboebakar menunjukkan rasa kagumnya terhadap kehidupan dan banyak menimba ilmu dari tradisi keilmuan di pesantren.

Sebagai ulama dan cendekiawan, Aboebakar banyak memberikan pengajian agama di masjid-masjid pada berbagai lembaga negara. Dia juga pernah menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi di Jakarta. Pada 30 Januari 1967, ia menerima gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ilmu Agama Islam dari salah satu Perguruan Tinggi Islam di Jakarta.

Beberapa karya Aboebakar Atjeh yang cukup terkenal ialah: Sejarah Al-Quran; Teknik Kubah; Perjuangan Wanita Islam; Kemerdekaan Beragama; Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf; Sejarah Syi’ah di Nusantara; Pengantar Ilmu Tarekat; dan Perbandingan Mazhab Ahlussunnah Waljamaah. Selain itu ia juga menerjemahkan beberapa karya para penulis Eropa tentang Sejarah Aceh ke dalam Bahasa Indonesia dan juga membantu penyusunan Kamus Aceh, Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek karya Hoesein Djajadiningrat.

Penulis: Ahmad Muhajir
Instansi: Universitas Islam Sumatera Utara
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A


Referensi

Aceh, Abubakar (1957). Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar. Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hasjim.

Fealy, Greg (2009). Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU, 1952-1967. Yogyakarta: LKiS.

Hamid, Shalahuddin & Ahza, Iskandar (2003). Seratus Tokoh Islam yang Paling Berpengaruh di Indonesia. Jakarta: Intimedia Ciptanusantara.

Kaifahmi, Luthfi (2017). “Pemikiran Tasawuf dan Tarekat Perspektif Aboebakar Atjeh Tahun 1948-1977.” Skripsi pada Institut Agama Islam Negeri Salatiga.