Ahmad Hasan (Persis-Bangil)

From Ensiklopedia

Ahmad Hasan adalah salah satu tokoh penting pembaruan agama Islam di Indonesia abad ke-20. Ia lahir di Singapura 31 Agustus 1887. Ayahnya bernama Ahmad Sinna Vappu Maricar adalah orang Singapura keturunan India. Ibunya bernama Muhnaz keturunan Mesir asal Madras, India. Mereka bertemu dan menikah di Surabaya ketika Ahmad berdagang di kota itu. Dari Surabaya, mereka pindah ke Singapura. Selain menjadi pedagang, Ahmad terkenal menjadi jurnalis dan redaktur di majalah Nurul Islam atau Nur Al-Islam. Rupanya bakat Ahmad Hassan yang suka menulis dan berdebat diturunkan dari ayahnya yang sering mengadakan tanya jawab dalam surat kabarnya (Mughni, 1994: 11).

Sosok ayah menjadi tokoh penting dalam menanamkan pendidikan dan pembentukan karakter di usia dini bagi Ahmad Hassan. Pada usia tujuh tahun ia mulai belajar Al-Quran. Ia sempat mengecap pendidikan formal di sekolah Melayu dan juga sekolah dasar Inggris akan tetapi tidak dituntaskannya hingga tamat. Ketika duduk di kelas empat ia keluar dari kedua sekolah dasar itu (Noer, 1985: 95). Pendidikan non formalnya selama empat tahun digunakan sebaik-baiknya untuk mengambil pelajaran secara privat khususnya dalam bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Tamil. Pada tahun 1899 hingga 1910 Ahmad Hassan bekerja di sebuah toko milik kerabatnya, Sulaiman. Sambil bekerja ia belajar kepada beberapa guru kenamaan seperti: H. Ahmad di Kampung Tiung, Bukittinggi, belajar Nahwu dan Sharaf kepada H. Muhammad Thaib di kampung Rocoh, dan sepeninggal Muh. Thaib pergi haji, A. Hassan berguru kepada Said Al-Munawi Mausuli, dan Syeikh Hasan seorang ulama berasal dari India. (Djaya, 1980: 100-2). Dengan bekal Rihlah keilmuan dari guru-gurunya A. Hassan kemudian menekuni berbagai bidang pekerjaan.

Tahun 1910 hingga 1913 ia menjadi guru tidak tetap di madrasah orang-orang India di Arab Street, Baghdad Street, dan Geylang. Kemudian menjadi guru tetap menggantikan Fadhlullah Suhaimi pada Madrasah Assegaf di Jalan Sulthan. Sekitar tahun 1912-1913, A. Hassan menjadi anggota redaksi surat kabar Utusan Melayu yang diterbitkan oleh Singapore Press di bawah pimpinan Inche Hamid dan Sa’dullah Khan dan mengelola rubrik “Etika”. Selain aktivitas jurnalistik, Ahmad Hassan juga mulai banyak membaca tulisan-tulisan kaum pembaru yang terdapat dalam majalah Al-Manar (Kairo), Al-Imam (Singapura), Al-Munir (Padang), dan tulisan-tulisan Syeikh Ahmad Soorkati yang ditemukan dalam buku berjudul Surat Al-Jawab tahun 1914 (Noer, Gerakan, 1985: 90). Tulisan Ahmad Hassan didominasi oleh tulisan berisi tentang nasihat keagamaan namun tidak sedikit yang berisi kritikan dan menimbulkan kehebohan publik. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu alasan ia meninggalkan Singapura.

Pada 1921 Ahmad Hassan berangkat ke Surabaya untuk berdagang dan melanjutkan usaha toko milik pamannya, Abdul Lathif. Pada perkembangan selanjutnya, ia tertarik dengan usaha tenun dan berencana beralih ke bisnis ini. Atas rekomendasi dua sahabatnya Bibi Wantee dan Muallimin, ia dikirim ke sekolah pemerintah untuk mempelajari pertenunan di Bandung. Di Bandung ia indekos di rumah keluarga Haji Muhammad Yunus, salah seorang pendiri Persatuan Islam (Persis). Bersama dengan Haji Zamzam, ia mempelopori berdirinya Persis pada tanggal 11 September 1923. Ahmad Hassan kemudian bergabung dengan gerakan ini pada 1924 (Federspiel, 1996: 17). Ia memang sejak awal sudah tertarik terhadap masalah-masalah keagamaan dan menemukan organisasi yang dinilainya sangat sesuai dengan pemikirannya. Pada akhirnya ia tidak lagi berminat mendirikan usaha tenunnya di Surabaya.

Menurut Federspiel, dalam Abdurahman (2019: 81), kehadiran Ahmad Hassan seperti sebuah angin segar untuk Persis karena mendapat pandangan-pandangan yang memberikan bentuk dan kepribadian nyata, sehingga bisa menempatkan Persis dalam barisan muslim pembaru. Persis yang telah berdiri sejak 12 September 1923 mendapatkan tenaga baru bagi pengembangan organisasi yang lebih masif. Tahun 1927 dibentuk sebuah kelas khusus semacam kelompok diskusi yang diikuti oleh kalangan muda yang berminat mempelajari agama secara sungguh-sungguh dan telah mempunyai pengalaman belajar di sekolah-sekolah pemerintah. Salah satu gurunya adalah Ahmad Hassan. Kursus dalam bentuk ini antara lain diikuti Mohammad Natsir, Fachruddin Al-Kahiri, Kusbandi, Tjaja dan lain-lain (Djaya, 1980: 117). Mereka di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh yang turut memajukan perjuangan Persis. 

Pada Maret 1940 Ahmad Hassan memutuskan untuk pindah ke Bangil Jawa Timur. Kepindahannya diikuti oleh 25 orang santri pria yang masih ingin meneruskan pelajarannya bersamanya. Setahun kemudian, yaitu pada bulan Februari 1941, didirikan lagi Pesantren Khusus Puteri (Mughni, 1980: 71).

Sebagai guru utama Persis, Ahmad Hassan mengembangkan pemikiran-pemikirannya seiring dengan orientasi perjuangan organisasi ini, yang sejak berdirinya bersemboyan hendak mengembalikan umat Islam kepada pimpinan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Persis adalah organisasi yang unik karena unsur gerakan pemurnian Islam yang terkesan revolusioner pada waktu itu, dibanding organisasi lain yang menyiarkan paham dan ideologi baru yang lunak. Meskipun ada yang beranggapan bahwa Persis cenderung kepada pemikiran Wahabi, akan tetapi Ahmad Hassan tetap mendukung para pemimpin sekularis dan tidak kehilangan tujuan untuk menegakkan sebuah negara Indonesia yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam (Fauzan, 2016: 154).

Ahmad Hassan juga seorang yang memberikan pencerahan tentang Islam kepada Sukarno. Perkenalannya dengan Bung Karno diawali ketika keduanya sama-sama bertemu di percetakan Drukerij Economy milik orang Tionghoa. Pada waktu itu Sukarno sedang mencetak surat kabar propaganda politiknya, Fikiran Rakyat, sementara Ahmad Hassan mencetak majalah-majalah dan buku-buku yang ia terbitkan. Dalam setiap pertemuan di percetakan itu, keduanya sering berdialog berbagai masalah. Rupanya Ahmad Hassan, memberikan andil besar terhadap pemikiran keislaman Presiden Sukarno (Amin, 2007: 147). Surat-surat Bung Karno kepada Ahmad Hasan semasa pembuangan ke Ende menjadi saksi akan kedekatan mereka. Meskipun sebelumnya, di antara mereka terjadi perdebatan pemikiran berkepanjangan tentang Islam dan nasionalisme. Selain itu, Ahmad Hassan juga banyak melahirkan tokoh besar di Indonesia, di antaranya Mohammad Natsir, K.H. M. Isa Anshory, K.H. E. Abdurrahman, dan K.H. Rusyad Nurdin.

Berikut adalah lebih dari 70 kumpulan karya tulis A. Hassan yang dikutip dari Djaja (1980: 166-168); Mughni (1980); Dadan Wildan (1997): Pengajaran Shalat (1930)t; Pengajaran Shalat (Huruf Arab) (1931) Kitab Talqin; Risalah Jum’at; Debat Riba; Al-Mukhtar; Soal Jawab; Al-Burhan; Al-Furqan; Hai Cucuku;(1932) Debat Talqin; Kitab Riba; Risalah Ahmadiyah (1934) Pepatah; Debat Luar Biasa (1935) Debat Taqlid (1936) Debat Taqlid (1937) Surat-surat Islam dari Endeh; Al-Hidayah (1939) Ketuhanan Yesus Menurut Bibel;  Bacaan Sembahyang; Kesopanan Tinggi ; Kesopanan Islam (1940) Hafalan; Qaidah Ibtidaiyah (1941) Risalah Kerudung; Islam dan Kebangsaan; (1942) An-Nubuwah; Perempuan Islam; Debat Kebangsaan (1934) Tertawa; Pemerintahan Cara Islam (1945) Kamus Rampaian; (1936) A. B. C. Politik (1947) Merebut Kekuasaan; Al-Manasik (1948) Kamus Persamaan; Al-Hikam; First Step (1949) Al-Faraidh; Belajar Membaca Huruf Arab; Special Edition; Al-Hidayah; Sejarah Isra Mi’raj (1950) Al-Jawahir; Matan Ajrumiyah; Kitab Tajwid; (1951) Surat Yasin; Is Muhammad a Prophet; Muhammad Rasul?; Apa Dia Islam; What Is Islam?; Tashauf ; Al-Fatihah; At-Tahajji; Pedoman Tahajji; (1953) Syair (1954) Risalah Hajji (1955) Wajibkah Zakat?; Wajibkah Perempuan Berjum’at?; Topeng Dajjal  (1956) Halalkah Bermadzhab, Al-Madzhab; Al-Furqan (Tafsir Qur’an) (1958) Bybel-Bybel; Isa Disalib; Isa dan Agamanya (1959) Bulughul Maram; At-Tauhid (1962) Adakah Tuhan? (1966) Pengajaran Shalat; Dosa-dosa Yesus.

Pengaruh pemikiran Ahmad Hassan telah tersebar luas di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Tafsir al-Furqan adalah karya fenomenal yang ditulisnya. Penulisan tafsir ini merupakan langkah pertama dalam sejarah penerjemahan Al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia dalam kurun waktu 1920-1950. Bagian pertama tafsir ini diterbitkan pada 1928, sedangkan edisi kedua diterbitkan pada 1941. Namun edisi kedua itu hanya sampai surat Maryam, sedangkan tafsir ini selesai hingga 30 juz, terjadi di tahun 1953 atas bantuan pengusaha Sa’ad Nabhan. Dalam bidang politik, pemikiran-pemikiran Ahmad Hassan dan Persis juga memberikan dampak terhadap perkembangan pemikiran politik umat Islam baik menjelang kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan.

Hingga akhir hayatnya, Ahmad Hasan tidak berhenti berkarya dan meninggalkan jejak intelektual yang sangat melimpah. Ia menghembuskan nafas terakhir dalam usia 71 tahun pada Senin, tanggal 10 November 1958 di rumah sakit Karang Menjangan (rumah sakit Dr. Soetomo) Surabaya.

Penulis: Martina Safitry
Instansi: UIN Raden Mas Said Surakarta
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si


Referensi

Abdurrahman, Dudung, (2019) “Pemikiran Islam Murni Ahmad Hassan”. dalam Tokoh-tokoh Muslim Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Ide Press, pp. 77-100.

Amien, Siddiq dkk (2007). Panduan Hidup Berjama’ah Dalam Jam’iyyah Persi. Bandung: PP PERSIS.

Djaya, Tamar (1980). Riwayat Hidup A. Hassan. Jakarta: Mutiara.

Fauzan, Pepen Irpan (2016) “Perumus Manifest Perjuangan Persatuan Islam” dalam Jurnal Studi Islam STAI Persis Garut Vol.1 No.2 2016. hal. 149-171.

Federspiel, Howard M. (1996). Persatuan Pembaruan Islam di Indonesia Abad XX. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.

Mughni, Syafiq A. (1994). Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, (Cet. II; Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Noer, Deliar (1985). Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Wildan, Dadan (1997). Yang Da’I yang Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis. Bandung: Rosda Karya.