Ahmadiyah

From Ensiklopedia

Ahmadiyah adalah salah satu kelompok minoritas Muslim di Indonesia. Ahmadiyah terdiri dari dua golongan, yakni Ahmadiyah Qadian (kemudian dikenal sebagai Jemaah Islam Indonesia) dan Ahmadiyah Lahore (kemudian dikenal Gerakan Ahmadiyah Indonesia). Dalam kasus Indonesia, Ahmadiyah Lahore dianggap masuk lebih awal semenjak kedatangan tokohnya yang bernama Maulana H. Kwadjah Kamaluddin pada 1920 (Burhani, 2013: 80). Pada 28 November 1920, Kamaluddin diundang oleh Taswirul Afkar memberikan pandangannya pada peringatan Maulid Nabi di Masjid Ampel, Surabaya. Personanya sebagai mubaligh membuat banyak orang Indonesia terkesan (Blood, 1974).

Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan adalah tiga pemuda Indonesia yang kemudian pergi ke India untuk mempelajari Ahmadiyah. Meski mereka terpapar Ahmadiyah Lahore lebih dulu, ketiga pemuda tersebut justru mendalami Ahmadiyah di Qadian, India pada 1922 (PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1986: 65). Ada dua faktor utama yang membuat mereka pergi ke Qadian. Pertama, mereka ingin mengunjungi makam Mirza Ghulam Ahmad di Qadian, dan kedua mereka tidak begitu puas dengan Ahmadiyah yang diajarkan di Lahore (Zulkarnain, 2005: 173). Sejak saat itu, datang lagi 19 orang dari Indonesia untuk belajar di Qadian (PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1986: 66).

Pada bulan November 1924, para pemuda Indonesia yang belajar di Qadian mengundang Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifah Kedua dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), untuk hadir pada jamuan teh. Pada jamuan tersebut, para pemuda Indonesia meminta Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad untuk hadir ke Indonesia. Permintaan tersebut direspon secara baik oleh Mahmud Ahmad. Dirinya kemudian menunjuk Maulana Rahmat Ali sebagai mubaligh untuk wilayah Sumatra dan Jawa (Blood, 1974).

Di waktu yang tidak berjauhan, Gerakan Ahmadiyah Indonesia juga mulai melebarkan aktivitasnya di Indonesia. Hal ini terutama untuk merespon misi kristenisasi yang marak terjadi di Pulau Jawa (Beck, 2005). Maulana Ahmad dan Wali Ahmad Baig merupakan mubaligh Ahmadiyah Lahore yang kemudian diutus ke pulau Jawa, khususnya Jogjakarta. Di Jogja, mereka disambut oleh Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Beberapa anggota Muhammadiyah bahkan tertarik dan menjadi aktivis Ahmadiyah (Zulkarnain, 2005: 189).

===

Dari Jogjakarta, Gerakan Ahmadiyah Indonesia terus berkembang ke berbagai daerah lain di Jawa seperti Purwokerto, Purbalingga, dan Surakarta. Ini tidak terlepas dari gaya penyampaian Mirza Wali Ahmad Baig yang hampir pernah menceritakan situasi Ahmadiyah yang saat itu juga sempat ditolak di dunia Muslim (Zulkarnain, 2005: 230). Selain itu, Ahmad Baig juga mengedepankan pengajaran bahasa Inggris dan pembacaan serta penghayatan Qur’an. Hal ini yang kemungkinan besar membuat masyarakat tertarik pada Ahmadiyah saat itu.

===

Perkembangan Ahmadiyah secara umum semakin pesat setelah kembalinya para pelajar dari Qadian ke Indonesia. Apalagi, salah satu utusan Khalifah Kedua Ahmadiyah, Maulana Rahmat Ali juga sudah mulai hadir di Tapaktuan, Aceh, sejak 1925 (Zulkarnain, 2005: 178). Beberapa masyarakat Aceh menerima ajaran Ahmadiyah dengan tangan terbuka, utamanya ajaran Ahmadiyah yang terkait dengan milleniarisme (Burhani, 2013: 90).

Di Padang, Rahmat Ali justru mendapat penolakan keras. Forum perdebatan cukup serius bahkan direncanakan untuk memfasilitasi ulama-ulama di Padang beradu argument dengan Rahmat Ali (Zulkarnain, 2005: 178). Kegiatan ini difasilitasi oleh “Komite Mencari Hak” yang dipimpin oleh Tahar Sutan Marajo. Namun, kegiatan ini tidak berjalan lancar karena ulama-ulama Padang tidak hadir. Meski demikian, masyarakat sudah kadung melabeli Rahmat Ali sebagai pembawa aliran sesat. Ayah dari Buya Hamka, H. Abdul Karim Amrullah bahkan mengecam Ahmadiyah sebagai kelompok di luar Islam.

Rahmat Ali kemudian melanjutkan perjalanannya ke Batavia. Tantangan pun mengikuti dirinya meski sudah tidak lagi di tanah Sumatra. Di Jawa, dia diundang berbagai forum debat. Persatuan Islam (Persis) bahkan merancang sebuah forum untuk menghadirkan Rahmat Ali berdebat dengan pendiri-pendirinya. Namun, terlepas dari itu, berbagai perdebatan ini dimuat di berbagai media. Eksposur inilah yang kemudian membuat keberadaan Ahmadiyah cukup popular di masa sebelum kemerdekaan.

Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Beck, Herman L. 2005. “The Rupture of Ahmadiyya with Muhammadiya”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) 161 (2/3), 210-46.

Blood, Margaret. 1974. The Ahmadiyah in Indonesia: Its Early History and Contribution to Islam in the Archipelago. Honours Sub-thesis, Australian National University.

Burhani, Najib Ahmad. 2013. When Muslims are not Muslims: The Ahmadiyya community and the Discourse on Heresy in Indonesia. Thesis Ph.D. Santa Barbara: University of California.

PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia. 1986. Officieel Verslag Debat antara Pembela Islam dan Ahmadiyah Qadian. Jakarta: PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Zulkarnain, Iskandar. 2005. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: LKiS.