Ali Baba
Konsep “Ali-Baba” adalah sebuah istilah untuk menyebut perusahaan importir yang pemilik resminya “pribumi” namun kenyataannya usaha bisnisnya dijalankan oleh pengusaha Tionghoa. Praktek perusahaan “Ali-Baba” ini terkait erat dengan penerapan Program Benteng yang diumumkan pada April 1950. Program Benteng adalah program ekonomi yang dimulai di era kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951), dengan Menteri Perdagangan dan Industrinya Sumitro (1950-1951). Program ini kemudian dilanjutkan kabinet Ali Sastroamidjojo (Agustus 1953-November 1954) dengan menteri ekonominya Mr. Iskaq Cokrohadisuryo (1896-1984), seorang politisi dari PNI.
Pada awal kemerdekaan, Indonesia menanggung beban ekonomi pasca perang yang berat. Pemerintah menyadari lemahnya keberadaan para pengusaha “pribumi” di Indonesia untuk bisa penopang kegiatan ekonomi nasional. Untuk itu, pemerintah kabinet Natsir mencanangkan sebuah kebijakan untuk mendorong pertumbuhan pengusaha “pribumi” di sektor impor dengan memberi lisensi impor (ijin perdagangan impor yang dikeluarkan negara) dan bantuan kredit. Melalui sektor perdagangan impor ini, pemerintah berharap penguasaha “pribumi” dapat meningkatkan modalnya untuk kemudian mengembangkan usahanya di sektor lain. (Thee 2003: xxxiii). Tercatat jumlah pengusaha yang mendaftarkan diri ikut program Benteng adalah 250 pengusaha pada tahun 1951. Angka ini bertambah menjadi 741 pengusaha pada tahun 1952 dan meningkat tajam menjadi 1500 pengusaha pada tahun 1953 dan 2211 pada tahun 1954. (Thee 2012: 31). Laporan menyebutkan terjadi pertumbuhan kredit pada tahun 1952-53 sejumlah 37% menjadi 76,2 % pada akhir tahun 1954 (Robison 2009: 45). Laporan lain mencatat pada awal 1950-an, sekitar 70-an persen perdagangan impor dilakukan oleh pengusaha “pribumi”. (Thee 2012: 32).
Meski terjadi kenaikan jumlah pengusaha pribumi yang mendaftarkan diri, kenyataannya program Benteng ini tidak bisa dikatakan berhasil karena banyak pengusaha Indonesia sebenarnya belum memiliki pengalaman. Akibatnya para pengusaha tersebut menjual atau bekerja sama dengan ‘meminjamkan’ lisensi kepada pengusaha Tionghoa. Dari kerjasama ini, pengusaha “pribumi” disebut “Ali” (atau disebut juga pengusaha aktentas yang artinya bukan pengusaha sebenarnya) dan pengusaha Tionghoa sebagai “Baba” sehingga disebut Ali-Baba. Akibatnya tidak terjadi pertumbuhan pesat pengusaha “pribumi” seperti yang diharapkan pemerintah.
Pengalaman kehadiran perusahaan “Ali-Baba” ini gambaran upaya pemerintah di awal tahun 1950-an untuk membangun ekonomi nasional. Dari pengalaman ini, di era selanjutnya pemerintah Indonesia mengalihkan upaya tersebut pada negara untuk berperan semakin kuat dalam perekonomi nasional. (Robison 2009: 46).
Yerry Wirawan
Referensi
Robison, Richard (2009) Indonesia: The Rise of Capital. Singapore: Equinox.
Thee Kian Wie (2003) Pelaku Berkisah, Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an. Singapore: ISEAS.
___ (2012) Indonesia’s Economy since Independence. Singapore: ISEAS.