Bahasa Indonesia

From Ensiklopedia

Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi dan nasional negara Indonesia. Secara umum, bahasa Indonesia merupakan standardisasi dari berbagai kata dalam bahasa Melayu, bahasa yang telah digunakan sejak lama di kawasan Asia Tenggara kepulauan.

Secara historis, orang-orang di Nusantara menggunakan bahasa Melayu untuk melakukan kontak dagang. Ini yang kemudian membuat bahasa Melayu menyebar ke seluruh masyarakat Nusantara, dan pada gilirannya menjadi lingua franca. Dalam perjalanannya, banyak bahasa yang kemudian memperkaya bahasa Indonesia saat ini. Mulai dari bahasa Arab, China, India, Belanda, dan juga Inggris. Ini semua tidak terlepas dari kontak masyarakat Indonesia dengan masyarakat internasional pada konteks ruang dan waktu tertentu.

Ketika VOC datang ke Nusantara, bahasa Melayu juga diadopsi oleh mereka sebagai bahasa administratif dari aktivitas perdagangan. Sementara itu, bahasa Indonesia yang saat ini digunakan rupanya sangat dekat dengan bahasa Melayu yang berkembang pada masa Kesultanan Riau-Lingga di abad 19-20 (Abas, 1987). Bahkan di masa kesultanan ini bahasa Melayu tidak hanya menjadi bahasa penghubung antar etnik, melainkan juga berkembang sebagai sebagai bahasa resmi dan bahasa yang digunakan dalam perkembangan literatur Melayu (Burhanudin, 2014).

Pada perkembangan selanjutnya, bahasa Indonesia juga diperkaya dengan bahasa Belanda. Di masa kolonial, banyak sekali kosakata Belanda yang digunakan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Kata sepur yang berasal dari kata spoor misalnya. Masyarakat Jawa yang tidak memiliki perbendaharaan kata untuk mengatakan kereta, kemudian menyerap kata spoor untuk merujuk pada kereta. Tentu saja, tidak serta merta serapan kata harus sama persis dengan bahasa aslinya. Sebab spoor dalam bahasa Belanda secara harfiah berarti rel.

Penggunaan bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional dipromosikan utamanya oleh kalangan nasionalis di masa pergerakan. Momentum dari penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah Sumpah Pemuda pada 1928, di mana salah satu sumpahnya mengatakan, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Langkah ini menjadi semacam afirmasi untuk penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Istilah bahasa Indonesia sendiri diperkenalkan oleh Mohammad Tabrani pada 1926 (Tempo.co, 2012). Dirinya bahkan salah satu orang yang pertama kali mengakarkan bahasa Indonesia pada bahasa Melayu dalam forum besar seperti Sumpah Pemuda:

Jang dinamakan 'Bahasa Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari 'Melajoe Riaoe' akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat diseloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia.” (Leither, 2016: 180).

Tokoh lain yang penting disebut dalam perkembangan bahasa Indonesia adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Ia sangat percaya akan perlunya mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang memadai dan mampu menggantikan bahasa Belanda. Pada tahun 1933, ia mendirikan majalah Pujangga Baru (Penulis Baru—Poedjangga Baroe dalam ejaan aslinya) bersama Amir Hamzah dan Armijn Pane. Pujangga Baru mendapat kritik dari mereka yang terkait dengan bahasa Melayu Sekolah yang lebih klasik dan dituduh menerbitkan bahasa Belanda yang ditulis dengan kosakata bahasa Indonesia.

Alisjahbana tidak diragukan lagi akan menganggap kritik sebagai demonstrasi keberhasilannya. Baginya bahasa Pujangga Baru menunjukkan jalan ke masa depan, ke bahasa kebarat-baratan yang rumit yang mampu mengungkapkan semua konsep dunia modern. Sebagai contoh, di antara banyak inovasi yang mereka kecam adalah penggunaan kata bisa, bukan dapat untuk 'bisa'. Dalam bahasa Melayu bisa hanya berarti 'racun dari gigitan binatang' dan meningkatnya penggunaan bisa dalam bahasa Jawa dalam arti baru yang mereka anggap sebagai salah satu dari sekian banyak ancaman terhadap kemurnian bahasa.

Tidak seperti intelektual yang lebih tradisional, dia tidak melihat ke Melayu Klasik dan masa lalu. Baginya, bahasa Indonesia adalah konsep baru; awal yang baru diperlukan dan dia melihat ke peradaban Barat, dengan masyarakat dinamis individu yang dibebaskan dari belenggu tradisional, sebagai inspirasinya (Sneddon, 2004).

Semenjak itu, bahasa Indonesia semakin marak digunakan di ruang publik. Meski mendapat kritik keras dari pemerintah kolonial, hal ini tidak menyurutkan semangat kalangan nasionalis untuk menggunakannya. Bahasa Indonesia bahkan digunakan dalam forum resmi seperti Volksraad pada 1938 (Quinn, 2001).

Pelarangan penggunaan bahasa Belanda menyebabkan perluasan surat kabar berbahasa Indonesia dan tekanan pada mereka untuk meningkatkan stok kata bahasa. Jepang menyetujui pembentukan Komisi Bahasa (Komisi Bahasa) pada Oktober 1942, yang secara resmi dipimpin oleh tiga orang Jepang tetapi dengan sejumlah intelektual terkemuka Indonesia memainkan peran utama dalam kegiatannya.

Soewandi, yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, diangkat menjadi sekretaris, Alisjahbana diangkat sebagai 'sekretaris ahli' dan anggota lainnya termasuk calon presiden dan wakil presiden, Sukarno dan Hatta. Wartawan yang memulai praktiknya hingga kini tidak menunggu Komisi Bahasa memberikan kata-kata baru, melainkan turut serta secara aktif dalam menciptakan istilah. Banyak istilah Komisi Bahasa tidak pernah diterima publik dan setelah periode Jepang diganti dengan bentuk asli Belanda, termasuk jantera (Sansekerta untuk 'roda'), yang untuk sementara menggantikan mesin, ketua negara (harfiah 'ketua negara' ), yang telah menggantikan presiden (presiden) dan kilang (artinya 'pabrik'), yang telah menggantikan pabrik (factory). Namun, dalam beberapa kasus, koin secara permanen menggantikan istilah Belanda sebelumnya, termasuk pajak (sebelumnya berarti 'monopoli') sebagai ganti belasting (pajak) dan senam (berarti 'olahraga') sebagai ganti gimnastik (senam). Komisi Bahasa dikatakan telah menciptakan lebih dari 7,000 istilah, meskipun hanya sedikit yang diterima secara umum (Sneddon, 2004).

Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Abas, Husen. 1987. “Indonesian as a Unifying Language of Wider Communication: A Historical and Sociolinguistic Perspective.” Pacific Linguistics 73, 26-28. doi:10.15144/PL-D73.

Burhanudin, Jajat. 2014. “Al-Lughah al-Malāyuwīyah wa takwīn al-Islām al-Indūnīsī: Naẓrah tārīkhīyah ijtimā‘īyah.” Studia Islamika 23 (1), 489-534.

Leitner, Gerhard; Hashim, Azirah; Wolf, Hans-Georg. 2016. Communicating with Asia: The Future of English as a Global Language. Cambridge: Cambridge University Press.

Quinn, George. 2001. The Learner's Dictionary of Today's Indonesian. Sydney: Allen & Unwin.

Sneddon, James Neil. 2004. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society. Sydney: University of New South Wales Press.

Tempo.co. 2012. “Awalnya Bahasa Melayu sebagai Bahasa Persatuan”. http://www.tempo.co/read/news/2012/10/28/078438136/Awalnya-Bahasa-Melayu-sebagai-BahasaPersatuan.