Sutan Takdir Alisjahbana

From Ensiklopedia

Sutan Takdir Alisjahbana adalah seorang budayawan, sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia. Ia lahir di Natal, Sumatra Utara, pada 11 Februari 1908 dan meninggal dunia di Bogor pada tanggal 17 Juli 1994. Ibunya bernama Puti Samiah, putri bangsawan dari Kesultanan Indrapura yang tunduk kepada Kesultanan Pagaruyung. Ayahnya bernama Raden Alisjahbana bergelar Sutan Arbi dan berprofesi sebagai guru. Sejak berusia 13 tahun, Sutan Takdir Alisjahbana sudah meninggalkan Natal untuk sekolah di Bengkulu. Di sana, ia berkesempatan mendapat pendidikan terbaik sebagaimana anak-anak bangsawan lainnya. Ia sekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Bengkulu pada tahun 1915-1921. Setelah lulus HIS, dia memilih masuk ke sekolah calon guru pribumi atau Kweekschool di Bukittinggi pada tahun 1921 dan melanjutkannya ke jenjang lebih tinggi di Hogere Kweekschool (HKS) Bandung pada tahun 1928. Selain itu, ia juga berhasil meraih gelar Meester (Mr) dari sekolah Hakim Tinggi di Jakarta pada tahun 1942 (Fauzi, 2011: 6).

Sutan Takdir Alisjahbana bekerja sebagai guru di HIS Palembang pada tahun 1928-1930. Setelah itu ia pindah ke Jakarta untuk mencari pekerjaan baru. Ia pernah menjabat sebagai redaktur di penerbit Balai Pustaka dan menjadi pimpinan di majalah Pandji Poestaka pada tahun 1930-1942. Selama era pendudukan Jepang (1942-1945), ia bertugas sebagai penulis ahli dan anggota Komisi Bahasa Indonesia di Jakarta (Asy’ari, 2008: 23). Tak berselang lama, ia pun menjabat sebagai Ketua Komisi Bahasa Indonesia selama periode 1945-1950.

Sutan Takdir Alisjahbana pernah menjadi ketua di Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan Indonesia (Mohamad, Abdullah, & Ignas, 1988: 42). Ia juga pernah menjadi dosen di Universitas Indonesia, IAIN Syarif Hidayatullah, dan IAIN Sunan Kalijaga sejak tahun 1946. Berbekal keahliannya di bidang Bahasa Indonesia dan Kesusastraan, ia mengajar mata kuliah Bahasa Indonesia, Sastra, dan Sejarah Kebudayaan di kampus-kampus tersebut. Ia menaruh perhatian besar untuk bidang pendidikan di Indonesia. Ia adalah salah satu tokoh pendiri Universitas Nasional pada 15 Oktober 1949 dan menjadi rektor untuk periode 1968-1992. Universitas Andalas dan Universiti of Malaya pernah memberi apresiasi dan penghargaan kepadanya dengan menganugerahkan gelar Guru Besar.

Semasa hidupnya, Sutan Takdir Alisjahbana menikah sebanyak tiga kali, yaitu dengan Raden Ajeng Rohani (meninggal pada 1935), Raden Roro Sugiarti (meninggal pada 1952), dan Dr. Margaret Axer (meninggal pada 1994). Dari ketiga pernikahan tersebut, Sutan takdir Alisjahbana mendapat sembilan orang anak. Beberapa anaknya mengikuti bakat sang ayah. Iskandar Alisjahbana, putra sulungnya pernah pernah menjabat sebagai Rektor ITB untuk periode 1976-1978. Anaknya yang lain, Sofjan dan Mirta Alisjahbana merupakan pendiri Femina Group, yaitu penerbit majalah wanita pertama di Indonesia.

Sutan Takdir Alisjahbana bersama dengan Amir Hamzah dan Armijn Pane yang sering mengirim sajak-sajak mereka ke Pandji Poestaka, menggagas berdirinya sebuah majalah kesusastraan yang lepas sama sekali dari Balai Pustaka. Hal itu terjadi pada tahun 1933. Gagasan mereka tersebut kemudian disambut oleh P.E. Dahler, seorang tokoh Volksraad yang pro Indonesia. Dahler mengajak mereka bertiga ke penerbit partikelir yang sangat familier kala itu, G. Kolff & Co. untuk menawarkan Poedjangga Baroe. Pihak G. Kolff & Co. setuju untuk menerbitkan majalah Poedjangga Baroe sebanyak 10.000 eksemplar. Namun kenyataanya tidak semanis yang dibayangkan. Pada awalnya, hanya 300 orang yang bersedia untuk berlangganan majalah tersebut (Fauzi, 2011: 32). Berbagai upaya dilakukan pihak penerbit dan para redaktur agar menutupi biaya produksi. Namun menginjak bulan keempat, jumlah pembaca semakin menyusut sehingga tidak dapat lagi menutup biaya produksi (Sutherland, 1968: 118).

Meskipun secara ekonomis Poedjangga Baroe mengalami kerugian, namun pengaruh majalah tersebut lumayan besar pada masa itu. Poedjangga Baroe berhasil menarik minat kaum intelektual muda pada bidang sastra dan budaya. Sejak awal terbit, Poedjangga Baroe meletakkan perhatian utamanya pada masalah kebudayaan dan  politik. Majalah ini menggunakan sub judul “pembawa semangat baroe dalam kesoesasteraan, seni, keboedajaan, dan soal masjarakat oemoem”, sub judul tersebut mencerminkan bagaimana majalah Poedjangga Baroe terpengaruh Sumpah Pemuda dan hendak menjadi penggagas terdepan kemajuan sastra di Indonesia. Selain aktif dalam gerakan pembaharuan sastra, para tokoh Poedjangga Baroe juga berhasil masuk ke lingkungan pergerakan dan politik di Indonesia. Majalah Poedjangga Baroe hadir sebagai upaya untuk melakukan pembaharuan dalam bidang sastra di Indonesia (Fauzi, 2011: 31).

Sebagai gerakan pembaharu sastra, Poedjangga Baroe banyak melakukan terobosan-terobosan baru terhadap karya sastra yang dianggap usang. Ia menyasar pembaca kalangan anak muda yang dianggap progresif (Muhri, 2016: 40). Sebagai majalah yang kritis, Poedjangga Baroe sukses untuk memberi semangat baru dalam kehidupan budaya dan sastra di Indonesia pada masanya.

Sutan Takdir Alisjahbana merupakan salah satu tokoh pembaharu sastra di Indonesia yang berpandangan liberal. Berkat pemikirannya yang cenderung pro-modernisasi sekaligus pro-Barat, Sutan Takdir Alisjahbana kerap berbeda pandangan dengan cendekiawan Indonesia lainnya. Dia sangat gelisah dengan pemikiran cendekiawan Indonesia yang anti-materialisme, anti-modernisasi, dan anti-Barat. Menurutnya, bangsa Indonesia haruslah mengejar ketertinggalannya dengan mencari materi, memodernisasi pemikiran, dan belajar ilmu-ilmu Barat (Sutherland, 1968: 122).

Pada tahun 1935, Sutan Takdir Alisjahbana menghadiri kongres pendidikan di Solo. Dalam kongres tersebut kebudayaan Barat yang mencirikan egoisme, intelektualisme, dan materialisme dikritik. Hal ini kemudian dikritik balik oleh Sutan Takdir Alisjahbana yang menganggap kritik terhadap kebudayaan Barat tersebut merupakan sebuah keanehan dan keganjilan. Kritik Sutan Takdir Alisjahbana terhadap para penentangnya dikutip oleh banyak surat kabar. Perdebatan ini semakin melebar dan kemudian dikenal sebagai masa “Polemik Kebudayaan” di Indonesia (Fauzi, 2011: 36).

Akhirnya, pada tahun 1942 seiring dengan runtuhnya pemerintahan kolonial Hindia-Belanda dan pendudukan tentara Jepang di Indonesia, penerbitan majalah Poedjangga Baroe harus dihentikan.

Sebagai salah seorang tokoh besar di Indonesia terutama dalam bidang sastra dan kebudayaan, Sutan Takdir Alisjahbana pernah mendapat beberapa penghargaan karena jasa-jasanya, di antaranya gelar Doctor Honoris Causa untuk Ilmu Bahasa dari Universitas Indonesia (1979) dan gelar Doctor Honoris Causa untuk Ilmu Sastra dari Universiti Sains Malaysia (1987).

Pada masa hidupnya Sutan Takdir Alisjahbana menghasilkan begitu banyak karya, beberapa di antaranya adalah Tak Putus Dirundung Malang; Layar Terkembang; Tebaran Mega; Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia; Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Modern; Perkembangan Sejarah Kebudayaan Dilihat dari Jurusan Nilai-Nilai; Puisi Lama; Grotta Azzura; Kisah Cinta dan Cita; dan Lagu Pemacu Ombak.

Penulis: Ahmad Muhajir
Instansi: Universitas Islam Sumatera Utara
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A


Referensi

Asy’ari, Abuhasan (2008). Sutan Takdir Alisjahbana dalam Kenangan. Jakarta: Dian Rakyat.

Fauzi, Muhammad (2011) Sutan Takdir Alisjahbana dan Perjuangan Kebudayaan Indonesia, 1908-1994. Jakarta: Dian Rakyat.

Mohamad, Gunawan, Abdullah, Taufik & Ignas, Kleden (1988). Kebudayaan sebagai Perjuangan: Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisyahbana. Jakarta: Dian Rakyat.

Muhri (2016). Sejarah Ringkas Kesusasteraan Indonesia. Bangkalan: Yayasan Arraudlah Bangkalan.

Sutherland, Heather (1968). “Pudjangga Baru: Aspects of Indonesian Intellectual Life in the 1930s.” Indonesia 6 (2). DOI: 10.2307/3350714.