Barisan Pemuda Indonesia
Berita kekalahan Jepang oleh sekutu telah melahirkan desas-desus bahwa Jepang tidak lama lagi akan angkat kaki dari Indonesia. Meski hanya diperoleh segelintir tokoh nasionalis yang memiliki radio, hingga Agustus 1945 desas-desus itu terus tumbuh dari mulut ke mulut khususnya di kalangan para pemuda dalam organisasi semi-militer bentukan Jepang. Pada tahap ini, tidak ada satu kelompok pun yang berpikir dalam kerangka revolusi jangka panjang; mereka terlibat dalam wacana yang berorientasi melangkah secaran langsung ke gerbang kemerdekaan (Cribb 2010: 63). Akibatnya, ledakan pemberontakan yang tidak terkoordinasi di berbagai daerah-daerah menjadi satu pemandangan umu dalam sejarah Indonesia menjelang proklamasi kemerdekaan. Konteks inilah yang menjadi basis sosio-historis lahirnya Barisan Pemuda Indonesia (BPI).
Di Jawa, berbagai kontak senjata antara rakyat dengan tentara Jepang mulai terjadi. Tercatat, pada 16 Agustus 1945, satu regu tentara PETA di Karawang melucuti senjata bala tentara Jepang dan sempat terjadi kontak senjata antara mereka di jalanan menuju luar Karawang (Cribb 2010: 65). Hingga pada hari proklamasi pada 17 Agustus 1945, tepatnya setelah kedatangan Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI), keberanian rakyat Indonesia untuk mengambil alih kota-kota dari tangan Jepang semakin memuncak.
Sedangkan di belahan Indonesia bagian barat, tepatnya di Medan, Sumatera Utara, berita mengenai proklamasi kemerdekaan baru terdengar pada akhir Agustus 1945. Baru pada 9 Oktober 1945, tepatnya setelah kedatangan AFNEI di bawah pimpinan dan tanggung jawab Brigadir Jendral T. E. D. Kelly, rakyat Indonesia mulai bergerak. Dalam situasi ini, seorang pemuda mantan perwira gyugun, Achmad Tahir, mengambil inisiatif yang sangat krusial untuk membentuk Barisan Pemuda Indonesia (BPI) pada 30 September 1945. Inisiatif ini pada dasarnya dilandasi tuntutan untuk membahas mengenai pembentukan barisan pertahanan yang akan mengawal proklamasi Indonesia di Sumatera. Orang-orang yang tergabung dalam anggota BPI ini adalah para mantan gyugun, heiho, dan lain-lain, yang merupakan didikan militer Jepang. BPI sendiri dibentuk di sebuah asrama pemuda di Jalan Fuji Dori No.6 (sekarang Jalan Imam Bonjol, Medan), yang merupakan keputusan penting bagi sejarah kota Medan yang dapat membantu mewujudkan harapan kemenangan kemerdekaan (Badan Sejarah Prima 1976: 128).
Achmad Tahir diputuskan mengetuai BPI, sedangkan beberapa orang lain dipilih untuk memberikan komando di tiap-tiap daerah yang ada di Sumatera. Setelah pertemuan pembentukan pada 30 September, para komandan-komandan BPI tiap daerah ini kemudian mengadakan rapat khusus yang membahas rencana menyusun organisasi massa dan melancarkan aksi-aksi yang dapat membangkitkan semangat rakyat. Dalam rapat tersebut, diharapkan setiap daerah memiliki utusan BPI di daerah-daerah, sehingga memperkuat basis koordinasi dengan pimpinan pusat BPI. Bersamaan dengan perluasan BPI ke tiap-tiap daerah di Sumatera, pada awal Oktober 1945 Mr. Mohammad Hasan memberi informasi kepada para pemuda, bahwa proklamasi kemerdekaan telah dibacakan di Jakarta oleh para pemimpin-pemimpin nasional, yakni Bung Karno dan Bung Hatta (Badan Sejarah Prima 1976: 125). Informasi ini kemudian membuat rakyat Medan, sekaligus rakyat Sumatera secara keseluruhan, menyambut proklamasi kemerdekaan dengan gegap gempita pada 6 Oktober 1945. Coretan-coretan dinding yang menggambarkan kemenangan besar rakyat Indonesia, juga pengibaran bendera merah-putih di segala penjuru Sumatera, sejak itu menggema dan bersatu padu mengisi genta revolusi yang baru saja dimulai itu.
Situasi gegap gempita ini sontak berubah, tidak lama setelah kedatangan AFNEI, yang kemudian membuat berang para pemuda-pemudi, khususnya pada pejuang BPI. Perlawanan-perlawanan kecil mulai bermunculan di berbagai tempat. Hingga pada 18 Oktober 1945, AFNEI mengeluarkan ultimatum mengenai pelarangan membawa senjata bagi penduduk Indonesia, menyulut semangat perjuangan bagi para pemuda, terlebih lagi dengan dibebaskannya bekas anggota Koninklijke Nederlandsche Indische Leger (KNIL/Tentara Hindia Belanda) dan bergabung dengan tentara sekutu untuk melancarkan aksinya menembak pedagang sayur yang berjualan di Stasiun Besar Medan; itu semua memicu amarah pemuda dan rakyat sekitar, sehingga mereka secara spontan melakukan perlawanan. Bahkan, banyak pedagang kios yang menyediakan senjata tajam secara sukarela untuk melakukan serangan balasan kepada tentara Belanda yang mulai mengancam keselamatan pedagang di sekitar Jalan Bali, Medan.
Setelah peristiwa penembakan tersebut, kontak senjata antara para pemuda dengan tentara Belanda terus berlanjut, kecil namun dengan intensitas tinggi. Kota Medan semakin memanas, oleh sebab itu sempat ada anjuran untuk para pemuda berpindah menuju Tebing Tinggi sebagai tempat latihan menggunakan senjata serta kesiapan fisik dan mental untuk menghadapi pasukan sekutu (Tanjung dan Siregar 2014: 63). Hingga 1 Desember 1945, sekutu memulai aksinya dengan menuliskan “fixed Boundaries Medan Area” untuk menentukan batas wilayah Medan yang dibuat dengan alasan keamanan. Hal ini tentu membuat konflik semakin panas dan bertambah parah. Para pemuda BPI kemudian memutuskan untuk melebur bersama rakyat Medan untuk bahu-membahu melawan segenap penghinaan terhadap kemerdekaan itu. Di ketahui, bahwa hampir setiap malam berita tentang pertempuran tersiar. Dinyatakan dari pihak pemuda/rakyat tidak kurang dari 19 orang gugur dan lainnya luka-luka, sedangkan dari pihak Belanda seorang perwira tewas dan berpuluh-puluh tentara mengalami luka-luka (Muhammad TWH 1996: 87). Dari peristiwa ini, perjuangan rakyat Medan dikenal dengan pertempuran Medan Area. Pembentukan BPI sebagai barisan pertahanan kemerdekaan menjadi penting dalam peristiwa itu.
Penulis: Satrio priyo utomo
Referensi
Badan Sejarah Prima. (1976). Medan Area Mengisi Proklamasi. Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia.
Cribb, Robert. (2010). Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949. Jakarta: Masup Jakarta.
Tanjung, Samsidar dan Zafri Zaldi Siregar. (2014). Perjuangan Heroik Masyarakat Kota Medan Melawan Sekutu. Medan: Unimed Press.
TWH, Muhammad. (1996). Perlawanan Pers Sumatera Utara Terhadap Gerakan PKI. Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI.
Zamzami, Amran. (1990). Jihad Akbar di Medan Area. Jakarta: Bulan Bintang.