Burhanuddin Mohammad Diah

From Ensiklopedia
Burhanuddin Mohammad Diah. Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L.1151

Burhanudin Mohamad Diah (B.M. Diah) adalah jurnalis dan pemimpin pergerakan pemuda pada masa revolusi Indonesia. Ia lahir di Kotaraja (sekarang Banda Aceh) pada 7 April 1917. B.M. Diah dikenal sebagai insan pers dan pemimpin redaksi surat kabar yang tergolong tua di Indonesia bernama Merdeka, yang   dirintis sejak 1 Oktober 1945 (Djamaluddin, 2018: 355). Surat kabar tersebut bersaing dengan harian Berita Indonesia, Pedoman dan Mimbar Indonesia. Akan tetapi, keberadaan Berita Indonesia dan Mimbar Indonesia yang diterbitkan di Batavia semakin dilarang, terutama setelah Belanda mencoba merebut kembali Republik Indonesia. Hingga tahun 1949 surat kabar di Batavia (Jakarta) hanya tersisa dua, yaitu Merdeka dan Pedoman (Het Parool, 7 Januari 1949). B.M. Diah sebelumnya pernah menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Harian Medan Sinar Deli pada tahun 1937-1938. Ia juga bekerja sebagai pembantu surat kabar dan Wakil Pemimpin Redaksi Warta Harian Jakarta pada tahun 1938-1939. Pada tahun 1939-1942 B.M. Diah dipercaya sebagai pimpinan bagian pers Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta. Selain itu, dia juga memimpin majalah Pertjaturan Dunia. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), B.M. Diah mendapat tugas sebagai wakil pemimpin redaksi surat kabar Asia Raya yang berkantor di Jakarta. Setelah Indonesia merdeka, barulah ia menjabat sebagai pemimpin redaksi harian Merdeka di  Jakarta (Anonim, 1986: 193).

Burhanuddin Mohammad Diah saat masih muda (kanan) dan ketika usia paruh baya (kiri). Sumber: Repro Arsip Perpustakaan Nasional dan Arsip Kompas.

Selain sebagai pemimpin redaksi, B.M. Diah juga merupakan anggota Komite Nasional Pusat Republik. Selama pendudukan Jepang, ia diduga sebagai mata-mata (spionase), karena sering melakukan gerakan bawah tanah. Di sisi lain, ia pernah ditahan oleh pemerintahan pendudukan Jepang selama dua kali karena dianggap radikal dan membelot dari Jepang (Het vrije volk: Democratisch-Socialistisch Dagblad, 8 November 1946). Ia ditangkap oleh militer Jepang pada bulan Januari 1943, dan mendapat tuduhan telah memimpin gerakan melawan Jepang dengan dibiayai oleh Van der Plas sebesar 25.000 gulden. B.M. Diah diduga  bertemu dengan Van der Plas sebelum proses kapitulasi Belanda kepada Jepang dilakukan (8 Maret 1942) di Kalijati, Jawa Barat. B.M. Diah sebenarnya divonis mati oleh Jepang, namun gagal karena intervensi Sukarno (Anwar, 2004: 105). Setelah dibebaskan, ia dan istrinya tidak diberi akses ke kantor pemerintahan maupun afiliasi Jepang di mana pun.

B.M. Diah pernah menulis artikel berjudul "Het Vrije Volk" (Rakyat yang Merdeka). Di dalam tulisan tersebut ia mengemukakan bahwa rakyat Indonesia ingin hidup setara dengan bangsa lain, bekerja sama, berkait erat untuk mengabadikan kemerdekaan melalui sebuah proklamasi dan pengakuan kedaulatan, yang diilhami oleh pemikiran modern, mempromosikan persatuan antara Timur dan Barat, serta menjadi contoh bagi bangsa lain yang masih memiliki asumsi bahwa Timur-Barat tidak bisa bersatu. Menurutnya, kebebasan yang telah diperjuangkan bangsa Indonesia seharusnya bisa dijaga oleh Belanda sehingga bisa membuat ikatan antara Belanda dan Indonesia lebih kuat dari sebelumnya. Pada periode yang penuh gejolak setelah perang dunia kedua, Belanda dan Indonesia seharusnya menunjukkan bahwa kedua bangsa tersebut saling mendukung guna mencapai kesepakatan, saling menghormati keberadaan bangsa yang merdeka dan berdaulat, dan menjalin kerja sama yang lebih erat (Het Vrije Volk: Democratisch-Socialistisch Dagblad, 8 November 1946).

Salah satu kontribusi besar B.M. Diah bagi Republik Indonesia adalah penyebarluasan berita proklamasi kemerdekaan, tanggal 17 Agustus 1945. Berita tersebut dapat tersebar luas dari ibu kota Jakarta hingga ke wilayah pelosok di Indonesia, meskipun sarana komunikasi yang sangat terbatas. Hal itu tidak terlepas dari inisiatif Moh. Hatta yang memberikan tugas kepada wartawan B.M. Diah untuk menyebarluaskan informasi melalui media cetak. Teks Proklamasi yang berhasil diketik oleh Sayuti Melik ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta yang sejatinya akan dibacakan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Banteng ternyata gagal karena alasan keamanan. Oleh karena itu timbul inisiatif Bung Hatta untuk segera mengumumkan proklamasi tersebut agar seluruh rakyat Indonesia bisa mengetahuinya. B.M. Diah yang mendapat perintah untuk menyebarluaskan berita tersebut bergegas menuju ke percetakan yang terdapat di wilayah Pecenongan, Jakarta Pusat. Ia menyerahkan tulisan tangan salinan teks proklamasi dan meminta pihak percetakan untuk mengetik dan mencetaknya. Proses pencetakan dilakukan dengan mesin kecil Vorm. Pencetakan berita proklamasi tersebut menjadi berita pertama yang disebarluaskan melalui media cetak (Sudarmanto, 2007: 339). B.M. Diah kemudian menerbitkan banyak berita mengenai kemerdekaan Republik Indonesia. Hal itulah yang membuat surat kabar Merdeka lahir. Surat kabar tersebut terbit pertama kali pada 1 Oktober 1945 dengan memuat jargon: "Suara Rakjat Republik Indonesia, dimana B.M. Diah menjabat sebagai pimpinan redaksi, Isak sebagai wakil, dan Rosihan Anwar sebagai redaktur (Anonim, 2007: 534).

B.M. Diah berpendapat bahwa perlawanan Indonesia terhadap Belanda bukan karena kebencian terhadap orang-orang Belanda. Perlawanan  Indonesia lebih kepada menuntut perbaikan sistem supremasi yang diberlakukan oleh Belanda (Het vrije volk : Democratisch-Socialistisch Dagblad, 8 November 1946). Belanda mencoba memperbaiki hubungan dengan Indonesia, namun timbul masalah kecil yaitu gerakan komunisme. Oleh karena itu, perlu adanya pemulihan hubungan antara Indonesia dan Belanda yang dianggap sangat berharga bagi pengembalian kedaulatan Indonesia. Jalinan hubungan yang baik menjadi cara agar pintu diplomasi dengan Barat (Belanda) selalu terbuka. Belanda bukan lagi negara kolonial, dan Belanda juga tidak memiliki peran penting dalam politik dunia. Sikap Sukarno terhadap Belanda sejak berakhirnya perbedaan pendapat terkait Irian Barat menunjukkan  bahwa Sukarno pada prinsipnya tidak anti-Barat. Sukarno hanya menentang keras pengaruh Barat di Asia. B.M. Diah mengungkapkan bahwa sikap Sukarno terhadap Belanda membuktikan bahwa pada awal kemerdekaan, Sukarno tidak memberikan kesempatan kepada komunis dalam segala hal.

Menurut pemikiran B.M. Diah, keberatan utama Sukarno dan tokoh besar lainnya terkait Malaysia adalah masalah dekolonisasi daerah-daerah di Kalimantan Utara. Ia juga berpendapat bahwa apabila terjadi konfrontasi, Indonesia berisiko menjadi korban terbesar dalam perang yang membawa malapetaka, dan Tiongkok mendapatkan keuntungan dari hal tersebut (Trouw, 9 Januari 1965).

Dalam pidatonya di Akademi Polisi Jakarta pada tahun 1964, B.M. Diah menjelaskan bahwa jika Indonesia ingin lebih kuat, Indonesia tidak boleh mengabaikan Malaysia. Malaysia memiliki negara-negara penyokong dengan kekuatan yang jauh lebih besar dibandingkan Indonesia. Hal yang paling utama dalam gerakan “Ganyang Malaysia” yaitu kesatuan para pemimpin Indonesia. B. M. Diah menyatakan bahwa gerakan revolusi di Indonesia berada dalam titik jenuh akibat ambisi para pemimpin. Ia juga menegaskan bahwa revolusi Indonesia perlu rehat sementara, karena semangat revolusi yang dipaksakan terus menerus akan melemah bahkan lesu dan berpotensi mengancam keberlangsungan Republik Indonesia. Pendapat tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Mohammad Hatta ketika menjadi Wakil Presiden. Indonesia sebenarnya telah selesai memenuhi revolusinya dan diwujudkan dengan kemerdekaannya dari Belanda. Sikap sebaliknya justru ditunjukkan oleh Presiden Sukarno, yang mendorong supaya revolusi Indonesia dilaksanakan oleh segenap masyarakat agar tercipta negara yang adil dan makmur (Berita Harian, 19 Maret 1964).

Karir B.M. Diah dalam dunia politik tidak hanya sebatas menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 1945-1950. Ia juga menjadi anggota Parlemen RI (DPR-RI) pada tahun 1953-1955. Selain itu ia juga pernah diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Republik Cekoslowakia dan Hungaria yang berkedudukan di Praha, pada 1959-1960. Selanjutnya ia juga pernah menjabat Duta Besar RI untuk Inggris dan kemudian Muangthai (Thailand). Adapun pada pada Kabinet Ampera, B. M. Diah diangkat sebagai Menteri Penerangan RI (Anonim, 1986: 193).

B.M Diah meninggal dunia pada 10 Juni 1996 setelah dirawat di RS Jakarta karena stroke dan gagal liver yang sudah dideritanya beberapa waktu sebelumnya. B.M Diah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara militer.

Penulis: Siska Nurazizah Lestari
Instansi: IKIP PGRI Wates, DIY
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A


Referensi

Anonim (1986). Sejarah Departemen Penerangan RI. Jakarta: Departemen Penerangan.

Anonim (2007). Seabad pers kebangsaan, 1907-2007. Jakarta: I:Boekoe.

Anwar, R. (2004). Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia, Volume 3, Jakarta: Kompas.

Diah, B. M. “Dir.-Hoofdfedacteur van Het Dagblad „MERDEKA" dalam Het Vrije Volk: Democratisch-Socialistisch Dagblad, 8 November 1946.

“De Huidige Politieke Situatie in Indonesië”dalam Het Vrije Volk: Democratisch-Socialistisch Dagblad, 8 November 1946.

Djamaluddin, D. (2018). Catatan B. M. Diah: Peran “Pivotal” Pemuda Seputar Lahirnya Proklamasi 17-8-’45. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

“Nederland” dalam Surat Kabar Trouw, 9 Januari 1965.

“Rehat dalam Revolusi-Anjoran Duta Diah” dalam Berita Harian, 19 Maret 1964.

“Republikeinse bladen verboden” dalam surat kabar Het Parool, 7 Januari 1949.

Sudarmanto, J. B. (2007). Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. Jakarta: Grasindo.